CHAPTER 12: TUTUP MULUT SI PENGECUT.

DI RUANGAN paling bawah, El-Khaif baru saja menyelamatkan dokumen yang sekiranya penting untuk diketahui masyarakat. Berpikir bahwa ia harus cepat-cepat menuju ke kantor Sir Travis tetapi kedatangan Said menghentikan langkahnya.
Pria itu melayangkan pistol, sudah pasti. El-Khaif tidak ingin kalah, ia melakukan hal sama. Perlahan, bayang-bayang bagaimana wajah Raisada yang hancur akibat ulah Ruhi melintas berulang-ulang, teriakan Sabita bahkan terngiang-ngiang seolah memacu semangat Said agar melaksanakan rencana seperti awal mula ia percaya.

Orang-orang berpikir bahwa pembantaian rekan-rekan kerja Suarga adalah lumrah. Hanya saja, bagi Said sangatlah tidak adil untuk mereka berbahagia setelah melihat kehancuran seseorang yang berusaha lakukan kebenaran.

"Put that shit down, Said," mata nyalang El-Khaif merasuk tajam menyuruh Said meletakkan pistol yang ia pegang.

"No. You can't stop us," tolak Said mentah-mentah. Mereka tetap berhadapan dengan senapan pada tiap tangan.

Seringai kecil muncul dalam bibir si ketua divisi 3 itu, "Well, he died."

"How dare to you say that thing in front of me?" Binar mata kekecewaan muncul dari Said, "It's because your fucking vice chairman," ungkapnya dengan jelas. 

El-Khaif tetap dengan sikap tenangnya menjawab, "Nobody wants that."

"Really? But that's what's happening." Said hampir kehilangan kesabaran. 

"You have no idea what you're walking into. You don't know how large that problem is and your decision are," suara El-Khaif membesar, si ketua divisi 3 itu selalu punya jawaban untuk membela diri.

Sedangkan Said sudah muak dengan apa yang diucapkan oleh El, "I don't care. Semuanya akan saya lakukan demi Raisada."

"Please, Said," nadanya kini merendah. "Think about what you gonna do, many people died because of him," El mengungkit kejadian yang telah Rai perbuat dan mencoba mengasut pikiran Said. 

Namun, Said tentu tak terpancing, ia tetap dengan pendiriannya, "You know what? Kalau saja kawan saya itu tidak benar-benar mengambil sampel darahnya, tidak akan ada yang tahu bahwa Suarga punya obatnya. Duende pun bisa disembuhkan." Urat-urat leher milik Said terlihat jelas, ia bicara sangat tegas sedang El hanya berdiam seperti orang bodoh.

"Lu tuh ngomong apa sih?" Ucapnya sambil menarik satu alis.

"Kenapa kau sangat bodoh, El-Khaif?" Said dibuat kesal sekaligus gemas dengan respon El-Khaif yang seakan tak tahu apa-apa. "Kau tidak ingin saya dan Raisada membuat vaksinnya hanya karena tidak ingin mengorbankan seseorang tapi kau justru membiarkan anggota divisimu mati," jelasnya, kemudian ia membuang muka acuh sebab lelah berbicara dengan ketua seperti El-Khaif.

"Karena dia pantas dihukum." Singkat dan padat, El selalu menjawab dengan kalimat seadanya.

"Itu tidak adil. Perbuatanmu dan anggotamu itu sangatlah illegal. Kenapa tidak mengerti juga?" Kini kakinya maju selangkah, meremas kerah baju El dengan kuat.

El tentu tidak tinggal diam, ia meremat kepalan tangan Said yang semakin mencengkram bajunya, "Lu yang gak pernah mengerti posisi petinggi di sini, Said." Cengkraman itu berhasil lepas.

"Gua akuin tindakan lu dan dia emang besar dan mulia. tapi ... pikirin juga perasaan Ruhi kalau ditinggalkan sama dia," lanjut El yang seketika teringat Ruhi, si gadis kuat sekaligus wakilnya itu.

"Kau berbelas kasih padanya tapi tidak kasihan dengan rakyat-rakyat yang menderita karena virus ini?" Said membalik tanya, ia tetap merasa jika El belum sepenuhnya adil. "Kau juga tak kasihan pada Sangkara?" Egois, itu yang ada dipikiran Said sekarang terhadap El-Khaif.

 "It's your fault," tangan El menunjuk tepat di depan muka Said.

"No. It's not my fault," ucapnya sambil menepis tangan El dengan kasar. "Semua itu tidak terjadi kalau kau membiarkan kami membuat obatnya. Sia-sia untuk mencari dokter, kalau begitu?"

"Itu bukan kehendak gua, Said." Tangannya mengacak-ngacak rambut frustasi, El-Khaif sangat kacau saat ini.

Napas tersenggal milik Said pun sangat terdengar jelas, "Namun, Sir Travis meminta kalian bertindak demikian, itu karena dia ingin kita semua sembuh!" Ucapnya penuh penekanan di akhir.

"DUENDE ITU GAK ADA OBATNYA!" El-Khaif berteriak, mukanya memerah tak tertahan dengan amarah yang kian memuncak. "Tolonglah, pahami itu." 

Said mungkin sedikit bergetar tetapi ia tak menampakkan itu. Sekarang, giliran ia yang terdiam melihat El-Khaif yang hampir terlihat seperti monster ini. 

"Lu tau kenapa gak ada obat yang bisa sembuhin? Karena manusia gak bisa sepenuhnya suci," El-Khaif mengucapkan fakta dibalik semua masalah yang terjadi di dalam Mortey, ia jelas punya alasan mengapa bersifat seperti ini. "Ibaratnya, darah lu itu kotor dan penuh dosa, Said. Terus dengan lu dapat donor dari orang yang suci dan gak pernah berbuat maksiat, apakah lu otomatis bakal langsung tobat? 'Kan, enggak!" Lanjutnya.

"Sistem kerja virusnya tidak sesederhana itu." Said menggelengkan kepalanya.

"Tapi, Duende menular dengan cara sesimple itu," Jawab El tegas. "Lu menempatkan peran pahlawan di sini salah, Said. Lu sendiri berpikir bakal bisa menyelamatkan seluruh dunia. Tapi engga. Lu gak bisa menghentikan seseorang untuk berbuat kejahatan." 

Di balik kesalahan yang dilakukan El-Khaif, dia benar-benar memikirkan semuanya walaupun terkadang tak ada yang tahu. Vaksin maupun obat tidak sembarang di buat dan diberikan maka dengan itu El-Khaif berani melakukan apa pun, walau hanya bisa menyelamatkan beberapa anggotanya. Baik El juga Said, mereka sama-sama ingin menyelamatkan semua orang meski dengan cara yang berbeda.

"Setidaknya, saya harus mencegah mereka," Said tak kenal kalah, pria satu ini selalu pegang kendalinya sendiri. 

"It's too late," kini El yang menggelengkan kepalanya, merasa sia-sia. "Gak ada yang mau dengerin lu. Karena, semuanya udah gak percaya sama omong kosong lu," ucapnya yang berhasil menusuk hati Said.

"Sedari awal, lu sama Rai bukannya cepat-cepat bermain untuk menghipnotis rakyat tapi justru main petak umpet sama karyawan Suarga. Lu pikir itu bisa bekerja dengan baik?" Guratan di kening El nampak jelas, ia mulai meragukan pria di depannya ini.

"Tapi, bagaimanapun saya harus melakukan sesuatu, untuk dunia ini dan teman saya yang sudah meninggalkan saya," Said masih dengan tujuan utamanya.

"Tapi lu gak pernah maju-maju." Kalimat menohok El-Khaif lagi-lagi dilontarkan dengan mudah.

"El-Khaif, saya tetap akan memperbaiki sistem Suarga." Dengan tegas Said berkata tanpa keraguan, "Kalau kau ingin ikut dengan saya, baguslah. Jika tidak, lebih baik jangan menghalangi saya. Urusi saja tugas Sir Travis sana," lanjutnya sambil bersiap melangkah pergi.

"Dia bakalan nemuin lu di sana!" Sungut El.

Langkah Said berhenti sejenak, menatap El yang masih sedia di tempatnya sejak awal, "Kalau begitu, kirimkan saja salam untuknya. Saya akan mati dengan hormat, meski dapat cercaan rakyat."

Ucapan Said tersebut bertujuan untuk menyadarkan El-Khaif bahwa ia sebenarnya egois. Tidak ada rasa peduli barang secuil terhadap orang lain. Bahkan, saat teman satu divisinya mati, ia masih saja menganggap temannya pantas mendapatkan hukuman tersebut.

Namun, alih-alih merasa sadar akan perilakunya yang minim empati, El-Khaif justru merasa sakit hati. Segera, jemarinya menarik pelatuk pistol yang sedari awal percakapan sudah ia arahkan tepat ke arah kepala Said. Skill menembak yang ia miliki tidak bisa diragukan lagi karena peluru itu melesat cepat menembus tengkorak kepala hingga melukai organ otak. Tubuh Said jatuh mengenaskan dengan darah yang terus keluar dari lubang bekas tembakan. Said Aghar meregang nyawa tanpa berhasil menyelesaikan rencana yang telah dipercayakan oleh Raisada.




Waktu berjalan cepat seperti langkah kaki El-Khaif. Ketua divisi 3 itu tergesa-gesa beranjak pergi ke markas Suarga dengan sebuah dokumen yang ia dapatkan secara mudah. Dokumen itu berisi sejarah virus DUENDE, dokumen penting yang ia curi dari Said.

Sampainya ia di markas, ia bertemu dengan wakilnya Ruhi juga Kalam yang sudah menunggu sejak lama. Ketukan sepatu mengisi kesunyian lorong gedung utama Suarga. El-Khaif sedikit waspada, perasaannya berkata ia harus menyelesaikan panggilan ini secepatnya.

Pintu terbuka dengan otomatis setelah ia menunjukkan pin peraknya. Di hadapan, Kalam sudah menunggu kedatangan sang Kapten. Yang berdiri membatu mulai mengangkat langkah, sarung tangan hitam dilepas kemudian jatuh ke lantai.

"Gua dapat informasi kalau ada yang memata-matai Suarga tanpa sepengetahuan siapapun," tanpa menunggu lama Kalam mulai sebuah perbincangan. "Dan orang itu berhubungan langsung sama Raisada." Mendengar kalimat yang dilontarkan Kalam, netra El membesar seketika. 

"Raisada lagi?" Ulangnya memastikan. "Dia udah mati masih dibawa-bawa juga ya ternyata," sambungnya.

Kalam mengangguk, "Sesuai kata pepatah. Legenda tidak pernah mati." Suara Kalam terdengar begitu dalam.

"Apa maksud lu?" Pertanyaan bodoh El-Khaif berhasil mengudara.

"Lah? HAHAHA," Tawa Kalam meledak dengan ringannya. 

"Kayaknya, lo masih gak tahu menahu soal rekan kerja sedivisi sendiri, ya? Bener ternyata kata Rai, lo kurang soal memperhatikan anggota. Atau jangan-jangan, lo yang pura-pura gatau?" Kalimat itu langsung membuat El-Khaif tak nyaman, jelas di sini ia merasa direndahkan saat Kalam berucap dengan puas. "Kemungkinan besar pengkhianatnya sekarang kalau gak anggota divisi 4 ya 3," sambungnya.

Namun, reaksi El tak menunjukkan jika ia keberatan akan hal ini, ia sadar jika dirinya belum sempurna untuk menjadi seorang ketua divisi. "Iya juga, ya. Gua saking gak perhatian sama anggota aja gatau kalau mereka dalam bahaya atau ngelakuin kesalahan."

"Duh, El. Apa sih yang lo pikirin belakangan ini?" Ucap Kalam menjadi sedikit prihatin saat melihat raut muka El yang terkesan tak punya semangat. 

"Salahkah kalau gua sibuk memikirkan gimana caranya supaya seorang dokter mau bikin vaksin buat semua penduduk bumi?" Kedua netranya membalas tatapan Kalam lebih dalam.

Kalam memutus kontak mata mereka. "Cita-cita lo itu terlalu besar!" Ujarnya ketus. "Lo sadar gak sih kalau selama ini yang berusaha dicapai sama anggota lo adalah itu? Tapi mereka gak pernah punya kesempatan buat dapetin dokternya. Karena sebelum sampai sana justru udah ditumbangkan sama penjaga bahan utama," raut kekecewaan Kalam terlihat jelas.

"Jadi, yang salah itu sebenernya siapa?" El mengusap wajahnya kasar.

"Ya mana gua tau. Kenapa malah nanya gua?" Kedua tangan serta pundaknya terangkat, "Kita mau berbuat adil sama rakyat, tapi itu sulit juga. Kita gak boleh egois buat ngorbanin temen kita." 

"Udah sia-sia juga, Lam. Bahan utamanya aja hancur sedari 2 bulan lalu." El sendiri pun tak tahu harus melakukan apa, waktu tak bisa diputar dan kenyataan membuatnya kehabisan jalan.

Menghela napas sejenak, Kalam mengangguk setuju perihal ini. "Iya, gua juga tau itu. Terus lo mau ngapain sekarang?" Tanyanya kepada El yang sejak tadi menununduk.

"Apa lagi emang?" El mengangkat kepalanya, "Patroli karena gua harus tahu dulu siapa pengkhianat kedua," ucapnya tegas. Setidaknya masih ada hal yang harus ia selesaikan sekarang. 

"Kalo lo udah tau, mau lo apain dia?" Tanya Kalam.

"Gak boleh dibiarkan hidup," jawabnya dingin. "Apalagi Mortey lagi krisis-krisisnya sekarang."

"Kalo itu justru temen lo sendiri, gimana? Masih mau bunuh dia?" Pertanyaan menjebak yang Kalam lontarkan membuat El mematung di tempatnya. 

"Gua tetep pada tujuan utama. Siapa pun itu gua ga akan mandang bulu." Sontak Kalam terdiam, El-Khaif mungkin bukan ketua yang baik tetapi ia selalu menepati janji yang telah ia ucap.

El-Khaif keluar ruangan lebih dulu meninggalkan Kalam yang masih tak beranjak. Langkahnya kini membawa ia kepada wakil ketua divisi tiga, Ruhi. Wanita itu terlihat sedang tidak melakukan apa pun di dalam ruangan pribadinya.

"El? Udah selesai bicara sama Kalam?" Tanyanya yang hanya dijawab anggukan oleh ketuanya itu.

El menatap Ruhi dalam lalu menyuruh wanita itu mendekat kearahnya, "Ruhi, gua minta sekarang lu balik ke Suarga." Langkah Ruhi berhenti tepat di depannya. 

"Kenapa gua harus kesana sekarang?" Tanyanya sedikit tak menyetujui. 

"Lu ga bisa di sini terus. Dan jangan egois cuma karena lu memikirkan keselamatan Oris aja." Kalimatnya terdengar tegas, "Ini perintah gua, sebagai ketua." 

Ruhi tentu tak setuju, ia menggelengkan kepalanya. "I don't want to go, El. Lu ga bisa merintah gua apalagi soal Oris." Napasnya kini menggebu lebih cepat. 

Ruhi meremat kain di ujung bajunya yang berwarna putih, ia tak ingin pergi dan tak ingin menuruti perintah dari ketuanya. Bisa saja El-Khaif memiliki pemikiran yang sama seperti Said dan kawan yang lain. Ruhi tak akan goyah.

"Kenapa gua ga bisa? Lu harus ikutin perintah gua, Ruhi." El terus mendesak Ruhi sedangkan Ruhi tetap merespon tidak mau.

"TOLONG JANGAN PAKSA GUA, EL!" Langkahnya semakin mundur sampai ia menabrak lemari yang berisikan senjata miliknya.

"PERGI.KE.SUARGA.SEKARANG.RUHI!" Ucapnya penuh penekanan, kini api dalam dirinya mulai menyala.

Di tempatnya Ruhi berdiri ia tak kalah menggebu-gebu. Netranya menatap samurai yang terjatuh tepat di bawah kakinya akibat benturan yang ia buat tadi. Selagi itu El-Khaif melangkah mendekat ke arah Ruhi dengan tatapan tajam.

Diremat tangan Ruhi sedikit kasar, El berniat menarik Ruhi agar keluar dari ruangan itu dan pergi tetapi tenaga Ruhi tak kalah kuat untuk menepis tangan El dengan mudah. Lalu, Ia mendorong El hingga terjatuh.

Dengan cepat dan kepalang emosi, diambilnya samurai itu saat El berusaha untuk berdiri. Saat melihat samurai yang sudah ada di samping lehernya, El menarik salivanya pelan. Ia menatap Ruhi dengan tatapan nyalang.

"You'd better keep your mouth shut forever, Captain!"

Tepat dengan denting jam yang berbunyi, Ruhi mengangkat samurai yang ia gengam dan mengarahkannya ke leher El-Khaif. Sampai detik berikutnya cipratan darah memuncrat ke arah wajahnya serta baju putih yang ia kenakan. Kepala El-Khaif tak lagi menyatu dengan tubuhnya yang gagah itu. Ruangan menjadi penuh dengan bercak-bercak merah kental. Ruhi menarik senyumnya puas, ia berhasil menutup mulut dan usia El-Khaif selamanya dengan tangannya sendiri.






BERSAMBUNG 


Komentar

Postingan Populer