CHAPTER 09: MUSNAHNYA PENCIPTA ESOTERIS.

LINGKARAN HITAM mulai mengelilingi mereka, suara dobrakan pada sebuah pintu di dalam gedung pun semakin terdengar dekat di telinga. Seseorang sedang berusaha memasuki museum tanpa sepengetahuan penjaga, walau memang tidak ada seorang pun mengawasi di sudut mana saja. Entah ini halusinasi Raisada atau bukan, tetapi Said nampak tetap tenang meski—mungkin penyusup atau betulan penjaga—tengah mencoba ingin datangi mereka.

Raisada maju beberapa langkah dengan gestur waspada sembari kedua tangan menggenggam senjata kebanggaan. Said yang menyadari pergerakannya justru tertahan karena Raisada lebih dulu berujar, “Ada orang.” Mata Raisada terus menatap ke arah pintu ruangan, sedangkan asap hitam lanjut berdatangan semakin banyak daripada di awal. 

Kewaspadaan mereka meningkat. Lengah sedikit saja, maka entah kemungkinan buruk apa yang akan terjadi. "Kira-kira siapa?" Tanya Said dengan pandangan yang tetap melekat pada pintu ruangan. 

"Said, kalau gue nyuruh lu lari, mau kagak?" Atensi Said berpindah sepenuhnya pada sang rekan. Alisnya mengkerut, menandakan bahwa ia tidak setuju.

Said menangkap tatapan was-was sudah di ujung kelopak mata Raisada. Bagaimana pun ia tetap melayangkan ketidaksetujuannya. “Tentu saja tidak. Kenapa harus begitu?”

Pertanyaan itu dijawab dengan decakan oleh sang lawan bicara. “Hei, reputasi lu buat anggota divisi empat masih oke ketimbang gua. Jangan dibiarin sampe hancur,” kata Raisada sambil menepuk bahu Said keras. Kedua pupil matanya memutar malas, sedang memikirkan seseorang yang paling ia hindari selama bekerja di Suarga. “Lu nggak mau 'kan semisal digeprek sama bocah tengil itu, Kapten Illias, huh?”

"Tapi meninggalkan rekan juga termasuk tindakan pengecut." Said mengabaikan seluruh bahaya yang mengancam saat ini, ia lebih ingin melayangkan protes kepada Raisada. Lagipula, tidak masalah jika ia mati sekarang.

Raisada hanya melirik tajam, ia mengambil ancang-ancang untuk kabur. "Kalau gitu, gue aja yang ninggalin lu," ia berkata demikian sebagai ancaman agar Said menuruti perintahnya. Tapi Said justru menjawab, "Ya, baguslah." Setelah mendengar itu, Raisada mengutuknya dalam hati. "Aish, bajingan. Nurut aja apa susahnya!"

“Kamu tidak bisa memaksa saya, Rai. Bukankah sudah bilang kalau saya akan membantu kamu?” Raisada hampir saja membanting senjatanya setelah mendengarkan itu, tetapi lebih memilih untuk pandangi Said dengan tatapan paling kesal yang pernah ia berikan. “Bisa, kok. Bisa aja.”

Raisada kembali memajukan langkah lebih dekat semakin keluar ruangan. Kemudian menunjuk Said di muka, kali ini bukan tatapan kesal lagi, melainkan senyum manis yang diberikan. “Kalau gua ngasih tau isi dokumennya, bakal dapat apa?”

Giliran Said yang kesal karena melihat senyum Raisada. "Dapat jantung, dapat hati," jawabnya bercanda. Ekspektasinya adalah Raisada akan marah karena melayangkan candaan di saat yang tidak tepat, tapi rekannya justru menanggapi candaan tersebut.

"Dari siapa? I won't take something that not interesting to me," tanya Raisada sambil bersiap untuk segera melawan apapun yang akan menyambut mereka. "Apapun akan saya berikan. Hati-hati ya, Raisada," jawab Said dengan mantap sebelum akhirnya segera meninggalkan tempat dengan cekatan. Sejujurnya ia tetap tidak mau meninggalkan Raisada sendirian, tapi orang itu terlalu keras kepala dan telah memberikan ia tawaran yang cukup menggiurkan. 

"Hei Aghar! Jangan lupa ngarang cerita!" teriakan Raisada sedikit menggema setelah Said beranjak agak jauh. Tentu saja ia tidak akan lupa, misi mereka harus berhasil.



Perbincangan mereka tidak berakhir di sana begitu saja. Raisada paham bahwa rencananya masih abu-abu untuk dijalankan tanpa persiapan apapun. Lagipula, ia harus segera memberitahu Said jikalau seseorang sudah pasti akan menghentikan langkah keduanya sebelum maju meski setengah dari nyali di bulu kuduk tubuh.

“Lalu apa yang kamu lakukan setelah itu?”

Suara Sir Travis terdengar mendengung ke isian daun telinga seolah merusak jaringan yang dari dalam berjalan sebagaimana semestinya. “Tidak perlu gua jelasin juga udah pasti tahu, 'kan?”

“Jadi benar kamu membunuh Naoki?”

Raisada menatap meja di hadapannya dengan kosong, isi dari otak tersebut sedari tadi saja hanyalah pemikiran mengenai kapan Said akan datang menjenguknya sebelum pergi ke kurungan pembuangan. “Bukan saya pembunuhnya.”

El-Khaif memegang kepala yang seolah semakin lama mengeluarkan asap, lantaran penat mendengar Raisada jawaban sama atas pertanyaan itu berulang-ulang. “Bisa berhenti ngelak, nggak? Orang jelas-jelas di sana cuma ada lu dan bawa senjata lagi pas ketemu Naoki.”

Satu pencapaian Raisada hanyalah tidak ingin menyebut Said barang sekali dalam persidangan ini. Maka, kalimat terakhirnya sebelum menemui kamar khusus meratapi kesalahan ia katakan dengan jelas. “Saya hanya ingin mengambil barang saya di sana. Lagipula, saya menyelamatkan Naoki dari tawanan 100 yang dicari, itu lebih baik daripada membiarkannya terinveksi.”



"Sir," ucap seseorang. Spontan, ketua divisi yang merasa terpanggil pun menoleh ke arah sumber suara. Rupanya, Illias lah yang datang sembari membawa sebuah peti kaca. "Tunggu, apa ini?! Dari mana kamu mendapatkannya?" Sir Travis terkejut saat mengetahui bahwa peti kaca tersebut ternyata berisi sampel darah. "Dari Soerja," jawab Illias dengan jujur. 

"Wrong, saya dan Raisada yang menemukan sampel itu pertama kali, bukan kau atau pun Soerja," ralat Said yang tiba-tiba berdiri di belakang Illias. Tidak ada yang menyadari kedatangannya. 

Sir Travis tentu saja semakin terkejut dan bersiap untuk melampiaskan emosi kepada sosok di hadapannya. "Berani sekali kalian mencuri properti museum." 

Tak disangka, Said memandang raut penuh amarah Sir Travis dengan tatapan tajam, "Sir Travis saja berani menyembunyikan kebenaran dari rakyat selama ini. Lalu, mengapa saya tidak?"

Skakmat. Sir Travis tidak mampu membalas perkataan yang keluar dari mulut seorang Said Aghar. Perdebatan kecil itu dipenuhi ketegangan sehingga mereka melupakan keberadaan Illias yang hanya mematung mendengarkan semuanya.



Ruhi dan Oris terburu-buru pergi menuju ke kantor Sir Travis. Mereka diburu waktu, sesuatu harus dihentikan sebelum nanti semakin dihambat oleh petaka yang lebih besar.

Ruhi terbirit-birit berlari bersama Oris untuk pergi ke bilik pribadi Raisada, dengan durja yang tegang. Mereka berdua setuju agar berpencar. Oris datang ke kantor untuk selamatkan sampel darahnya sendiri, sedangkan Ruhi berlawanan arah sebab ingin turuti tujuan yang berbeda sendiri.

Ditemani Eren, jua kehadiran Jannah, tentu dengan dukungan si komandan El-Khaif, secara beramai-ramai hampiri Raisada demi mengadili apa yang seharusnya mereka peroleh dari diskusi dan pengabdian pada petinggi paling tak peduli oleh rakyatnya sendiri. Di pelarian, tak ada suara percikan air, tak ada tarikan napas kasar, tak ada bunyi bising tembakan—setidaknya sebelum sampai ke bilik naungan si pencipta pencarian.

Laju kecepatan Ruhi, Jannah, Eren, bahkan El-Khaif berhasil mengejutkan Raisada yang tengah berbincang dengan Sabita mengenai adonan pancake terenak. Tengah berkhayal tentang kehidupan setelah Raisada dibebaskan dari sidang, namun angan-angan tersebut sepertinya harus pupus kala Ruhi mulai menembak kaki jenjang Raisada.

Sabita sontak berteriak kaget. “TIDAAAKKK!!” Namun, ia ikut ditahan, Jannah langsung melumpuhkan Sabita dengan menjatuhkannya kr lantai.

Sabita berusaha memberontak, punggung yang membopong tas ransel berukuran cukup besar pun jatuh dan matanya melihat ke sekeliling. Ia dapat memandangi jelas sang kakak ketika merintih kesakitan setelah kaki dipatahkan. Sabita merasa harus melakukan sesuatu, tapi Jannah berat sekali menindih tubuhnya meski hanya menggunakan satu kaki. Kini sebagai adik, Sabita meringis miris lantaran tak membantu sama sekali, ia harus memberi pelajaran atau biarkan sang kakak mati mengenaskan. “WHAT ARE YOU GONNA DO WITH HIM?” Teriakan Sabita memaksa Jannah agar semakin menodongkan pistol ke kepala, ia benar-benar tak dapat bergerak.

Sedang Raisada mengerang, keheningan di tengah hujannya badai salju kini tak berhasil membuat semua orang kedinginan. Mereka diiringi ketegangan, seiring dengan tangan Raisada yang ditahan oleh El-Khaif dan Eren. Keduanya mencoba agar Raisada berhenti memberontak, tetapi Ruhi mengambil senjata Eren yaitu tongkat golf. Raisada diam tak berkutik, maka kedua pria itu berhenti memegangi dan letakkan si pencuri di dinding.

Diselimuti oleh perasaan tidak sabar yang membuncah, mengupas kenangan seperti anak-anak akan bermain pukuli hamster di playzone. Ruhi menatap Eren dengan ragu, lalu netranya melempar pandang kemurkaan pada Raisada. Seolah Suarga dapat memburu Oris bila semua warga mengetahui ada obat di kantor terbesar Mortey.

Kabar tak seindah rupa. Manakala ikatan sejarah terus berulang, bermula dari mereka yang buta dilumat ambisi. Rangkaian janggal itu bukan ilusif, dendam selalu nyata. Kini Suarga berharap agar dapat serahkan pelajaran kepada Ruhi demi habisi si pencuri. Rakyat ingin percaya atau menolak, terserah mereka pedulikan obat atau seni.

Untuk datang kemari dan memutar senarai memori kusut itu, Sabita berusaha agar tak membuatnya semakin buruk. “YOU’RE GONNA FUCKING DIE, RUHI!”

Eren menunjuk Sabita dengan penuh sangsi. “Sabita, berhenti berteriak.”

Sabita lebih keras meraung, ia kembali menggeliat dan memandang Ruhi penuh benci. “ARGHHHH— LET HIM GO!”

Jannah yang keburu disudutkan oleh waktu pun memutar bola mata malas. “We gotta end it now before the whole town's on top of us.”

“The hell did you expect?” Eren memandang Jannah sambil menggertakkan gigi. Ia mengacungkan kembali pistol pada Raisada. 

El-Khaif menatap lelah Ruhi, mereka benar-benar memiliki waktu yang terbatas. “You’re done, Ruhi.” Ruhi pun maju selangkah dan dua langkah, “You want what I want, right?” El-Khaif hanya mengangguk sekali. 

Ruhi berjalan mundur, kembali fokuskan diri pada Raisada. Kini di hadapan Sabita sendiri, kakaknya sudah babak-belur. Kepala bocor, muka dipenuhi dengan darah, dan punggung terus berdiam seolah Raisada tak sanggup lagi untuk meraup napas barang sehelai untaian angin. Semua itu ulah Ruhi yang menggunakan tongkat golf sebagai pemukul otak berharap supaya Raisada tak lagi mengelabui semua warga bersama akal bulus busuk tersebut.

Sabita memandang penuh harap yang hampir musnah, matanya dipenuhi air mata dan hidung mulai mimisan. Bahkan walau memberontak sedikit, ia tak lagi miliki tenaga setelah mengerti situasi bahwa Raisada susah bangun lagi. Ia lemas, napas mulai terputus-putus akibat cemas. “Kak Rai, bangun kak.”

Dari jauh, Sabita menyadari jika netra Raisada masih terbuka meski tipis-tipis. Sang kakak perlu ditolong, betul-betul harus selamat atau Sabita menangis selama seabad. Demi pulang lalu memasak pancake seperti di masa lalu, atau setidaknya mendamba hidup bersama betul-betul yang Sabita inginkan. Dirinya pun bergumam sebanyak dua kali di dalam kepala, lebih baik ia mati daripada Raisada saat itu.

Dengan segenap hati dan putus asa di ujung nadi, sekali lagi Sabita memohon kekuatan si kakak balik untuk melindungi diri. “Kak Rai, sialan, bangun kak!”

Ruhi menggeleng pelan, bibir pucatnya gemeteran. Tak pernah terpikirkan bahwa ia akan membunuh pengkhianat kantor Suarga yang merupakan rekan divisi sendiri. Lagi pula lebih baik percaya dengan intuisi, lelaki depannya ialah penipu ulung.

Sungguh, bajingan itu. Ruhi ingin membunuhnya karena berhasil membongkar rahasia terbesar, mencabik-cabik wajahnya, melakukan hal-hal buruk, bahkan mencelakai. Karena Raisada telah berani menyakiti orang-orang yang Ruhi cintai. Termasuk Oris, Naoki, bahkan teman-teman lainnya berhasil meregang nyawa akibat ulah si pencuri.

Sedetik saat Ruhi mengayunkan tongkat golf, pernapasan Sabita semakin menggebu-gebu. “Tolong jangan lakuin ini, kak,” lirih Sabita dengan tangisnya yang semakin meluruh. 

Secara konstan dan kencang, Ruhi mengangkat tongkat golf di tangan dan mengarahkannya pada kepala Raisada. Bunyi kretek kencang terdengar menggema ketika berhasil menyentuh tengkorak Raisada, darah kembali berhambur semakin banyak di lantai dan Sabita mendelik. Berteriak seolah tenggorokan hendak patah dan menangis sampai pita suara putus. “Aku akan membunuhmu, sialan!”

Ruhi memandang Sabita dengan geram. Ia hampiri adik dari kakak yang sudah dihabisinya lalu menendang kepala hingga si empu pingsan. Udara menjadi pengap, cuaca tak bersahabat. Semilir angin halus nan sejuk membelai durja kesakitan Raisada, dan si pemuda menutup mata dengan ketidakberdayaan.



Lorong menuju ruangan Sir Travis terbentang lurus, diapit dinding berwarna abu-abu dengan garis hitam. Ruangan ketua divisi kian dekat sehingga Ruhi dengan jelas menangkap pantulan suara sang kekasih bertabrakan dengan dinding. Langkahnya ia perbesar, mencoba lari dengan napas tersenggal.

“ALL BECAUSE OF YOUR DUMBASS!” Ruhi menjengit kaget, ia mengenali betul pekikan emosi yang terdengar dari balik pintu di hadapannya.

Ragu-ragu ia putar kenop pintu dan perlahan masuk dengan rasa khawatir yang menumpuk. Saluran udara pada tenggorokannya menciut, telapak tangannya mulai basah oleh keringat, sesuatu dalam dada nampak tertahan. Seharusnya ia tidak perlu kaget, mengingat apa yang telah dirinya lakukan pada Raisada lebih mencengangkan. Namun, melihat sang kekasih menodongkan senjata tajam pada seorang petinggi tetap mengejutkan benak Ruhi. 

“Sudah saya katakan berkali-kali, setiap pencapaian membutuhkan sebuah pengorbanan …,” Sir Travis menatap lekat obsidian Oris. Melihat sudut mana pun, tidak ada yang menguntungkan dari posisinya sekarang, “… sayangnya, dalam kasus ini manusialah korbannya.”

Tawa tipis mengalun dari bibir Oris pun kilatan api amarah nampak dari kedua maniknya, “Persetan pengorbanan, jika yang kalian maksud adalah mengeruk jiwa manusia untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya agar dapat memenuhi hawa nafsu kalian. That wasn’t fair!” 

“That’s how this world works, Oris. Hidup memang tidak adil, terutama di tengah kericuhan in— ...” 

“SHUT YOUR FUCKIN’ MOUTH UP!” Oris mengayunkan sebilah pisau tajam ke depan hingga menancap tepat di samping Sir Travis yang berdiri membelakangi rak kayu pemanis ruangan. Tindakan serampangan tersebut menyebabkan sang atasan terlampaui kaget, mendadak pias sampai tungkai kaki melemas.

Belum sempat untuk menetralkan keterkejutannya, ia dihadapkan pemuda yang menatapnya dengan raut bengis berjalan mendekat, “Sehebat apa pun kamu bersembunyi, manusia haus kekuasaan itu akan terus memburu darah—AAAHHK,”

Jemari kiri Oris dengan keras meremas tenggorokan Sir Travis, membuatnya tercekat dengan mata terbelalak lebar. Rematan tersebut begitu kencang, seperti hendak mengoyak lehernya. 

“Bajingan seperti kalian mana mengerti arti pengorbanan sesungguhnya.”

“Oris ...,” sapuan lirih menyapa gendang telinganya, ada gelombang ketakutan yang dapat ia tangkap di sana. Oris mendungu beberapa saat kemudian melepas cengkraman di leher atasannya dengan kasar. Hal itu menyebabkan Sir Travis terhuyung dan jatuh terduduk, meraup udara dengan rakus.

Ia mengedarkan pandangan ke belakang, menangkap sosok wanita yang bergidik di tempat. Ruhi tergugu menyaksikan sang kekasih, melangkah perlahan tanpa sepatah kata ia tuturkan. Beberapa kali dirinya mengerling, memandang seseorang yang terperosok di lantai. Napas Ruhi naik turun begitu cepat, ia coba mengatur gelisah semampunya.

“Hey, look at me Ruhi,” lisan Oris berucap seraya memeta lembut kedua belah pipi wanitanya, “Maaf membuatmu takut.”

Tubuh Ruhi tenggelam dalam pelukan hangat di sela-sela semua ketegangan ini. Dekapan keduanya kian mengerat, seolah tak ada lagi hari esok. Semua perasaan buruk sirna tersapu waktu, ketika mereka menyatu padu. Telapak Oris berlabuh pada pucuk kepala wanita yang paling ia cintai. 

“Aku tidak yakin apakah kamu tahu ini. Saat pertama kita bertemu, aku sangat gugup untuk mengatakan sesuatu waktu itu,” gumam Oris seraya mengeratkan pelukan. Satu tangan lainnya merogoh saku celana, dapat ia rasakan sebuah benda di ujung sana.

Kemudian, Oris melonggarkan jarak. Gerakan lembut menyapu area leher Ruhi, nampak pria itu sedang melakukan sesuatu di sana. Ia tersenyum puas melihat ruby merah berbentuk hati mengalung indah di depannya, benda tersebut telah kembali menemukan tuannya sekarang.

“You look so beautiful, Ruhi.”

Oris kembali merapatkan ruang di antara mereka dan mulai menyusupkan wajahnya pada perpotongan leher Ruhi, menyesap aroma juga sesekali mengecup halus.

“Aku pernah berandai jika anak perempuan kita hadir nanti, dia memiliki mata indah sepertimu.”

“Oris! Ini bukan saat yang tepat,” sahut Ruhi dengan menepuk pelan punggung pria tersebut, tetapi pemiliknya hanya terkekeh dan mengalihkan kepalanya ke hadapan wanita itu sambil menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik sang kekasih. Bagi Oris, melihat mata Ruhi membuat semua mimpi buruknya terberai bagai bunga dandelion diterbangkan oleh angin. Menyisakan kesejukan dan pigmen-pigmen yang mengikat reseptor sistem saraf pusat untuk dilepaskan.

“Kalung ini milik ibu, kamu harus menjaganya.” Oris menangkup wajah Ruhi. Menariknya perlahan, hingga bisa mereka rasakan hembusan napas saling bertabrakan. Oris tersenyum dalam diam dan menghela napas berulang melepaskan beban. Bukan salahnya terlahir sebagai penawar yang kini diperebutkan manusia-manusia serakah. Kesalahannya adalah berdiri menjadi bagian perusahaan terkutuk ini.

Waktu berjalan begitu lambat, seperti yang keduanya rasakan ketika mata mereka saling bertemu. Sungguh, saat ini hanya dua bola mata dengan rona coklat kegelapan milik Oris yang menjadi pusat Ruhi. Kepala mereka menyapa, bersatu seolah tak terpisahkan. Ruhi terlalu sibuk untuk sadar bahwa sesuatu dari sakunya telah berpindah tangan.

“Aku mencintaimu.”

Suara tembakan memekik hebat. Ruhi terkesiap, merasakan darah segar memercik pada pakaian yang ia kenakan. Noda yang tidak pernah sedikit pun terbesit akan mengenai dirinya. Tubuhnya limbung dan terjatuh bersama Oris yang telah tak bernyawa di pelukannya.

“ORIS, TIDAK! ORIS!” Ruhi meronta, terisak tak beraturan. Semua yang ia takutkan bagai tamu datang tak diundang, memberontak masuk, memporak-porandakan semua yang ada di dalamnya. 

“ORIS, BUKA MATAMU! KAMU BILANG TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKANKU!” Tidak peduli sederas apa air mata itu mengalir dan sekeras apa ia menjerit kesakitan, tak seorang pun mampu mengembalikan satu-satunya alasan untuk ia tetap hidup. 

Dadanya sesak, saluran pernapasannya tercekat serta telinganya berdenging keras. Ia bisa merasakan beberapa saat paru-parunya berhenti bekerja. Berkali-kali ia mendaratkan pukulan keras di dadanya, berharap pedih itu tergantikan. Alih-alih hilang, hanya rintihan sakit dan isakan keras yang menyusul. Energi kematian meremas jantung Ruhi. Dia takut, bukan pada kematian, tetapi membayangkan bagaimana harus ia bertahan tanpa orang yang menjadi alasannya hidup. 

“Jangan tinggalkan aku, Oris.”

Dunia Ruhi adalah kanvas. Sebelum bertemu Oris, hanya hitam dan putih yang terlukis di atasnya. Oris adalah warna. Tidak ada yang berarti sebelum kehadirannya, begitu pula setelah kepergiannya. Masa akan terus berjalan, tetapi tidak untuknya. Dunia terasa berhenti bersamaan pusat degup sang tuan. Karena bagi Ruhi, tiada hal yang mampu mengganti perkara hati. Apa yang mati tak akan tumbuh kembali, sekadar terkenang dalam angan-angan sunyi.

‘Ruhi, berjanjilah padaku bahwa kamu akan tetap kuat. Hanya dengan begitu aku bisa tersenyum dengan tenang. Aku akan tetap di sisimu meskipun seperti angin. Tolong jaga dirimu saat kita tak lagi berpijak di tanah yang sama.’





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan Populer