CHAPTER 01: PEMBUKAAN PINTU GAGASAN.

SUARA LEDAKAN pagi itu membuat banyak orang dari berbagai divisi terkejut, tak sedikit yang melempar umpatan terhadap suara bising nan memekakkan telinga itu, terlebih lagi melempar sumpah serapah bagi yang orang yang telah memicu ledakan tersebut, tidak ada ampun untuk hujatannya.

Bukan hanya keterkejutan berujung emosi saja yang mereka dapatkan dari ledakan tersebut, namun ketakutan yang merajalela seperti wintan yang tengah terduduk sembari menutupi telinga pun turut menjadi efek luar biasa dari ledakan tersebut. Lalu tanpa berpikir panjang langsung menetapkan dalang dari meledaknya molotov tersebut, satu-satunya divisi yang memiliki bom molotov sebagai persenjataan, maka habislah divisi tiga menjadi tujuan dari kata-kata mutiara yang mereka ucapkan. 

"Bangsat, anjing lu divisi tiga!"

"Kurang ajar, gue aduin illias nanti lu tai! Pipi gue kegores anjing banget emang divisi tiga!" 

"Keparat! Ah sial, ku pikir jantungku akan berhenti berdetak, mati saja kalian divisi tiga." 

"Gila aja, aku baru masuk udah disambut ledakan."

Beberapa umpatan serta merta mengalun tanpa henti, terlebih untuk divisi empat yang banyak berisi orang-orang mulut beracun tanpa akal. Tak berbeda jauh dari divisi empat, divisi lima pun mengalami keterkejutan yang hebat, hingga membuat para anggota kembali lagi melepaskan kutukan bagi divisi tiga. 

"Tai, pasti divisi tiga lagi yang buat ulah. Mati aja kek mereka nyusahin aja!" 

"Anjir suara ledakan apaan tuh? Wah makin ga beres nih divisi tiga." 

"Ga jelas anjing, makin kesini makin ada aja kelakuannya, gue doain habis dimakan monster kek lu pada, sial." 

Tentu saja kata-kata kotor tersebut terlontar dari mulut berbisa para senior yang sudah kepalang muak dengan kelakuan divisi tiga yang memang hobi sekali menghancurkan fasilitas juga buang-buang senjata selama latihan. 

Terkecuali untuk Humaira yang sedang dalam kekhawatiran, terlebih mengingat sang kakak kembar yang ditempatkan pada divisi tiga. Gadis itu hanya diam sembari membatin cemas, 'Semoga kakak baik-baik aja di sana'. Tidak ada yang menyadari raut wajahnya yang muram, semoga saja kalian dilindungi oleh apapun itu divisi tiga.




Pelatihan sudah berakhir beberapa jam yang lalu, setalah melakukan evaluasi kepada Eren sebagai oknum pembuat masalah dan berakhir atas penyesalannya. Kini El-Khaif kembali menerima misi baru. Dengan segera El-Khaif menginformasikan misi tersebut kepada para anggotanya. Terdapat wakil ketua Ruhi yang baru saja kembali dari aktivitasnya dengan keringat yang penuhi kening, lalu ada Eren yang masih nampak murung serta Saumara juga Saraiah yang sedang berbincang di sisi ruangan. Tak ketinggalan pula si kecil Harun juga Rai yang sedari tadi sudah ada di ruangan. Semua anggota masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

El-Khaif, selaku ketua divisi tiga segera memberikan informasi serta mengumpulkan anggotanya untuk mendiskusikan rencana perjalanan mereka. "Kita ada misi baru yaitu mencari seorang dokter. Dengan kemungkinan pasti situasi di luar jauh berbeda seperti situasi di tempat kita." Suasana di ruang divisi tiga terasa hening, hanya terdengar suara dari sang ketua yang tengah menjelaskan misi.

"Jadi, apa ada yang keberatan atau punya solusi mudah supaya kita tetep selamat dalam menjalankan misi ini?" Bola matanya mengarah pada tiap-tiap atensi anggotanya. Eren mengangkat tangan sebagai yang pertama ajukan suara, "Ijin komandan. Saya pribadi sih gak keberatan ya, toh kita disini emang tugasnya buat ngebantu rakyat. Kalau gitu, gimana kita berangkatnya pada waktu malam?" 

El-Khaif menimbang-nimbang, "Untuk itu kita harus konfirmasi dahulu dengan perusahaan. Tapi, apa alasannya lu pilih malem?"

"Gua pikir kalo malem tuh enak, adem juga. Gak terlalu banyak orang yang buat kerjaan kita bisa efisien. Gimana?" Di sebelah kiri ada Ruhi yang mengernyitkan alis.

"Malem? Gak dulu deh kata gua. Lo tau kan kalo malem itu lebih banyak risikonya. Kita gak tau musuh bisa sembunyi di mana aja, gua prefer pagi sih." Ruhi bersuara ajukan penolakan, gelap gulita sungguh hapuskan penglihatan maka ia memilih pagi. "Nah, kalo pagi biasanya cewek suka ribet kan? Apalagi Saraiah udah pasti dia bakal nolak berangkat pagi," ucap Harun setengah mengejek sedang Saraiah mendelik saat namanya disebut.

"Oke, kita ambil jalan tengah." El-Khaif buru-buru melerai dan ambil keputusan, "Kita pergi siang hari. Kenapa begitu? Sebab musuh bisa gampang terdeteksi kalau siang, dan lagi gak mungkin juga mereka bakal nunjukin diri se-terbuka itu. Ada sanggahan?" Yang lain diam, menggeleng artikan tak ada lagi penolakan dan setuju atas akhir perdebatan. Lalu El-Khaif lanjuti oleh persiapan lainnya.

"Ruhi, siapkan senjata yang harus kita bawa. Jangan lupa senapan milik saya."

"Baik, komandan."

Setelah perdebatan yang singkat serta berhasil mendapatkan kesepakatan, anggota divisi tiga segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan perintah dari komandan mereka, El-Khaif. Tak lupa juga mereka membawa beberapa senjata sebagai tindakan pencegahan untuk menghadapi situasi yang tak diinginkan, seperti bertemu dengan musuh atau bahkan yang lebih mengerikannya lagi bertemu dengan monster. Setelah membaca peta yang diberikan oleh Saumara, mereka akhirnya setuju untuk berangkat pada siang hari karena pada saat itu musuh tampaknya tidak akan menampakkan diri, hal ini akan mempermudah mereka dalam mencari dokter dengan lebih aman. Meskipun bisa dipastikan masih ada beberapa monster yang berada di sekitar.

Informasi mengenai divisi tiga yang akan melaksanakan tugas untuk mencari dokter segera menyebar ke seluruh divisi, tanpa terkecuali Kalam yang tengah menyiapkan beberapa alat untuk berpatroli. Kalam mengernyit bingung, sepengetahuan dia tempat yang akan mereka tuju sudah tidak ada penghuni jadi akan terasa sia-sia kalau divisi tiga memaksa untuk pergi kesana sebab tempat itu sudah kosong dan tidak akan mungkin menemukan entitas lain apalagi dokter. Kalam butuh seseorang untuk membantu mencegah dan membawa divisi tiga kembali ke perusahaan sebab dia yakin bahwa mereka tidak akan percaya begitu saja kepadanya. Yuhendra Soerja, Kalam membutuhkan bantuan orang itu. Setelah sepakat, keduanya bergegas menyusul anggota divisi tiga untuk segera kembali.

Mendapati anggota divisi tiga yang diberikan misi untuk mencari dokter ke luar sana, Soerja beserta Kalam segera pergi bergegas mencegah mereka. Ada info penting yang perlu mereka katakan, maka dengan langkah yang tegas pula pompaan nafas tak beraturan yang tak jua mereka acuhkan. Soerja dan Kalam segera pergi ke arah ruang senjata dengan tergesa, hampiri para anggota divisi tiga yang tengah bersiap jalani misinya. 

"Kalian serius mau cari para dokter itu?" Tanya Kalam tanpa basa basi yang langsung ditimpali pernyataan serupa oleh Soerja, "Gausah pergi, cuma buang-buang waktu. Yang ada tenaga dan amunisi senjata kita habis terbuang di luar sana," tegasnya kemudian yang tentu hal itu membuat seluruh anggota yang berada dalam ruangan tersebut melirik langsung ke arah mereka berdua dengan tatapan keheranan, terhenyak dapati kalimat mengejutkan yang terlontar dari belah bibir Soerja, apa maksudnya dengan buang-buang waktu?

"Maksud lo gimana deh? Tau dari mana lo info begituan?" Tanya Harun kemudian. Ia berjalan perlahan mendekati Soerja dan Kalam, berdiri di hadapan mereka berdua dengan sorot pandang yang masih tersirat jutaan tanya. Lantas dengan santai, Soerja memasukkan tangannya pada pesak celana dan membalas, "Dokter-dokter di sana tuh udah gak ada, percuma kalau kalian keluar. Mau cari ke mana coba?"

Alis Harun menekuk curiga, "Gausah ngarang. Jangan-jangan lo lagi kumat?" Ujarnya kembali lontarkan tanya. Mendengar hal itu Kalam hanya terdiam, melirik ke arah Soerja yang dengan kasar helakan nafasnya lalu menimpal dengan intonasi kata yang sedikit lantang, "Kambuh apanya sih? Lo tau apa soal penyakit gue? Gue tau info ini karena orang tua gue dokter, mana mungkin gue ngarang." Alisnya menekuk, tampilkan wajah yang jelas murung dan tak ramah. Seperti biasa, Soerja yang diam saja pun sudah begitu tampangnya, apalagi jika ia dibuat kesal.

Mendengar hal itu membuat mereka semua yang kini tengah berada dalam ruangan terdiam, menimbang ulang ucapan dari Soerja barusan. Namun, seolah tengah satu hati, Harun mulai kembali angkat bicara suarakan isi hati, "Tapi menurut gue gak ada salahnya juga kita ke luar. Siapa tau masih ada beberapa tim medis di sana, coba ngecek aja. Mau ada gak ada pun, setidaknya kita udah coba mencari mereka. Daripada sama sekali gak ada? Gak bergerak untuk berusaha, lagian ini udah jadi bagian dari misi kita."

Lagi-lagi yang lain hanya mengangguk yakin, setujui ucapan Harun barusan. Sebab terlanjur kesal oleh ucapan Harun tadi dengan Kalam yang kini terdiam tak berani, dibalaslah oleh Soerja yang hanya mendelik tak sudi ke arah mereka dan berbalik pergi tinggalkan anggota divisi tiga tanpa berucap apapun lagi. Kalam menghela, menatap ragu ke arah mereka semua dan kembali mewanti beri mereka cegahan, "Menurut gue, mending pikirin ulang. Yang dibilang Soerja itu bener, lebih baik kalian gak usah pergi keluar." Lantas ia berlalu dengan cepat menyusul kawannya, melangkah ke luar ruangan.

Harun hanya terdiam, tak menggubris mereka berdua yang bersikukuh menahan anggotanya untuk tidak ke luar. Ia menoleh ke arah teman-temannya dan masih yakinkan mereka dengan keputusannya, "Gak usah didengerin, kita tetep harus pergi. Ayo, fokus dan siap-siap."




Melihat langit yang tak bersahabat membuat Selena menghela napas lelah, ia menoleh ke arah teman-temannya yang terlihat memasang wajah serius sekaligus bingung. Perempuan dengan elok yang ayu itu menopang dagunya dan melihat benda pipih namun lebar yang tergeletak diatas meja.

Wintan berdeham, "Menurut kalian, kenapa orang diluar sana bisa terinfeksi? I mean ... kenapa bisa, gitu?"

"Kontak fisik? Bersentuhan kulit antar kulit juga bisa menularkan penyakit, kan?" sahut Denara yang lebih awal memberikan opininya.

Terlihat Said yang menggelengkan kepalanya dengan santai, "Saya rasa bukan karena itu, Denara. Saya pernah lihat manusia yang terkena gigitan infected, tapi dia masih sadar seutuhnya. Bahkan luka dari dia tidak hilang selama sebulan, tapi manusia itu tidak menunjukkan reaksi yang aneh."

Hening menyapa beberapa saat, sebelum penuturan Wintan kembali terdengar. "Kalian pernah suntik imunisasi saat waktu kecil? Bagaimana kalau itu semua berasal dari sana?! Bagaimana jika ternyata itu adalah virus yang mematikan?!" ucapnya dengan raut wajah yang khawatir. Lalu terdengar decakan malas dari mulut pedas Denara.

"Bodoh! Jika itu virus mematikan, lo nggak akan bisa ada disini sekarang, tapi di neraka." Denara memutar sepasang matanya dengan malas. "Bisa aja kan virus itu berasal dari makanan yang kita makan? Kayak roti, nasi, atau minuman seperti kopi, soda, air mineral, dan yang lainnya?"

"Pikiran kalian terlalu jauh, Wintan, Denara." Melihat Selena angkat bicara, kedua perempuan itu terdiam. Selena mendorong pelan benda pipihnya kearah tiga muda-mudi tersebut, menunjukkan rentetan tulisan yang didapat hasil memata-matai anggota Lotra.

"Di sana tertulis, penyebab utama berasal dari udara yang kita hirup saat ini." Selena menghela napas untuk yang kesekian kalinya, sembari memandangi langit yang seolah menunjukkan kesedihan. "Virus itu berasal dari udara dan sudah tercampur dengan partikel debu yang berterbangan." 

"Agak sulit dipercaya, tapi terpampang bukti sejelas ini," gumam Denara yang tidak percaya. 

"Bagaimana cara membedakan kalau debu itu berbahaya, Selena?" tanya Said.

Selena menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku belum dapat memastikan bagaimana perbedaannya. Jadi, kita harus waspada dengan memakai masker setiap bertugas. Takut-takut kalau salah satu dari kita menghirup udara tersebut." 

Selepas mengucapkan hal itu, Selena menundukkan kepalanya sedih, terlihat rautnya begitu takut akan sesuatu. "Bagaimana jika aku mati karena itu ...," ucap Selena terdengar lirih, namun Said mendengar itu semua. Pemuda itu terkekeh dibuatnya. 

"Nggak usah takut, nanti saya jagain kamu paling depan."

Mendengar hal tersebut, lagi-lagi Denara memutar sepasang matanya dengan malas. Perempuan itu hendak menimpali perkataan Said memakai sarkas andalannya, namun mulutnya terbungkam begitu saja ketika mendengar suara langkah kaki seseorang. Ketiga temannya pun ikut menoleh pada satu arah bersamaan, penasaran siapa yang akan datang. 

Terlihat Sabita datang sembari memasang raut wajah begitu serius. Gadis kecil itu berjalan dengan langkah yang cepat menghampiri ruang tempat divisi empat berkumpul kemudian membuka pintunya kasar. "Ada beberapa hal penting dan harus aku laporin."

Keadaan semula serius tiba-tiba tegang, Denara mendengar itu berinisiatif untuk bertanya, sebab nampak Sabita datang dengan beberapa barang yang sedang ia bawa. "Loh, Sabita, butuh bantuan?" Sabita pun menganggukkan kepalanya sambil membenarkan pegangan pada barang yang ia bawa, "Divisiku baru aja menemukan sesuatu." 

"Kalau gitu, masuk dulu sini." Sabita mengekori Denara yang berjalan masuk lebih dulu, ia tak sadar bahwa sedari-tadi beberapa anggota divisi empat dan divisi lain sedang berkumpul. Denara menghentikan langkah lalu berbalik, pandangannya teralihkan dengan barang yang sedang dibawa oleh Sabita. "Kayanya menarik barang-barang yang lo bawa itu." Sabita tersenyum lalu menaruh barang tersebut di atas meja. "Divisi lima baru aja patroli di sekitar museum, dan kami menemukan ini. Mungkin bisa jadi sebuah petunjuk." Denara kembali duduk di samping Selena sambil memerhatikan beberapa barang-barang itu. 

Kehadiran Sabita membuat divisi empat tertuju pada gerak-geriknya. Meletakkan barang yang dirinya bawa diatas meja. “Oke guys, genting. Tadi Sabita menemukan senjata ini saat divisi lima patroli.  Kalian tau ini logo apa?” tanya Denara pada sekawan divisinya. Yang lainnya memandang satu sama lain, terlihat bingung dengan apa yang ada disenjata itu. “Loh, ini 'kan logo kota Karava?” Salah satu anggota dari divisi empat—Wintan— bertanya. “Iya, bener banget. Ini logo kota Karava,” sahut Soerja, anggotanya yang lain. “Tunggu, berarti maksud lo pelakunya dari kota Karava?” Illias, selaku ketua dari divisi empat akhirnya membuka suara. Denara menautkan kedua alisnya, membalas respon Illias dengan mimik wajah yang bingung. “Iyalah, apalagi coba? Enggak mungkin dia bisa dapat senjata berlogo Karava kalau dia bukan warga Karava.” 

Setelah berdiskusi dengan waktu yang panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk memberitahu pula pada divisi tiga terkait hal ini. Lagipula, semua akan selesai jika dilakukan bersama-sama, 'kan? Denara membuka suaranya kembali, “kayanya kita harus ngasih tau divisi tiga juga perihal ini. Karena bagaimanapun, mereka juga bagian dari Suarga. Siapa tau bisa cepat terselesaikan dan cepat ketemu pelakunya,” ujar Denara dengan tegas. Yang lainnya pun setuju. Akhirnya Denara bertemu dengan divisi tiga, dan mengajak mereka untuk membahas hal ini. Menjelaskan panjang lebar dengan sejelas-jelasnya pada divisi tiga, dan mencari jalan keluarnya seperti apa. “Gimana, ya? Karava itu luas, dan makhluk biadap kaya mereka itu gak cuma satu. Jadi pasti kita bakalan kesusahan untuk mencarinya,” tungkas Eren setelah mendengarkan penjelasan dari Denara. Lalu El Khaif—ketua dari divisi tiga menyauti jawaban Eren. “Lah, lo gimana, sih? Karena itu kita bakalan lebih cepat dong.” Setelah perdebatan yang cukup panjang mengenai kehadiran senjata yang digandrungi sebagai barang pelaku, akhirnya Saraiah mengeluarkan suaranya. “Gimana kalau misi ini boleh dibantu oleh siapa aja? I mean, semua orang dari divisi manapun boleh ikut. Biar masing-masing divisi juga tau, dan cepat selesai juga, kan?” usul dari Saraiah pun dicerna dahulu oleh teman-teman.

Wintan, gadis dengan rambut sebahu itu menolehkan kepalanya menatap pemuda yang tampak serius akan agenda diskusinya. Kedua netra mereka tak sengaja bertukar pandang, seolah mengerti isi pikiran Wintan. Latief, kapten divisi lima bersama tatapan tenangnya mengangguk tanda setuju, "Biar aku aja yang pergi ke museum sama Latief," ucapnya sambil tersenyum tipis pada bibir ranumnya.

Mendengar hal yang baru saja terlontar pada mulut Wintan, seketika mereka yang tengah berdiskusi pun memikirkan hal tersebut sejenak, mungkin mereka bisa memercayai Wintan, terlebih Latief adalah ketua divisi lima, tugas mereka memang berpatroli. "Aku ingin anggotaku turut serta. Mungkin itu akan mempermudah kita menemukan siapa dalang dari semua ini, walau tidak semudah membalikkan telapak tangan tentu saja." Setelah mengatakan kalimatnya dengan yakin, Latief meminta Humaira dan Sabita ikut andil dalam tugas kali ini.

Melihat Latief telah benar-benar siap untuk pergi ke museum bersama kedua anggotanya, sebagai anggota divisi empat tentulah Wintan mesti mengantongi izin dari ketuanya terlebih dahulu. Illias belum memberikan titah namun ia telah berinisiatif mengajukan diri. "Illias, boleh aku yang pergi ke museum?" Sang pemimpin nampak menimbang sejenak sebelum akhirnya memberikan jawaban, "Jangan lakuin kesalahan apa pun." Mendengarnya Wintan mengangguk dengan senyum terkembang seraya berucap dengan mantap, "Aight, kapten!"

Sebetulnya Wintan dapat menangkap sorot keraguan di mata Illias dan teman-teman lainnya, di antara anggota divisi empat ia adalah perempuan paling muda dan tergolong junior, wajar jika ketuanya itu memberi mandat untuk tidak melakukan kesalahan. Ketangkasan adalah kelebihan Latief Sembada. Meski paling muda namun Humaira gesit terlebih saat bertugas dan Sabita memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Walau pun belum pernah memiliki kesempatan untuk melakukan tugas berat sebelumnya, Wintan sempat mempelajari ilmu bela diri sehingga ia yakin dapat melakukan misinya dengan baik. Sabita bisa memprediksi ancaman, Latief dapat dengan cekatan menghalau serangan, Humaira dengan tubuh mungilnya dapat menyelinap ke sana kemari dan Wintan dengan mata elangnya dapat menemukan hal-hal kecil seringkali luput dari penglihatan. Beranggotakan empat manusia cakap, perpaduan tim kali ini terbilang sempurna untuk mencari jejak kebenaran mengenai senjata bekas menghancurkan museum dengan logo Kota Karava yang telah ditemukan.




Di sisi lain, pun sore hari, ketika perusahaan Suarga milik Mortey tengah sibuk atas berita selentingan yang diangkat Sabita, wakil kapten divisi lima. Sedang Ruhi sang wakil ketua divisi tiga, tak ikut dalam misi, berdiri nyaman di balkon kamar kepunyaan pria Januari yang duduk di belakang seraya melipat tangan. Begitu hangat, dan dipenuhi aroma kayu cedar. Kedua sikunya menumpu pembatas pagar, menelisik jauh ke depan dengan sesekali kening mengerut menandai isi kepala nan carut marut.

“Kamu percaya itu, Oris?”

Tak tahan tersimpan dalam benak, maka segera ia utarakan. Oris Munfar selaku lawan berbincang, sedikit mengangkat sebelah alis kemudian menjawab singkat, “Tidak.”

Ruhi berdecak kesal memutar tubuhnya menatap pria itu tak percaya. “Jawab yang benar, Oris!” Rasa ingin tahunya benar-benar tinggi, belum puas hati jika prasangka tak kunjung digubris kekasih hati. “Katakan padaku dengan benar, bagaimana pendapatmu?”

Oris mendengus pelan. “Sudah setahun berlalu, tidak mungkin bangkainya masih berbentuk.”

Bukan Ruhi Btari namanya jika mudah puas dengan satu ungkapan. Ia memikirkan kasus penyerangan tahun lalu yang tiba-tiba kembali menyeruak, pasti bukan tanpa alasan kembali ke permukaan. “Lalu, menurutmu kenapa mereka bilang itu milik Karava? Apakah mungkin ada yang disembunyikan oleh mereka? Dari awal masuk tempat ini, aku tak bisa percaya pada manusia-manusia itu. Terutama divisi lima.”

“Semuanya masih belum jelas, berhentilah memikirkan hal tidak penting,” jawab Oris, tidak ingin berdebat atas masalah yang belum ada tolak ukur akurasi. Namun, apa yang harus diharap dari wanita keras kepala satu ini. Belum menyentuh waktu lima belas detik, dirinya kembali mengeluarkan argumentasi lagi.

“Tapi, Oris, kita harus memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.”

Pria tersebut sudah tak dapat menahan diri untuk berdiri kemudian menghampiri, mengerling tepat pada manik terang dengan aksen oranye ini. “I told you, Ruhi Btari. Tenangkan dirimu, atau kucium, eh?”

Tepat ketika Ruhi ingin melanjutkan pemikirannya, dering telepon memecah kesunyian. Ia bergegas mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melihat ID penelepon, Saumara si Pedang Tumpul yang menelepon. Ia melirik Oris dengan pandangan was-was, kemudian segera menggeser tombol hijau di layar. Panggilan tersambung. “Halo! Ada apa, Mara?” 

Suara tembak disusul letusan secara serabutan terdengar dari bilik panggilan, seakan menjadi musik latar perbincangan antara kedua anggota divisi tiga tersebut. Rasa penasaran berkecamuk di kepala Ruhi. Bertanya-tanya dalam angan perihal maksud dan tujuan sang kawan menghubungi dirinya di tengah misi yang sedang terlaksana.

Napas Saumara terdengar terengah-engah, nyaris habis. “We fucked up. Ini di luar prediksi, monsternya terlalu banyak, fuck! Kami kekurangan anggota.”

“APA?! Harusnya gak keluar dari prediksi kita! Apakah ada yang terluka? Amunisi aman? Oh, C'mon! Is there anything I can help?” Wanita itu menyerbu dengan serentetan pertanyaan, genggaman mengerat dan terlihat gemetar menunggu jawaban.

“Gak semua anggota kita ikut ke museum …,” jeda beberapa detik, “…. —sejauh ini aman, tapi gue gak yakin tanpa bala bantuan kami semua bisa selamat.”

Sayup-sayup terdengar pekikan, sebelum akhirnya bunyi berima penanda sambungan terputus tertangkap indera pendengar. Membuat Ruhi ikut memekik memanggil nama si anggota pasukan, walau jelas tiada harapan. Raut cemas dan khawatir terlukis nyata tanpa dapat ditahan.

“Sesuatu terjadi?” 

Ruhi mendesah frustasi. “Divisi tiga membutuhkan bantuan. Tempat mereka menjalankan misi dikepung makhluk jelek itu, harusnya mereka mendengar kata-kata ‘ku! Mereka belum siap untuk misi ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Telepon Saumara terputus, semua orang sedang sibuk dan— ….”

Tanpa peringatan apapun, Oris mengecup belah bibir merah delima sang wanita. Menangkup kedua pipi gemuk dan memeta lamat-lamat. Memerangkap obsidian sewarna madu yang kerap membuat rindu. Ruhi selalu terjerat disana, tak sanggup kemana meski bulu mata berkibar. Wanita itu menahan napas, tatkala deru hangat menyapu wajahnya yang mendadak lugu, “I really want to kiss you right now, but you’ve got something wait for,” bisik si pelaku.

Ruhi terdiam kaku dengan satu tegukan ludah, rona merah jambu mulai menyembul di permukaan paras ayu, dan debar dada kian cepat melaju. Mendadak linglung, mempertanyakan apa yang telah terjadi? Atau, apa yang sebelumnya ia pikirkan? Terlalu berkutat pada pertanyaan semu, hingga tahu-tahu Oris telah memasangkan jaket kulit warna hitam di pundak sempit itu—yang tadi Ruhi letakkan di pembatas pagar, tersenyum juga mengusap puncak kepala. “Sudah mulai larut dan udara mungkin semakin dingin. Pakai jaketmu, lalu kita bergegas.”

“A-aku akan segera pergi.” Ruhi merutuki suaranya terpecah akibat kegugupan yang melanda, sebelum berdehem pelan, “Maksudnya, yeah ... kamu benar! Aku harus cepat mengambil senjata dan menyusul mereka sekarang.”

“Aku ikut,” sahut Oris cepat.

Ruhi mengernyitkan alisnya tanda tak setuju dan menggeleng menanggapi ucapan pria tersebut. “No, you stayed here. Kamu bukan anggota divisi tiga, dan tidak punya tanggung jawab soal mereka.”

Oris mendelikkan mata, apakah dirinya terlihat peduli dengan divisi tiga? Ayolah. “Aku tahu. Karena itu aku ikut untuk kamu, bukan untuk mereka.”





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan Populer