CHAPTER 11: KOBARAN AMARAH PEMBAWA PETAKA.

SUASANA DI KANTOR SUARGA saat ini terbilang cukup sepi. Pasalnya, seluruh karyawan di sana mengikuti kegiatan yang diadakan oleh kapten divisi tiga, yaitu El, untuk mengunjungi sebuah rumah sakit yang berada di tengah kota. Namun, tidak bagi gadis paras elok dengan paduan mimik tegas tersebut, hanya Ruhi yang memilih untuk tidak ikut pergi dengan si kapten serta karyawan lain. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ruhi untuk menghubungi Illias. Tanpa basa-basi, gadis tersebut mengambil telepon darurat miliknya lalu segera menekan nomor yang dituju. Tak sampai satu menit, suara Illias menyapa rungu milik Ruhi. "Kenapa?"

"Yas, lo ada lihat Said nggak di sekitar sana?" tanya Ruhi.

"Nggak tuh. Kemungkinan besar Said masih berada di Karava dan belum pulang sampai sekarang," ucap Illias lalu terdiam sejenak. "Ada apa emangnya?"

Terlihat Ruhi memasang raut begitu serius. Sorot matanya menajam, seperti sedang melihat sesuatu. "Dari berita yang gue dengar, dokumen sejarah Duende sampai sekarang masih ada di tangan Sir Travis." Ruhi mengambil sebuah benda berukuran tak begitu besar, tetapi juga tak kecil. Di seberang sana tak terdengar sepatah kata pun, nampak tahu kalau gadis itu ingin melanjutkan perkataannya.

"Sampel darah Oris ada di tangan gue sekarang," ucapnya sembari melihat tabung berisi darah kepunyaan sang pujaan terkasih. Illias nampak sedikit terkejut walau ia tahu Ruhi tak dapat melihat ekspresi dirinya saat ini. 

"Hah? Udah gila ya lo Ruhi?!" balas Illias dengan sedikit membentak.

Terdengar Ruhi berdecak malas, "Kenapa sih? Selagi sampel ini ada di tangan gue, Said nggak bakal bisa bikin vaksin seperti niat dia sebelumnya."

Illias menghembuskan napasnya, sedikit kesal dengan pernyataan Ruhi yang sedikit percaya diri. Sebab perasaannya mengatakan bahwa ada kejadian tak mengenakkan yang datang menghampiri Ruhi sebentar lagi.

"Jangan santai begitu, lo harus berhati-hati. Bisa aja ada orang yang membantu Said selain Raisada."

Ruhi terkekeh mendengar pernyataan Illias, ia ingin membalas lelaki tersebut tetapi urung karena seseorang memanggil dirinya dengan lantang. 

"Sabita? Ngapain lo kesini?" Perempuan tersebut hanya menatap Ruhi dengan tajam dan raut wajah yang terlihat tak bersahabat.




Secara tiba-tiba Sabita mengacungkan pistol ke arah Ruhi, membuat gadis itu terkejut. "Hey, Sabita! Lo gila, ya?! Turunin pistol lo!" bentak Ruhi sembari menunjuk pistol kepunyaan Sabita.

Sabita menggeleng dengan tegas, tak ingin menuruti wanita itu sedikit pun. Terdengar suara 'ctak' berasal dari pistol Sabita, jari telunjuknya sudah bersedia pada tempatnya seolah bersiap menarik pelatuknya kapan saja. "Aku nggak akan turunin pistol ini sebelum kamu mengakui kesalahanmu dan mengembalikan sampel darah Oris!"

Seketika raut wajah Ruhi menjadi marah, giginya bergemelatuk. Bersamaan dengan tangannya yang mengepal erat menahan diri untuk tidak meninju junior di hadapannya. 

"Lo pikir gue bakal ngasih sampel ini dengan mudah? Nggak akan! Lagian, gue merasa tindakan gue ini sudah benar, jadi lo gak berhak buat suruh-suruh atau apa pun itu," ucap Ruhi dengan menunjuk ke arah wajah Sabita.

Atmosfer di dalam ruangan tersebut menjadi sangat tegang dan penuh kemarahan. Sabita yang kukuh dengan pendiriannya untuk tidak menurunkan pistolnya serta perkataan Ruhi yang menghantam pikiran dan perasaannya yang sudah beberapa hari ini ia kubur dalam-dalam.

"Lagian, ngapain sih lo ikut campur dalam masalah ini? Lo tuh cuma anak kecil yang tak bisa apa-apa! Lo lihat kakak lo mati dengan cara sia-sia, jangan sampai nasib lo berakhir seperti kakak lo yang ceroboh itu, Sabita." Ruhi menyunggingkan seringainya setelah berkata seperti itu. Kesabaran Sabita di ambang batas, ia meremat pistolnya. Napasnya memburu mendengar tuturan Ruhi.

"Kamu sudah keterlaluan, Ruhi. Aku cuma minta kamu mengakui kesalahanmu dan mengembalikan sampel itu. Akan tetapi, perkataanmu melenceng ke mana-mana! HEY, RUHI! JANGAN LARI KAMU!" 

Setelah membereskan perkataannya, Ruhi kabur begitu saja meninggalkan Sabita. Sesekali ia menoleh ke belakang, mendapati Sabita yang tengah mengejar dirinya dengan amarah yang menggebu-gebu.

"BERHENTI, RUHI!"




Angan-angan dalam sepi membawa kembali beberapa kenangan lama yang seharusnya tertata rapih tanpa harus berusaha keluar, ya seharusnya seperti itu.

Malam itu tampak lebih dingin dari malam-malam sebelumya, Sabita merenung sembari memandangi langit bertabur bintang yang tengah temani bulan tuk melaksanakan tugasnya menerangi bumi pada malam hari sapuan angin malam pada lengan serta kakinya yang tidak terlapisi apa pun tak membuat Sabita bergerak masuk untuk sedar mengamankan diri dari sengatan angin yang dingin.

Pikirannya melalang buana, dirinya tenggelam dalam memori indah bersama sang kakak yang telah pergi mendahuluinya hingga tidak merasakan seseorang yang muncul dari belakang tubuhnya. Illias, remaja berambut merah itu melihat Sabita yang tengah melamun kemudian mengalihkan pandangan pada baju yang gadis itu kenakan sebuah baju tanpa lengan dengan celana pendek di atas lutut cukup membuat gadis itu terserang flu keesokan harinya jika ia tidak segera masuk ke dalam.

Illias dengan cepat membuka jaket hitam yang sedang ia kenakan lalu dengan perlahan menyampirkan jaket itu pada pundak sang gadis merasakan sebuah rasa hangat melingkupi bahunya, Sabita mengalihkan pandangannya dari sang bulan ia menatap dalam Illias yang dengan telaten memasangkan jaket hitam kesayangan laki-laki itu ke tubuhnya, sedangkan yang ditatap masih sibuk memasukkan satu per satu tangan Sabita ke lengan jaket hitam yang hampir menelan setengah tubuh gadis itu setelah terpasang dengan baik Illias menarik resleting jaket tersebut hingga menutupi perut Sabita, berharap agar angin tidak akan menyapa perut kecil gadis berambut pendek itu lagi.

Setelah adegan memasangkan jaket itu, hanya hening yang ada di antara mereka berdua Sabita kembali menatap langit dengan pandangan sendunya, sedangkan Illias memandangi sang gadis yang terkena cahaya bulan sangat indah, tapi begitu menyesakkan.

"Sabita?" Suara pertama yang terdengar setelah beberapa saat hening mengambil alih

"What?" Tanya Sabita tanpa mengalihkan pandangan entah apa yang begitu menarik dari bulan dan bintang di atas langit sana padahal dirinya sendiri, Sabita, sudah lebih indah dari dua benda langit itu, pikir Illias.

"Tenang, semua bakal lancar." Seakan tau kegelisahan gadis itu, Illias mengeluarkan kata-kata penenang.

"Apa menurutmu hidup itu adil, Illias?" pertanyaan tiba-tiba dilontarkan Sabita dengan pandangan sendu menatap Illias.

"Kalau adil, gue dan lo ga akan berakhir di sini, Sabita." Tatapan Illias seperti tengah mencoba menembus ke dalam kepala Sabita, ingin mengetahui sekacau apa pikiran gadis itu sekarang ini.

"Lo lagi mikirin apa? Kekhawatiran di kepala lo itu cuman ilusi, cuman bikin lo takut," sambung sang rambut merah sembari mengalihkan pandangan lurus ke depan, ke halaman kosong yang disinari lembutnya cahaya bulan.

"Makasih, aku cuman merasa kalau keadilan pun gak bisa ditukar, itu aja."

"Kalau semua orang merasa gak adil, bukankah itu juga adil, Sabita?

"Kenapa begitu?" Sabita jelas kebingungan dengan pertanyaan yang Illias lontarkan sungguh, jika berbicara dengan laki-laki itu kepala, Sabita harus selalu bekerja ekstra.

"Karena terkadang yang harus kita lakukan itu fokus sama diri sendiri aja, nggak perlu memikirkan hal lain. Apalagi kalau membawa pengaruh negatif. Khawatir sama orang itu boleh, tapi jangan sampai lupa khawatirin diri lo sendiri juga." Anggaplah Sabita memecahkan rekor, ia telah berhasil membuat Illias berbicara panjang lebar di luar pembahasan tugas.

Namun, ada makna lain yang ditangkap Sabita dari pernyataan Illias tadi wajahnya mengkeruh, ia mengepalkan tangan mata gadis itu mulai berkaca-kaca dengan suara serak menahan sesak Sabita menjawab, "Jadi, kamu mau aku nggak berangkat sekarang? Serius? Kamu lagi nyoba buat berhentiin aku, Yas?"

Melihat netra Sabita yang berkaca-kaca membuat Illias menghela napas, bukan ini yang Illias inginkan. "Bukan, tapi lo ngerti ga sih kalo apa yang lo lakuin sekarang ini akan membawa lo masuk ke jeruji besi?" Illias hanya tidak ingin gadis itu merasakan dinginnya lantai penjara, membayangkannya saja Illias sudah tidak mampu.

"Ya aku gak perduli! Kamu nyoba hentiin aku karena kamu belum pernah ngerasain kehilangan seseorang!" Sentakkan Sabita menorehkan luka pada batin Illias tanpa gadis itu sadari. Andai kau tau Sabita hati laki-laki itu sudah lebih dulu terluka dengan kepergian kepercayaannya sudah terlebih dahulu melebur dalam sakit andai kau tau Sabita, ia hanya tidak ingin kembali kehilangan dengan membiarkan dirimu pergi.

"Tahu dari mana lo soal itu? Lihat, Sabita, bahkan lo ga tau apa pun tentang gue."

"So do i. Kamu juga gatau kehidupanku gimana. Kamu pun gatau seberapa sakitnya aku waktu lihat kak Rai hancur di depan mataku sendiri, you never feel what i felt!" Illias mengetatkan rahangnya menahan segala emosi yang mungkin saja keluar cukup, ia tidak ingin melukai Sabita. Benar apa yang gadis itu katakan ia tidak tau apapun.

"But do you ever feel like small sometimes? Like whatever you do, just doesn't matter." Illias menatap dalam netra indah sang gadis, berharap Sabita mengerti apa yang ingin dia sampaikan.

"Like whichever you go, you end up the same. You're stuck, you're in the loop, and you questions everything. But has everything ever make sense to you?"

"Yes, and it's giving me headache and heartburn."

"I knew it from the start, i'll forever stuck in my zone because i feel lousy when i refused to take any revenge." Sabita menatap balik tepat ke arah mata kelam laki-laki itu dengan tatapan sakit, meminta agar sang kapten divisi empat itu mengerti apa yang dia inginkan.

 "So, how do you feel, Sabita?" Tanya Illias setelah memutus pandangan dari Sabita. 

"I don't know."

"How?"

"Kadang berlindung di balik ketakutan juga bukan hal yang bagus, kan?

"Jadi, apa yang lo cari?"

"I need closure, Illias." Tangannya ia bawa untuk menarik kecil kaos putih longgar yang saat itu Illias kenakan, kepalanya mendongak kembali menatap Illias dengan tatapan sendunya.

Kepala Illias menunduk, matanya menatap balik dengan pandangan teduh. "But, you can ended up dying out there, Sabita."

Sabita mendengus pelan mendengar jawaban yang Illias utarakan kemudian dia menjawab, "I don't plan to dying, Illias."

Illias kembali menegakkan tubuhnya lalu tersenyum kecut. "Well, neither did my brother, Latief. Or Raisada." 

"So, what i'm supposed to do?"

"Just, stay, Sabita. Lo hanya perlu melakukan hal itu."

Sabita menggelang pelan, pegangannya pada baju Illias ia lepaskan, tangannya ia masukan ke dalam saku jaket Illias yang tengah ia kenakan. Lalu, ia menjawab dengan lirih, "I can't, Illias."

"And we are close to nothing?"

"It's better than me always trying to eliminate the fear, aku capek sama semua ketakutan ini. But why do you think of that, Illias?" Hening beberapa saat setelah Sabita melontarkan pertanyaan itu hingga Illias mendekat lalu berdiri di depan Sabita membelakangi bulan yang tengah bersinar.

"Because i'm stay, olny for protect you." Sabita menatap kembali mata yang selalu menatap orang lain dengan tajam, menyelam ke dalam netranya mencari kebenaran dari kata-kata yang terlontar oleh laki-laki yang dalam kehidupannya hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Benarkah orang yang mengatakan hal seperti tadi itu adalah Illias?

"What do you feel, Yas?"

"Still small."

Sabita tersenyum manis, sedikit banyak gadis itu mulai paham dengan apa yang Illias coba katakan, ia bawa tangan kanannya untuk menepuk pelan bahu Illias sembari berucap, "Right, we are miserable. So, don't forget to rise your hopes."

"Bukan hanya gue, lo juga harus begitu, Sabita. Dan ingat gue ada di sini untuk ngelindungin lo. Lakuin apa pun itu asal jangan membahayakan nyawa lo, gue ga suka."

"Uhm, baiklah!" Senyum cantik Sabita kembali merekah, tangan Illias tak kuasa untuk tidak mengusap lembut rambut sang gadis. Malam itu, di bawah sinar rembulan, mereka mengeluarkan segala resah dan ragu pun membabat kembali luka yang sempat menganga semoga selalu bersama hingga akhir hayat.

FLASHBACK OFF

Sepulangnya Illias dari menggali informasi perihal keberadaan Said perasaannya tak tentu arah kaki jenjang itu membawa sang pemilik raga untuk berjalan cepat memastikan keresahan ini tak benar adanya. 

Namun, apa yang ia lihat berbanding dengan apa yang ia harapkan hatinya mencelos melihat pemandangan mengerikan yang terpampang dengan jelas di depan matanya. Sabita gadis yang selama ini dia jaga tengah berbaring sekarat dengan banyaknya luka sayat juga tusuk pada tubuhnya. 

Matanya kembali melihat ke arah Ruhi yang terlihat memegang sebuah Wakizashi, katana berukuran kecil yang pernah ia berikan pada Ruhi atas permintaan perempuan itu dengan wajah penuh amarah entah apa yang telah terjadi saat dia tidak ada di tempat, tapi jelas seseorang yang dia jaga selama ini tengah berada pada ujung maut.

Melihat Ruhi yang ingin melemparkan katana kecil itu tepat ke arah jantung Sabita, Illias berlari dengan cepat tubuhnya dengan reflek mengungkung tubuh Sabita dari atas, menghalau katana itu agar yak menyentuh Sabita untuk ke sekian kalinya. 

JLEB!

Begitu cepat semua terjadi, baju hitam yang saat itu sedang Illias kenakan perlahan-lahan basah oleh kucuran darah katana itu tertancap dengan sempurna di punggung Illias menusuk hingga menimbulkan pendarahan di dalam dan luar tubuhnya Sabita maupun Ruhi, kedua perempuan itu jelas terkejut dengan kehadiran ketua divisi empat itu yang tiba-tiba melindungi Sabita dengan tubuhnya sendiri. 

Sangat sakit, itu yang sekarang tengah Illias rasakan ia, pikir katana itu sepertinya menusuk dalam hingga mengenai titik vitalnya. Sedikit darah menyembur dari mulutnya, beberapa tetes mengenai pipi Sabita yang masih dalam keadaan terkejut.

Illias menundukkan kepalanya, lalu mengusap darahnya yang mengenai pipi gadis itu. Senyum manis terukir pada wajah illias, tapi tidak dapat berbohong hatinya sakit melihat betapa kacaunya Sabita yang sedang berbaring di bawahnya pelupuk matanya mulai penuh dengan air mata yang kapan saja bisa terjun kembali mengenai wajah Sabita. 

"Maaf, gue telat banget ya?" lirihan Illias berbarengan dengan air mata yang turun mengenai pipi Sabita tersadar dari rasa terkejutnya gadis itu mulai terisak kencang, air matanya meluruh dengan derasnya. 

"Bodoh, bodoh banget. Ngapain lo ngelindungin gue, Illias?" Tangannya dengan gemetar ia angkat kemudian mengusap bawah mata Illias yang terlanjur basah oleh tangisan laki-laki itu. Kedua tangannya menangkup wajah Illias yang tengah menatapnya dengan senyum juga air mata yang tidak ada habisnya keluar. 

"Maaf, maaf, maaf, Sabita. Harusnya gue ga ninggalin lo hari ini, maaf." Tangan yang lebih besar menangkup salah satu tangan Sabita yang tengah menangkup wajahnya, ia genggam erat tangan Sabita lalu merendahkan sedikit badannya guna mempertemukan keningnya dengan milik Sabita. 

"Sabita, ingat apa yang gue katakan dulu? Gue ada untuk ngelindungin lo bahkan jika itu harus mempertaruhkan nyawa gue." Suara serak Illias mengalun pelan, tangis Sabita semakin nyaring terdengar, dalam pikirannya dia sangat menyesal telah mengambil tindakan seceroboh itu hingga mengakibatkan hal sefatal ini. 

Tanpa Sabita duga tubuhnya pun sudah sehancur itu pendarahan hebat terjadi dalam tubuhnya, ditambah luka tusuk di beberapa bagian yang membuat kian banyak darah merembes keluar hingga di sela tangisnya dia terbatuk darah. Illias sendiri merasakan pusing dan sesak yang sangat hebat, pandangannya mulai mengabur dengan sedikit tenaga yang tersisa, dirinya menyampirkan sedikit anak rambut milik Sabita dan mengecup kening gadis itu dengan lembut lalu melempar tubuhnya sendiri ke samping tubuh Sabita dengan posisi menyamping agar tubuh gadis itu tidak tertimpa tubuhnya jika nanti tiba-tiba dirinya kehilangan kesadaran. 

Illias terus memandang Sabita dari tempatnya terbaring tanpa dia duga, tubuh sang gadis mendekat ke arahnya Sabita menggunakan sisa tenaganya yang ada untuk menyeret tubuhnya mendekat ke Illias dengan gerakan pasti, ia masuk ke dalam pelukkan Illias, menenggelamkan kepalanya ke dalam dada Illias dan melirih, "Even if I have to die, then I want to die in your arms, Illias."

Tangan Illias merengkuh balik tubuh Sabita, dapat ia rasakan napas gadis dalam rengkuhannya mulai memelan dirinya pun mulai menutup mata dengan perlahan. 

Pada hari itu, di depan Ruhi, dua anak Adam dan Hawa kembali bertemu pada masing-masing keluarga yang meninggalkan mereka berdua terlebih dahulu napas mereka berdua pun dengan detak jantung mereka berhenti bersamaan dalam pelukan hangat. Semoga kembali bertemu lagi di tempat yang lebih indah, Illias, Sabita.





BERSAMBUNG

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer