CHAPTER 13: DAN BERAKHIR, PULANG DENGAN NYAWA TERAKHIR.
YANG TERSISA hanya nama dan tubuh tak bernyawa. Ruhi dan Kalam satu-satunya yang tinggal, membawa jasad sang kawan kembali ke Suarga. Tidak pernah ada pikiran bahwa merekalah yang bertahan dan menyaksikan satu per satu pergi. Perihal kehilangan bukan lagi sesuatu yang asing, terlebih di ambang dunia yang seperti ini. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang kuat menghadapi kepergian yang datang bertubi-tubi. Semangat dan gairah yang tertanam sudah luruh, ikut gugur bersama yang lain. Sekali pun mereka semua tidak pernah benar-benar terikat, rasanya tetap pedih jika harus menelan fakta akan kematian mereka.
Selama perjalanan kembali dari tanah Karava menuju Mortey, wajah Ruhi kisut sementara Kalam sedang terbang dalam angan. Bagaimana mereka harus menjelaskan semua ini kepada ketua divisi bahwa hanya merekalah yang tersisa?
Percikan emosi dari pria berdasi di hadapan dua karyawan itu tampak jelas. Kecewa terlukis pada raut wajahnya, “Tugas yang saya berikan tidak sesulit itu, tapi kenapa bisa berakhir seperti ini!?”
Ruangan Sir Travis mendadak dingin, angin dari luar masuk melalui jendela usang, menambah ketegangan di atmosfer. Lalai, egois, tidak bertanggung jawab, hingga tidak becus dilontarkan untuk ia yang tersisa. Kalam dan Ruhi terpaku. Walau Kalam pasrah, Ruhi tetap mencoba membela dirinya, tidak terima keringat dan usahanya dianggap angin lalu seperti itu.
“Sir, kami melakukan semua yang kami bisa. Tap—“
Tangan Sir Travis menghentak meja, “ARTINYA, KALIAN KURANG BERUSAHA!” Pertemuan antara telapaknya dengan benda keras yang terbuat dari kayu jati meninggalkan bekas merah, tanda marah yang menggebu-gebu.
“Sir, you don’t have a right to say that ketika yang anda lakukan cuman memerintah. Kami mati-matian bertahan di luar sana untuk melaksanakan tugas dari petinggi. Inikah balasannya?” Ruhi tidak bisa lagi menahan emosinya.
Pria berdasi itu beranjak dari tempatnya, berjalan ke arah satu-satunya anggota yang tersisa dari divisi 3. “Rasanya kamu masih tidak mengerti. Sedari awal, saya merekrut kalian semua karena saya berharap kalian bisa membantu kami untuk menemukan obat dan mempelajari asal muasal virus.”
“Akan tetapi, tidak ada yang benar-benar memahami tujuan dari tersusunnya semua ini. Terutama kamu dan egomu itu, mementingkan kekasih di atas keselamatan dunia.” Rasanya seperti di tusuk oleh perkataan Sir Travis.
“There’s no cure, we already dying inside!”
“Ruhi, There is a cure. Masih ada harapan untuk membuat obat, jika kamu tidak membiarkan Oris mati begitu saja.” Selanjutnya, Sir Travis mencengkram lengan Ruhi. Matanya tidak menunjukkan emosi apa-apa, mulutnya kini mulai berbicara, “Kamu harus membayar semua ini.”
Dalam momen rasional itu, barulah Ruhi menyadari apa yang dia lakukan sama saja seperti mengorbankan kemanusiaan. Sewaktu hendak mencerna semuanya, jantung Ruhi mulai berdegup liar. Ia berbalik, menangkap Kalam yang berdiri diam. Tertawa sejenak, menyadari apa yang akan menjadi kelanjutan nasibnya.
Senyuman tipis yang terukir dari wajah rekan kerja terakhirnya menjawab semua. “Ruhi …,” gumam Kalam.
“Have a good life, Kalam.” Senyum terakhir dari seorang Ruhi yang perlahan memudar.
Kini, ratusan pasang mata memandang podium dengan saksama. Menyaksikan perempuan dalam simpuhan kedua lututnya, digerogoti penyesalan. Bahkan, hingga hayat bertemu penghujung waktupun, dirinya masih memikirian sang kekasih. Tidak perlu seribu manusia berkata ia salah, dirinya pun tahu. Akan tetapi, untuk Oris, tanpa ragu akan dia lakukan lagi meski tahu begini akhirnya.
Korneanya kini tertuju pada seseorang di pinggir sana, Ruhi bisa rasakan darahnya mendidih. Alih-alih takut, hanya amarah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Pandangan saling bertukar, kilat mata wanita malang itu menyiratkan hawa kebencian pada Sir Travis. Andai saja ia dan Oris tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat bengis ini, mungkin takdir akan berkata lain.
Angannya tentang hidup di bawah atap bersama Oris sirna. Alih-alih melanjutkan perjalanannya dalam kehancuran dunia, di sinilah ia, dihadirat umat manusia. “Ruhi Btari, Divisi 3. Bersalah atas kelalaian dalam menjalankan tugas dan melindungi vaksin,” tutur salah seorang petinggi menggema ke tiap penjuru, membacakan gugatan sebelum pengeksekusian.
Ruhi berlutut, wajahnya tak karuan, matanya berkedut, dan bibirnya beringsut ketika sebuah pengeras suara diarahkan padanya. Hendak ia diberi kesempatan terakhir untuk berucap. “I did what I thought was right …,” suara Ruhi bergetar, tatapan geram dan murka dari semua yang menyaksikan mencabik nuraninya. “… I’m so sorry, I know I could save the world. But, what about my world?”
Serapah serta makian terlontar dari rakyat yang murka, tidak terima dengan aksi perempuan itu. Lubang laras kepala pistol mendarat di pelipis Ruhi. Samar-samar kematian seolah menjemputnya. Picu ditarik, peluru melesat masuk ke inti. Satu peluru, satu tarikan, dan setiap organ dalam tubuhnya berhenti. Ruhi Btari jatuh tak berdaya, darah mengucur hebat dari tengkorak, nadinya berhenti berdenyut. Satu lagi jiwa kini kembali menyatu dengan sang pencipta.
—
Karena pelanggaran yang dilakukan oleh Ruhi, dirinya pun mendapat hukuman yaitu diadili oleh petinggi Suarga. Kilat dingin melintas di mata Kalam. Dia paling benci manusia sampah seperti para petinggi ini. Ruhi dibawa dan digiring menuju tempat di mana dia akan diadili. Ruhi dipaksa duduk bersimpuh di hadapan para petinggi itu. Dia tidak berontak, melainkan hanya menatap nyalang pada orang yang berada di depannya. Tidak ada jejak ketakutan sedikit pun yang terpancar dari sorot matanya. Wajah itu masih menonjolkan sisi angkuh yang membuat orang-orang menggeram marah.
Kalam terpaku di tempatnya. Tidak pernah dia menduga akan menyaksikan kematian temannya lagi dengan begitu mengerikan. Dirinya benci menjadi tidak berguna seperti ini. Kalam benci sebab ia tidak bisa melakukan apapun untuk menolong Ruhi di saat seperti ini. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menangis dalam diam layaknya pecundang. Kalam tak pernah mengira bahwa nasib buruk akan menimpa sosok tegas yang selalu melindungi kekasihnya itu dan akan mati secara sia-sia. Kekejaman yang dilepaskan petinggi Suarga membuat siapapun bergidik.
Suasana terasa begitu mencekam seakan seluruh pasokan udara menipis membuat Kalam tercekat. Ia menahan napas saat melihat ujung pistol menempel pada pelipis Ruhi, ditariknya pelatuk pistol dan seketika bunyi tembakan terdengar nyaring di tempat itu. Sosok Kalam segera menjadi linglung di tempat, matanya yang kosong bergerak-gerak hingga akhirnya menemukan Ruhi yang terbaring tak berdaya dengan tubuh yang bersimbah darah. Enggan untuk melihatnya lebih lama, Kalam pergi meninggalkan tempat itu dengan penyesalan dan kebencian yang mendalam.
Dua hari berlalu begitu saja. Setelah insiden kematian Ruhi, yang Kalam lakukan hanyalah makan, memberi salam pada petinggi kemudian kembali berdiam diri di markas divisi 5. Kalam duduk termenung di atas kasur miliknya dengan gitar kesayangan yang berada di pangkuannya. Jika dilihat lebih jelas, kamar itu sudah tidak berbentuk akibat amukan Kalam kemarin. Buku tergeletak di mana-mana, serpihan kaca yang berserakan serta beberapa puntung rokok yang dibiarkan begitu saja mengotori lantai kamar.
Kalam mengalami penurunan suasana hati sebab kesepian yang melanda dirinya dua hari terakhir ini. Ia terlihat sangat kacau dengan jejak air mata yang mengering di kedua pipinya serta luka gores di tubuh hasil perbuatannya sendiri. Ia merindukan teman-temannya, sungguh. Kini, dirinya sendiri, kesepian kembali menghinggapi relung hatinya membuat akal sehatnya kembali terganggu.
"Minggu depan kita lulus, loh. Kalian tega banget ninggalin gua sendirian."
Benar, seminggu lagi adalah acara perayaan kelulusan pekerja magang di Suarga. Jika saja teman-temannya masih hidup, minggu depan akan menjadi hari paling membahagiakan untuk mereka semua. Kalam juga mendapat apresiasi serta penghargaan dari Sir Travis atas keberhasilannya dalam menjalankan tugas. Entahlah, ia harus menangis atau tertawa saat mendengar kalimat Sir Travis saat memujinya di depan para petinggi. Kalam merasa hatinya sakit kala mengingat kembali masa-masa awal pertemuan dan perjuangan itu.
"Oh, iya. Gua juga diakui sama Sir Travis. Katanya, gua keren udah berhasil jalanin misi." Kalam terkekeh kecil saat mengingat ucapan Sir Travis waktu itu tetapi kilat kebencian masih terlihat jelas di matanya. Dia sangat membenci orang tua itu, sungguh.
Kalam merebahkan tubuhnya di atas kasur miliknya dengan gitar yang dibiarkan begitu saja di sisi kasur.
"Gua juga dapet penghargaan. Iyas, kalo lo masih idup kira-kira lo bakal iri gak ya sama gua?"
Kalam tertawa, tak ada satupun jawaban yang ia terima. Memang siapa yang akan menjawab? Toh dirinya saat ini sendiri, hanya kekosongan yang ada di kamar itu. Tapi, siapa peduli? Dirinya akan terus mengoceh sampai dia merasa puas.
"Saumara, Latief, Sabita. Kalian bertiga udah bahagia 'kan di sana?"
Helaan napas terdengar begitu berat, seperti ada sebuah beban yang berat menghantam dadanya. Kalam merubah posisinya menjadi menyamping, menghadap sebuah figura yang terletak di atas nakas.
"Rai, Said. Mungkin kalo lo gak nekat waktu itu kalian masih ada bareng gua sekarang."
"Eren, gua udah catet semua rekomendasi anime yang lo kasih waktu itu. Makasih, ya?"
"Humai, Harun. Kalian berdua emang berisik. Tapi sekarang gua butuh kalian buat ngusir kesepian gua."
"Tutu, Sarai. Kalian berdua akur 'kan sekarang? Tutu udah gak capek lagi 'kan? Sarai juga, di sana lo gak perlu bersih-bersih lagi."
"Selena, Denara, Jannah, sama Soe. Kalian orang-orang hebat. Gua seneng banget bisa ketemu kalian."
"Masayu, Sangkara. Haduh, jangan bertindak cabul ya di sana," Kalam tergelak saat mengingat kejadian memalukan yang mereka perbuat. Ia menggelengkan kepala, tak mampu berkata-kata.
"Ruhi, Oris. Kalian pasangan spektakuler yang pernah gua liat. Semoga kalian bisa ketemu lagi di tempat yang lebih baik lagi."
Kalam terus berbicara tanpa henti. Ia rindu teman-temannya, rindu bercengkrama dan rindu bertengkar dengan mereka. Matanya tak sengaja melihat figur dua orang yang sangat dirindukan.
"El, Wintan ...." Tanpa sadar, air mata turun tanpa bisa ditahan. Dengan cepat ia usap air mata itu menggunakan punggung tangannya. "Wintan, maaf ya karena gua marahin lo waktu itu, maaf juga udah ngatain lo kekanakkan. Lo di sana udah bahagia 'kan? Gua kangen lo. Gua kangen banget sama lo, Win." Kalam menutup mata untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Figura yang sedari tadi ia tatap dibawa ke dalam pelukan. Setelah lelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Kalam pun bisa tertidur pulas.
Waktu berjalan begitu cepat dan hari ini adalah hari dimana semua orang seharusnya bersuka cita. Kalam terbangun dari tidurnya dengan kondisi tubuh yang lebih baik. Ia merapikan kamarnya lalu menyapu lantai dan membuang sampah. Setelahnya, Kalam pergi membersihkan diri dan segera bersiap untuk mengikuti acara perayaan. Kalam mematut dirinya di depan cermin yang ada di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Sebuah celana kulot hitam ia padukan dengan kemeja putih lengan panjang serta balutan jas hitam yang memeluk tubuhnya. Setelah semua terasa sempurna, Kalam lantas bergegas menuju tempat perayaan yang diselenggarakan oleh perusahaan.
Selama acara perayaan berlangsung, Kalam tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Pikirannya terus melayang kepada kawan-kawannya yang telah tiada. Andai saja ... andai saja mereka berhasil, mungkin hari ini akan menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Kalam kembali menapak kenyataan saat mendengar namanya dipanggil oleh Sir Travis. Semua orang yang berada di sana bertepuk tangan entah untuk apa dan untuk siapa, sampai Kalam melihat ada sebuah piagam penghargaan dengan namanya tercetak jelas di sana.
"Dirgamaya Kalam. Selamat atas keberhasilanmu dalam menjalankan tugas divisi 5, saya selaku petinggi Suarga memberikanmu penghargaan atas kerja kerasmu dalam membantu perusahaan."
Sir Travis mengalungkan piagam penghargaan tersebut kepada Kalam dan dia menerima itu dengan senyuman di bibirnya. Jika kalian berpikir bahwa Kalam senang atas penghargaan ini, maka kalian salah. Jelas dia tidak merasa bahagia sama sekali. Setelah acara pembagian penghargaan, Kalam meminta izin kepada Sir Travis untuk segera kembali ke markas dan disetujui oleh Sir Travis.
Bohong jika Kalam kembali ke markas, nyatanya saat ini dirinya tengah pergi ke tempat di mana sahabatnya dikebumikan. Kalam pergi ke sudut paling belakang kota Mortey, menyusuri hutan yang berada di sebelah kanan pemukiman warga. Di perjalanan, Kalam membeli beberapa buah tangan untuk ia berikan kepada Wintan.
Kalam berdiri di depan bangunan tempat para karyawan Suarga di makamkan. Kakinya melangkah dengan mantap menuju tempat peristirahatan terakhir kawannya. Saat ini, Kalam tampak duduk bersimpuh di samping makam Wintan. Wajahnya terlihat sendu dan bibirnya tersenyum kaku. Ia menaburkan bunga mawar di atas makam itu dan melepas piagam penghargaan yang ada di lehernya hanya untuk menyimpannya di batu nisan sahabat nya itu. Ia juga menyimpan satu buket bunga Krisan di samping piagamnya. Kalam mengusap batu nisan yang bernamakan Wintan Kharisma dengan penuh kerinduan, menatap lamat pada gundukan tanah yang dipenuhi oleh bunga.
"Wintan, apa kabar? Maaf ya gua baru datang hari ini," Kalam menyiram gundukan tanah itu dengan sebotol air yang dia bawa dari markas. "Hari ini gua dapet penghargaan dari Sir Travis, tapi gua ngerasa gua gak layak dapet ini. Penghargaan ini harusnya diterima sama lo. Lo yang nyelamatin nyawa gua waktu itu, kalo gak ada lo mungkin gua udah gak ada di dunia ini lagi."
Kalam tersenyum, tetesan air mata kembali membasahi pipinya. Segera saja dia hapus dengan sapu tangan yang ada di sakunya. Kalam kembali berbincang dengan Wintan cukup lama sampai dia menyadari bahwa hari semakin gelap. Mungkin saja hujan akan turun membasahi Mortey hari ini.
"Gua ke sini cuma mau pamit sama lo. Gua mau balik ke kota, gua juga mau ngejar impian gua."
"Ini semua berkat lo. Makasih udah bikin gua makin percaya diri, maaf karena janji gua yang mau ngajak lo keliling kota gak kesampaian. Gua janji, kalo kita ketemu lagi, gua akan bayar semua janji yang gua buat sama lo."
"Gua pamit, ya. Jaga diri baik-baik di sana. Gua selalu berdoa sama Tuhan supaya lo dikasih tempat paling terang dan paling nyaman. Sampaikan juga salam gua sama yang lain," Kalam terkekeh, "Itu pun kalo lo ketemu sama mereka."
Kalam berdiri, menepuk bagian celana yang kotor akibat terlalu lama duduk di tanah. Setelah mengucapkan salam perpisahan, Kalam berlari meninggalkan tempat itu sebab hujan turun dengan lebat. Ia tidak membawa payung untuk menjaga tubuhnya agar tidak basah.
Ruangan dengan pencahayaan redup itu sangat sunyi, hanya ada suara hembusan angin serta napas dari si pemilik kamar. Dia, Kalam. Sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Pemuda itu bersiap untuk pergi meninggalkan tempat ini dan kembali ke kota kelahirannya. Semua baju dan barang berharga sudah dia kemas dengan rapi tanpa terkecuali. Netra kelam itu menyapu seluruh ruangan dan menemukan dua figura terletak di atas nakas dekat tempat tidur. Ia mengambil kedua figura itu, mengusapnya dengan perlahan dan sekelebat bayangan tentang kehidupan masa lalu berputar layaknya sebuah film. Kalam menggelengkan kepalanya lalu menyimpan satu figura itu kembali ke atas nakas dan memasukkan satu figura ke dalam koper. Ya, itu adalah foto dirinya bersama sahabatnya, Wintan.
Setelah semua selesai, Kalam menutup semua jendela dan mengunci pintu. Dengan satu koper besar berada di tangannya, ia menarik koper tersebut dan membawanya ke depan kantor Sir Travis. Ia berniat meminta izin untuk pulang. Sesampainya dia di tempat Sir Travis, Kalam mengetuk pintu itu dan menunggu suara seseorang untuk mengizinkannya masuk. Di sinilah Kalam berada, di depan petinggi Suarga yang menatapnya dengan alis yang terangkat. Sir Travis menghentikan pekerjaannya dan mempersilahkan Kalam untuk berbicara.
"Karena tugas saya sudah selesai, saya mau pamit pulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kerjakan di sini jadi, saya pikir tidak ada alasan lagi bagi saya untuk tinggal di sini," ucap Kalam penuh kehati-hatian. Sir Travis yang mendengar permintaan Kalam untuk pergi pun langsung mengiyakan keputusan itu. Sebab benar apa yang anak itu katakan, bahwa dia sudah tidak lagi berguna untuk Suarga. Jadi, untuk apa masih menahan orang dengan gangguan jiwa di perusahaan.
Dengan begitu, Kalam segera membungkuk hormat dan pergi meninggalkan Sir Travis yang memandangnya dengan dingin. Ia menyeret kopernya melewati lorong dan markas divisi. Ingatan kembali berputar saat dia melewati tempat pertama kali dia dan kawan-kawannya berdiskusi. Suara gaduh, tawa, dan juga amukkan dari tiap kapten divisi meringsek masuk memenuhi otaknya. Ia akan merindukan segalanya.
Kalam masih tetap berjalan melewati lorong demi lorong. Setidaknya ia tau bahwa semuanya sudah selesai, tidak ada lagi penyakit yang akan mengancam manusia. Meskipun penyesalan, kebencian, dan rasa rindu ia rasakan di setiap langkahnya. Kalam berhenti hanya untuk menatap nanar bangunan kokoh yang berada di depannya, hatinya kembali merasa tercubit saat melihat imajinasi teman-temannya yang kini sedang melambaikan tangan padanya. Enggan untuk bernostalgia terlalu lama, Kalam kembali menarik kopernya itu dan pergi meninggalkan Suargaloka.
TAMAT.
Komentar
Posting Komentar