CHAPTER 10: PENEMUAN BANGKAI KEBENARAN.
SUARA tembakkan hari itu bersemayam dalam kepala Ruhi. Ia lagi-lagi tenggelam dalam mimpi buruk, menarik jiwanya ke jurang. Kegelapan dan kesendirian kembali terasa menyesakkan dada, meremukkan jantungnya hingga hancur berkeping-keping. Perlahan, awaknya menghirup udara lalu menahannya. Ketika dirasa napasnya mulai habis, barulah dia kembali meraup kehidupan. Bahkan, asupan oksigen pun tidak ada harganya di hadapan keputusasaan wanita ini.
Matanya digelapkan oleh duka dan kebencian pada para petinggi. Cahaya matahari mencuri kesempatan, masuk melalui celah atap. Ia menyipitkan matanya, mengambil catatan di saku celana. Luntang-lantung Ruhi membawa tubuhnya untuk mengecek bangkai persenjataan. Pikirnya, semua ini tidak penting, peduli apa soal Suarga.
Tubuhnya terjatuh perlahan, duduk pada ban bekas yang sedikit basah akibat air hujan. Melamun sejenak hingga tidak menyadari seseorang berdiri di hadapannya. Ialah laki-laki semampai dengan rambut tak karuan dan wajah tertekuk, Eren. Tidak kuasa, perempuan itu melihat dari atas hingga bawah, “Mau apa?”
“Sir Travis ingin bicara.” Setelah menyampaikan pesan singkat dari ketua divisi, Eren beranjak pergi.
Bersama yang lain, Ruhi kini berada di tempat yang sama ketika ia kehilangan dunianya. Pikirannya melayang sementara Sir Travis menjelaskan maksud dan tujuan memanggil pegawai magang yang tersisa. Gendang telinganya hanya menangkap sebagian kecil informasi sampai akhirnya tepukkan di pundak menyadarkan ia akan eksitensi di ruangan itu.
“Dokumen itu sangat penting. Jadi, saya harap divisi 3 dan 5 bisa menjalankan tugas ini dengan baik.” Sesuatu di tenggorokan tertahan. “Terutama kamu, Ruhi. Jangan sepelekan tugas ini seperti tugas sebelumnya.” Laki-laki itu beranjak pergi, melangkah keluar dari ruangan.
Begitu yakin lelaki tukang perintah itu sudah meninggalkan ruangan, Ruhi bersuara, “I’m not coming.” Semuanya menoleh, menatap Ruhi dengan penuh tanda tanya.
“What did you say?” Tanya Illias, memastikan apa yang dia dengar tidak salah.
Perempuan itu memutar kedua bola matanya, hendak mengangkat kaki dari sana. “Are you deaf? I said, I’m not coming.”
Tidak habis pikir dengan bagaimana sikap wakil ketua dari divisi 3, Illias coba menasehatinya, “Lo udah cukup nyusahin, jadi jangan menambah beban.“
“Kenapa gue harus peduli? Gue udah bilang, gue ngga ikut. Terserah kalian mau ngapain, gue udah muak,” emosi yang tidak karuan merasuki perempuan keras kepala itu.
“Ruhi, yang kehilangan orang tersayang bukan cuman lo. Sekali aja jangan egois, coba dengerin orang lain. Kalau ngga mau ikut, mending nyusul pacar lo aja sana!” Mendengar ucapan Illias darah Ruhi mendidih.
“Pertama, lo ngga akan ngerti rasanya jadi gue. Kedua, lo bahkan bukan dari divisi ini. Jadi, berhenti sok peduli dan merintah gue.” Bagi Ruhi, tidak akan ada yang pernah mengerti apa yang telah ia lalui.
“Ruhi, people died almost everyday. Gue tau betapa berat memikul rasa setelah ditinggalkan seseorang, tapi buat sekarang cuman itu yang bisa kita lakukan.” Awalnya, Ruhi ingin membantah perkataan Eren. Akan tetapi, belum sampai kalimatnya ke ujung bibir, rekannya lebih dahulu berkata, “Kalau terus-terusan begini, apa yang terjadi sama Oris akan terulang lagi.”
Ruhi tidak peduli, misi akan segera dijalankan tanpanya. Rasa tegang seperti saat mereka menjalankan misi pertama kembali datang. Rintik hujan yang turun menimbulkan bau tanah yang manis, mengingatkan ia pada hari-hari indah yang telah sirna. Besit angan lewat dalam kepala, bertanya apa jadinya jika virus ini tidak pernah ada? Apa mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi? Pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan, jawabannya akan terus menjadi misteri.
Butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke tanah Karava. Oleh karena itu, buru-buru mereka bersiap agar bisa sampai sebelum matahari meninggalkan singgasananya. Beberapa anggota divisi sibuk menyiapkan persenjataan dan mengatur strategi. Dalam waktu singkat itu, Ruhi melihat kesempatan untuk berbicara dengan Illias. Sejujurnya, ia tahu setelah perdebatan yang cukup keruh di antara keduanya sangat minim untuk Illias mau membantu Ruhi.
Ruhi berdiri di samping Illias yang tengah sibuk mengasah samurainya. “Between you and me, segera kabarkan keberadaan Said jika berhasil menemukannya,” bisik Ruhi. Tanpa menunggu balasan Illias, ia kemudian pergi.
—
Rambut merah dengan katana yang bertengger manis pada pinggangnya siapa pun yang melihat akan tau dialah Illias, ketua dari divisi empat dan satu-satunya orang dari divisi empat yang masih bertahan sungguh, dia memang benar-benar prajurit yang tangguh, entah hal apa yang akan bisa merenggut nyawanya di masa depan nanti.
Dengan langkah tenang Illias berjalan melewati lorong perusahaan suarga rambut merahnya yang mulai memanjang ia usap ke belakang dengan tangan kiri berlapis sarung tangan berwarna hitam. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu ruang kerja dengan papan nama Prof. Travis.
Tanpa mengetuk pintu, Illias memasuki ruangan tersebut terlihat Mr. Travis dengan kacamata kerja beningnya sedang duduk sembari melipat kedua tangan di depan dada, seakan tau dan sedang menunggu kehadiran Illias di ruang kerjanya itu. "Saya pikir kamu tahu betul caranya untuk mengetuk pintu sebelum masuk ke ruang seseorang, Illias." Jari telunjuk tangan kanan Mr. Travis mengetuk-ngetuk pelan pegangan kursi yang sedang ia duduki sembari menatap Illias yang ditatap hanya menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan jengah.
"Apa sekarang hal itu penting, Sir?"
"Wajahmu jelas mengatakan hal itu tidak penting, Illias, jadi lupakanlah katakan apa yang membawamu berkunjung ke ruanganku ini."
"Said, saya kira dia sekarang berada di kota Karava, Sir," ucap Illias tanpa basa-basi. Mendengar pernyataan Illias membuat wajah Mr. Travis tertekuk bingung tak lama kemudian dirinya terkekeh pelan membuat Illias menatap nya dengan datar.
"Semudah itu? Pikirkan kembali, Illias. Tidak mungkin Said pergi dan bersembunyi di tempat yang sangat mudah untuk kita lacak seperti Karava."
"Raisada, dia berasal dari Karava, Sir."
"Lalu?" Tanya Mr. Travis dengan raut wajah bingung yang terlihat jelas, ia bingung dengan apa yang Illias coba katakan. Beberapa kata yang Illias keluarkan tadi malah membuat ia hal itu semakin rumit di kepala Mr. Travis.
"Raisada memiliki rumah di Karava, kemungkinannya semua dokumen penting berisi sejarah Duende ada di sana, Sir. Anda tentu tidak lupa bukan bahwa Raisada adalah partner Said kala itu, jelas Said masihlah mencari dokumen penting itu." Mr. Travis seperti dihantam palu godam setelah mencerna tiap kata yang dikeluarkan oleh Illias, betapa bodohnya ia dahulu hingga melupakan fakta sejelas itu.
"Sir, saya ingin menyusul Said ke Karava." Belum cukup rasa terkejutnya dengan fakta yang tadi Illias katakan, kembali Mr. Travis dikejutkan dengan keinginan yang dilontarkan oleh remaja berambut merah tersebut. Gelengan tegas Mr. Travis lakukan sebagai respon dari permintaan yang Illias ajukan.
"Tidak, Illias. Saya tidak memberikan kamu izin untuk pergi ke Karava."
"Kenapa? Seseorang harus segera menjemput Said pulang, Sir." Illias teguh dengan permintaannya.
"Pulang ke mana yang kamu maksud? Enyahkan pikiranmu untuk membawa pulang Said sebagai anggota divisi empat, Illias. Karena begitu kau berhasil membawanya petinggi Suarga tidak akan tinggal diam dan langsung akan mengadilinya dengan tuduhan sebagai pengkhianat perusahaan." Illias terdiam, pikirannya berkecamuk dengan segala hal yang akhir-akhir ini terjadi juga tentang dokumen yang menjadi salah satu sumber masalah dari beberapa kejadian memilukan.
Melihat Illias terdiam setelah mendengar ucapannya, Mr. Travis menghela napas panjang jujur, dirinya sendiri pun lelah dengan berbagai kasus yang menimpa anak generasi perusahaan Suarga kali ini.
"Kembalilah, Illias. Saya rasa percakapan kita cukup sampai di sini, saya tidak mengizinkan kamu pergi dan terimakasih atas informasi yang sebelumnya telah kamu berikan." Tersadar dari lamunan Illias kembali menatap datar Mr. Travis, ia kemudian mengucapkan hal yang sedikit mengganggu Mr. Travis sebelum keluar dari ruangan tersebut.
"Saya akan tetap mengambil hak saya sebagai ketua divisi empat, Sir, entah apa pun itu caranya." Lalu pintu tertutup sempurna bersama dengan hilangnya Illias dari pandangan Mr. Travis. Sekali lagi helaan napas panjang terdengar keluar bagi, Mr. Travis menghadapi anak sejenis Illias sama melelahkannya dengan menghadapi Said dan Oris secara bersamaan, terlalu tenang tapi sangat menekan, ia harap Illias tidak akan melakukan hal bodoh untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Lain halnya dengan Mr. Travis yang masih duduk dengan cemas di dalam ruangannya, Illias dengan sesegera mungkin berjalan ke arah ruang Informatika, tujuannya sekarang adalah mencari tau hal apa yang ada di dalam dokumen yang begitu diincar oleh Said saat memasukinya, terdapat satu staf penjaga ruangan yang menatapnya dengan rasa penasaran.
"Rashaad Illias, ketua divisi empat? Sedang apa kamu ada di tempat ini? Apa kamu tidak tau kalo tidak ada yang boleh memasuki tempat ini kecuali para petinggi juga staf?" Pertanyaan beruntun diberikan oleh staf tersebut, membuat Illias jengkel dan hampir saja ia melayangkan pukul jika tidak ingat tujuan pentingnya memasuki ruangan dengan beberapa komputer juga laptop yang tersedia itu.
"Tugas dari Sir Travis. Bisa keluar sebentar? Gue ga akan lama." Staf itu menatap Illias dengan pandangan curiga, tapi riak tenang wajah milik Illias berhasil meyakinkan staf tersebut tanpa memerlukan waktu lama staf itu keluar dari tempat ia berjaga lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Waktumu hanya sepuluh menit, tidak lebih dari itu." Illias hanya mengangguk lalu pintu tertutup kembali dengan staf penjaga yang berada di luar ruangan. Dengan sigap, Illias membongkar semua file juga data yang ada di dalam salah satu laptop utama dalam ruangan tersebut, nihil, tidak ada apa pun yang ia dapatkan.
Hampir saja ia menyerah sebelum mengingat bahwa Suarga memiliki situs internet tersendiri yang jarang diperiksa oleh pemerintah ataupun orang-orang yang bekerja dalam Suarga karena konon katanya, situs itu hanya berisi data-data prajurit juga daftar kematian anak-anak divisi dari generasi awal hingga generasinya juga pengumuman tentang camp pertahanan untuk para penyintas. Tanpa menunggu lama, situs internet itu ia jelajahi beberapa kali matanya melirik pada jarum panjang jam yang tergantung di salah satu dinding.
Waktu semakin menipis, jemari illias semakin cepat menari-nari di atas keyboard juga mouse laptop guna mempercepat waktu pencarian tanpa diduga sebuah blog rahasia terbuka dengan cepat, ia baca informasi yang tertera di sana. Netranya bergetar tak percaya dengan apa yang ia temukan, perihal sejarah virus duende serta asal muasal virus mengerikan itu.
Di blog itu tertulis Karavalah asal dari virus duende, bukan Mortey seperti yang sudah ia dan masyarakat tahu. Melihat beberapa detik lagi waktu habis, Illias langsung keluar dari blog tersebut, menghapus semua daftar pencarian dia juga jejak-jejak yang sekiranya akan menimbulkan kecurigaan nantinya.
Tanpa menunggu lama, setelah ia mematikan, laptop itu Illias melangkah keluar ruangan informatika lalu melangkah pergi setelah mengucapkan terimakasih kepada staf yang ada di luar ruangan tersebut. Kakinya melangkah dengan berat kepalanya terus menerus memutar apa yang ia lihat di blog itu Illias merasa semua kebingungan dan rahasia ini mulai terjawab, perlahan.
—
Setelah kakinya berpijak di Karava, Eren dengan cekatan berusaha mencari informasi tentang dokter yang menangani kelahiran Oris. Eren jelajahi banyak dokumen, ia juga berusaha mengakses internet untuk mencari sumber informasi tambahan. Semua cara ia jajal agar mendapatkan petunjuk. Mata Eren berusaha melihat semua data dengan teliti, hingga akhirnya ia menemukan sebuah fakta, "Ibunya Oris sempat terinfeksi?" Gumam Eren.
Eren terus baca dokumen tersebut sebelum akhirnya menyimpulkan satu hal, Oris bisa menjadi immune karena ibu dari Oris sempat terinfeksi sebelum melahirkan Oris ke dunia ini. Mata Eren berbinar, ia seperti menemukan secercah cahaya dalam kegelapan. Dengan cepat, ia mendatangi El-Khaif untuk melakukan laporan.
"Komandan," panggil Eren.
El-Khaif pun menaruh atensinya pada Eren kemudian matanya melihat beberapa dokumen yang dipegang oleh Eren, "Kenapa, Eren? Lu nemuin sesuatu?" Tanyanya.
"Iya komandan," Eren menjawab pertanyaan El-Khaif dengan semangat, ia juga menganggukkan kepalanya, "Coba lihat ini, komandan. Oris bisa jadi immune karena ibunya sempat terinfeksi sebelum melahirkan Oris," Eren berusaha menjelaskan sembari menunjukkan dokumennya pada El-Khaif.
"Jadi, komandan ... gimana kalau kita telusuri rumah sakit tempat Oris dilahirkan? Barangkali kita juga bisa dapat dokumen soal virus Duende?" Tanya Eren, matanya digunakan untuk menatap El-Khaif penuh harap.
Melihat semangat dalam diri Eren itu, akhirnya El-Khaif menyetujui rencana tersebut. Dengan segera, El-Khaif pun mengumpulkan divisi tiga. Ia mulai menjelaskan tugas yang akan dilakukan, yaitu menelusuri rumah sakit tempat Oris dilahirkan.
Divisi tiga segera bergerak menuju rumah sakit tempat Oris dilahirkan setelah El-Khaif selesai menjelaskan tentang tugas mereka siang itu. Di sinilah mereka, tempat di mana Oris dilahirkan. Tidak ada satu pun staf yang tersisa di dalam rumah sakit tersebut. El-Khaif berpikir jika seluruh staf di situ telah dimusnahkan oleh Rai dan Said.
Divisi tiga pun segera mencari hal yang penting di antara serpihan reruntuhan rumah sakit tersebut. Mereka berharap dapat menemukan barang yang membantu perusahaan. Berbeda dengan Eren, ia terus mencari segala hal tentang Oris. Akan tetapi, El-Khaif mulai menyadari hal itu saat Eren menggumamkan nama Oris.
"Lu ngapain, Eren?" Tanya El-Khaif dengan alis yang bertaut.
Tanpa melihat ke arah El-Khaif, Eren menjawab seadanya, "Mencari dokumen atau barang yang ada kaitannya dengan Oris."
Mendengar hal itu, El-Khaif menyadari sepenuhnya bahwa tindakan yang dilakukan Eren mendukung rencana Rai dan Said. El-Khaif menggeleng kecil, "Bukan itu yang harus kita cari di sini, Eren," ucapnya tegas.
"Gue tau, kali. Kita disuruh cari soal penelitian virus Duende, kan? Tapi apa salahnya kalau kita cari tau soal Oris juga?" Tanya Eren sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke arah belakang, tempat El-Khaif berdiri.
Mata Eren membulat sempurna ketika melihat El-Khaif menodongkan pistol ke arahnya, wajahnya muram dan terlihat tidak suka. "I'm sorry, Eren," ucap El-Khaif sebelum menarik pelatuk pistol miliknya.
Satu suara tembakkan nyaring yang berhasil menarik atensi anggota divisi tiga yang lain, dengan satu tembakan itu pula peluru dari pistol El-Khaif berhasil menembus kerongkongan Eren. Tubuh Eren terjatuh ke tanah tanpa nyawa, El-Khaif sukses membunuh Eren siang itu.
—
Langkah kaki beradu seiring dengan terbukanya pintu kayu, tiga orang berwajah lesu keluar dari ruangan. Mengingat kapten mereka telah pergi mendahului, Sir Travis langsung memanggil anggota yang tersisa. Divisi lima baru saja mendapatkan tugas untuk menyusup ke markas Lotra untuk mengetahui apa yang mereka buat.
“Aku ragu,” ujar Sabita yang mematung jauh beberapa meter dari Kalam dan Jannah. Pikirannya kalut, terlalu banyak yang tumbang, Sabita mulai mengkhawatirkan dirinya sendiri, apakah ia bisa lebih jauh melangkah kedepannya?
Jannah menghampiri Sabita dengan sepatu bot lusuhnya, tersenyum simpul dan mengelus surai gadis yang lebih muda darinya. “Kita melakukan ini untuk mereka yang gugur di medan perang, kita harus melakukan tugas ini sampai akhir.”
“Bagaimana jika tidak ada akhir–”
“Tentu ada, kita sudah berusaha sebanyak ini,” Kalam menginterupsi, “ayo, kita harus bergegas.”
Berbekal pengamatan pada tugas tempo hari, Jannah, Kalam, serta Sabita melakukan penyamaran dengan memakai atribut milik anggota Lotra. Mereka sudah sampai gerbang markas, Sabita memasuki pintu yang berbeda dengan dua anggota lainnya, berkat kemampuan manipulatifnya, ia bisa dengan seorang diri mengelabui penjaga. Di samping itu Kalam dan Jannah memasuki pintu dengan minim penjaga.
Sibuk. Itulah kesan yang terpancar ketika dua insan itu saat pijakkan kaki pada tempat yang mereka sebut markas. Dinding serba bata putih mencetak puluhan logo Lotra. Manusia hilir mudik, mereka bahkan tak repot-repot memperhatikan Jannah dan Kalam yang diam mematung.
“Sial,” Jannah mengumpat pelan, “anggota mereka terlalu banyak.”
“Gue bingung gimana mereka rekrutnya,” celetuk Kalam setengah berbisik yang mendapatkan tatapan sengit Jannah.
“Kita berkeliling di daerah sini saja, terlalu beresiko jika harus berbaur dengan banyak orang,” perintah Jannah.
Mereka memutuskan untuk menjelajahi lorong bagian selatan, terlihat lebih sepi dan dingin. Pantulan cahaya menyambut Jannah dan Kalam setelah kurang dari dua meter mereka berjalan, cepat-cepat Jannah tegakkan punggung pada tembok yang diikuti oleh Kalam. Namun cahaya itu statis, berarti bukan ruangan yang dibuka, melainkan kaca besar. Jannah memperhatikan dengan seksama, “Ini cermin dua arah, kita aman.”
Dua penyusup itu berdiri termangu di depan kaca tersebut. Terdapat segelintir orang dengan jas putih, entah mereka dokter atau peneliti, mereka sibuk meracik likuid warna-warni. Pipa berukuran kecil dengan bahan kaca mempunyai jalur yang rumit berkeliling di sekitar mereka. Diikuti dengan orang-orang yang tergeletak tak berdaya pada ranjang besi.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Kalam.
“Ini sudah pasti laboratorium milik Lotra, dan suntikan itu …,” Jannah turut menyaksikan bagaimana jarum suntik itu menembus masuk ke tangan salah satu orang yang berbaring, “mereka melakukan uji coba vaksin?”
“Jannah, mereka yang tidur sudah pasti bukan anggota Lotra,” ujar Kalam bergegas. Dirinya sudah temui banyak anggota Lotra, mereka memiliki ciri khas, tetapi mereka yang terbaring, sangat bersih, sangat suci.
“Lalu siapa? Mereka pasti orang-orang yang rela berkorban demi apa pun.” Gadis itu menopangkan satu tangannya ke dagu.
Orang-orang itu pasti mempunyai nasib yang malang, entah apa yang dikatakan oleh pasukan Lotra hingga mereka merelakan hidupnya untuk uji coba vaksin–yang entah membuat mereka kebal, entah mati.
“Rakyat biasa.” Kalam melemaskan pundaknya, “Sudah pasti mereka dengan nasib paling malang dengan harapan hidup rendah setelah terjadinya huru-hara ini.”
Tatapan mereka beradu, meringis.
Vaksin yang seharusnya menjadi satu-satunya harapan hidup malah mungkin dapat merenggut nyawa mereka dengan sia-sia. Rakyat-rakyat tak bersalah atas terjadinya kejadian ini, walaupun tujuan Lotra ingin membuat vaksin, harus diakui bahwa cara mereka terbilang bengis. Tanpa sengaja mereka membunuh orang, entah sudah memakan berapa banyak korban. Tapi, hidup di zaman sekarang, siapa yang tak ingin mati. Krisis pangan, jatuhnya ekonomi, ancaman di mana-mana, sudah sempurna untuk dinamai kiamat.
“Ayo ke ruangan yang sebelah, siapa tahu data-datanya tersimpan di dalam sana.” Mata Jannah mengarah pada ruangan di sebelah lab, pada plakat platinum itu bertuliskan ‘Arsip’.
Ruangan itu tak dikunci, sunyi, senyap, dan gelap. Cahaya minim dari senter menampilkan banyak rak-rak buku berbaris secara vertikal, menyimpan berpuluh-puluh binder hitam tebal. Kalam dan Jannah berpencar untuk mencari informasi terkait vaksin ataupun lab.
“Di sini hanya tertulis data pekerja Lotra, catatan keuangan pembangunan, dan jurnal perjalanan,” lapor Kalam. “Lo dapat apa?”
“Aku memang tidak begitu mengerti soal bahan kimia ataupun peralatan lab lainnya,” tangan Jannah bergerak membolak-balik halaman pada binder di genggamannya, menghampiri Kalam, “tapi aku sering beli barang impor, dan selalu terdapat nomor serial yang terdaftar karena telah lolos standar, di sini tidak ada.”
Menculik rakyat saja sudah tidak dibenarkan, dan likuid-likuid yang berjajar rapi di atas meja itu jauh lebih beragam warnanya daripada yang Jannah tau. Belum lagi tata letak lab ini yang terkesan terpencil. “Sudah pasti ilegal Kalam,” Jannah menegaskan sekali lagi.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Kalam.
“Itu di sana, ada laboran yang sedang istirahat, kita tanyakan soal detail lab itu.” Jannah menunjuk seorang perempuan yang tengah duduk di kursi panjang dekat lab.
“Oh ya satu lagi, jangan mengancamnya, kita di wilayah musuh,” tambah Jannah
“Tergantung.”
“Apa maksudnya tergantung?”
“Sudahlah, ayo cepat.”
Mereka mengendap-endap keluar dari ruang arsip. Dengan gerakan natural, kini Jannah dan Kalam sudah duduk mengapit laboran itu. “Ehm, lagi istirahat bu?” tanya Kalam basa-basi.
“Iya, seperti yang dilihat,” laboran itu menjawab dengan nada ketus.
“Disana apa sedang membuat vaksin?” kini giliran Jannah yang beraksi.
“Ya begitulah, sudah percobaan kesepuluh kurang lebih, tapi tetap saja gagal.” Laboran itu kini jauh lebih nyaman untuk diajak berbicara, tidak ada tanda-tanda terintimidasi.
“Memang bahan apa yang digunakan? Sepertinya banyak sekali cairan kimia di dalam,” Jannah menunjuk ke arah rak likuid dibalik kaca besar itu.
“Tidak ada yang boleh tau cairan apa yang kami gunakan, singkatnya itu keras dan sedikit beracun.”
Jawaban dari sang laboran membuat Kalam sedikit gundah. Bagaimana mungkin cairan yang berisi racun dan keras itu disuntikkan pada orang-orang yang tulus berkorban?
“Dari mana cairan itu didapatkan?” Jannah masih berusaha untuk mengorek informasi.
“Itu pun rahasia.”
“Kalau subjeknya, mereka siapa? Aku tak pernah lihat.”
“Itu juga rahasia.”
Dengan kecepatan tinggi Kalam sudah mengarahkan belati pada leher sang laboran, ia muak mendengar kata ‘rahasia’ yang menggaung di lorong itu. “Sekali lagi lo ngomong rahasia, lo yang bakal jadi rahasia”
Jannah menggeleng panik untuk sampaikan kode pada Kalam, tetapi kemarahan bocah itu membabi buta.
“Ada apa ini?!” seseorang berdiri di ambang pintu lab, wajahnya siratkan kepanikkan melihat temannya disandera. Segera orang dengan tubuh jangkung itu menekan tombol, dan terdengarlah sirine yang memekakkan telinga.
Kalam menjatuhkan belatinya, dengan cepat berdiri dan menyambar lengan Jannah. Mereka berlari menuju pintu belakang tempat mereka masuk tadi. Di belakang suara langkah kaki menderu, entah puluhan atau ratusan tepatnya. Kalam akui tindakannya impulsif, terlalu gegabah, dan melukai, entah apa yang dilakukan Sabita di ujung sana. Mungkin tindakannya menyusahkan gadis itu.
Mereka berhasil keluar dari markas Lotra. Namun, mereka masih belum aman, sudah pasti pasukan Lotra yang jumlahnya banyak itu akan lebih cepat menangkap mereka jika tidak cepat larikan diri.
“Itu ada mobil disana, kita pakai itu,” ujar Jannah dengan nafas tersengal-sengal.
“Lo bisa ngendarain mobil?” tanya Kalam.
“Mungkin.” Terbesit ragu di benak Jannah, tapi pelarianlah yang terpenting sekarang.
Kalam memekik, “Mungkin?!”
“Percaya padaku, ayo masuk.” Suara mesin mobil menderu, Kalam sudah memegangi dengan erat sabuk pengamannya, sedangkan Jannah bersiap menekan pedal gas.
Ban mengeluarkan suara mendecit, meninggalkan kawasan markas Lotra. Degup jantung seiras dengan laju mobil, berpacu pada keadaan hidup dan mati. Jannah terbilang cukup mahir untuk ukuran seseorang yang impulsif mengendarai mobil dan Kalam memperhatikan sekelilingnya, “Ada sepeda motor di belakang!”
Speedometer menunjukkan angka 200, belokan tajam membuat tubuh Kalam serta Jannah mengikuti arah. Sepeda motor itu masih senantiasa di belakang mobil mereka, menodongkan pistol.
DORR!!
Prangg!!
Sebuah peluru menghancurkan kaca belakang mobil Kalam dan Jannah.
“Lakukan sesuatu!” pekik Jannah.
Kalam mengarahkan pistol ke arah ban sepeda motor itu.
Dorr
Dorr
“BERHASIL!” sepeda motor itu jatuh terpelanting ke sisi jalanan. Jannah menambah laju mobil meninggalkan anggota Lotra.
Senyum mengembang pada wajah dua insan itu. Kini tujuan mereka hanya untuk mengabarkan kepada Sir Travis tentang temuannya dengan selamat.
“Tadi itu hebat,” ujar Kalam.
“Memang! Aku bahkan tidak menyangka akan melakukan balap liar seperti ini,” Jannah berucap dengan penuh antusias, “mungkin aku akan melakukannya lagi nanti.”
Semilir angin masuk dengan sopan kala Kalam keluarkan sedikit kepalanya, menyapa senja yang menyongsong di ujung sana. Tak lain dengan Jannah, perutnya jungkir balik setelah berhasil lolos dari musuh.
Suasana seketika berubah jadi kalut, mereka tampak menikmati perjalanan sampai akhirnya lalai, rem mobil itu tidak berfungsi. “KALAM AKU TIDAK BISA BERHENTI!” Jannah memekik frustasi.
“Maksudnya?! Yang lo injak itu gas atau rem?!” Kalam tak kalah paniknya. Ia pun tak tau benar soal mobil, tapi pedal yang diinjak Jannah rasanya tak menunjukkan reaksi apa-apa.
“Remnya blong!” air muka Jannah tidak bisa dibohongi, ia sangat frustasi.
“Bagaimana bisa?!”
Terlalu banyak mobil di depan sana. Akan menyebabkan banyak korban jiwa jika mereka tak berhenti sekarang, mereka tak mau seperti anggota Lotra yang tega membunuh orang yang tak bersalah. Lantas, Jannah membanting setir ke arah kanan, menabrak pembatas jalan, “JANNAH!” Kalam berteriak nyaring.
Penglihatan berputar seiring mobil mereka terguling ke hamparan rumput, begitu dramatis.
Seketika suasana hening, Kalam membuka mata setelah beberapa saat pandangannya gelap. Buram, ia melihat Jannah terkulai lemas dengan kepala berlumur cairan merah, “Jannah,” panggil Kalam dengan suara parau.
Pandangan Kalam perlahan fokus, ia sedang berada di mobil yang terbalik. Ia harus cepat-cepat keluar sebelum mobil terbakar, namun, Jannah tak kunjung menunjukkan sedikit pergerakkan.
“Jannah ayo keluar….” Kalam terbatuk sebelum menggerakkan kakinya yang terhimpit dashboard. Akan tetapi Jannah belum juga sadar.
Kalam berhasil keluar dari mobil dengan tergopoh-gopoh, ia mengambil langkah untuk membebaskan Jannah. Tangannya membuka pintu pengemudi, menyeret Jannah dengan sisa-sisa tenaganya.
“Jannah, Jannah!” Kalam memanggil teman satu divisinya itu. Tapi netra gadis rambut coklat itu senantiasa tertutup, darah dan memar menghiasi wajahnya.
“Jan … Jannah! Bangun, ayo kita pulang! Ayo kita sampaikan pada Sir Travis.” Kalam sedikit frustasi menggoyangkan bahu Jannah. Kepalanya memutar kembali peristiwa saat Wintan meregang nyawa, senyuman terakhir Wintan terasa menyakitkan. Dejavu.
Masih tidak terjadi pergerakan apapun pada tubuh Jannah. Kalam tekan nadi karotis pada leher gadis itu, hilang.
Tangan Kalam gemetar, udara seakan habis di sekelilingnya, dadanya sesak. Air matanya turun deras membasuh wajah kecilnya, sekali lagi kematian terjadi di dekatnya, sekali lagi terjadi pada orang terdekatnya, sekali lagi terjadi sangat menyakitkan.
“JANNAH!” tangisnya meraung-raung, mendekap bahu gadis tak bernyawa itu. Sia-sia.
Mengapa harus orang lain? Kematian berada di sekelilingnya tapi kenapa bukan dia?
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar