CHAPTER 08: TAWANAN YANG HILANG?
SAID TAK DAPAT memberikan reaksi pasti, hanya ada wajah pusat pasi. Pria itu menatap nyalang pada kondisi kamar sendiri, sepi menyelimuti, hati sangat kacau seperti tempat ia bernaung saat ini. Namun, jangan lupa juga akan sofa koyak di sudut belakang pintu, bercak-bercak merah telah mengering hiasi tembok, Said menunduk sesali yang terjadi, janji rupanya tak mudah untuk ditepati.
Bunyi gesekan alas kaki Said dengan kertas yang tergeletak miris di lantai berhasil mengalihkan pandang, secara spontan dirinya pun menunduk. Rupanya biodata Raisada masih tertinggal di ruangan kerjanya, tetapi Said tidak dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya. Berkali-kali pikiran selalu mengelabui akal bahwa semua perbuatannya bukanlah salah mereka berdua, hukuman punya kewenangan berarti salah perusahaan maupun pemerintahan. Jangankan karyawan, rakyat Mortey saja tak dapat membebani petinggi kembali demi membebaskan egosenterisnya.
Tiga jam lalu setelah pemakaman Harun dan Humaira, Suarga berhasil mengumumkan bahwa Raisada dijatuhi hukuman kurungan dalam ruangan sendiri selama enam bulan. Dan bagian menyedihkan adalah, Said sang rekan kerjanya tak dapat berbuat apa-apa, bahkan Sabita si adik pun tak diberikan izin menjenguk barang sedetik. Maka, Said memungut jertas tersebut sampai akhirnya duduk pada kursi. Badannya seolah kaku mengingat kejadian lalu, mempertanyakan kejadian dari sejarah baru, dan menebak darimana asal peluru jga kemarin ditembakkan secara buru-buru oleh oknum tak nampak di lokasi tanpa satu pun pintu.
Ketukan lembut terdengar tiba-tiba dari ujung ruangan, berhasil membuat Said sedikit terlonjak dari kursinya. Dengan segera ia menyembunyikan kertas-kertas biodata maupun catatan yang berisikan rencana untuk misi rahasianya bersama Raisada.
"Ya, masuk," ucap Said. Ternyata Sabita yang datang. Said sudah dapat menerka apa maksud kedatangannya kemari. Sudah pasti ia ingin bertanya tentang kakaknya, Raisada.
Keadaan di ruangan itu terasa canggung. Beberapa menit sudah terlewat, tapi Sabita hanya duduk diam dengan pandangan yang mengarah ke lantai. Keheningan melanda sampai akhirnya Sabita mulai membuka suara, "Sebenarnya, apa yang kakakku coba lakukan? Aku hanya ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja, aku khawatir.
Helaan nafas terdengar dari yang lebih tua. Sejujurnya ia tidak percaya siapapun di Suarga selain sang rekan, Raisada. Tapi, jika sudah seperti ini, ia rasa lebih baik untuk memberitahu Sabita.
"Saya dan Raisada berencana untuk menciptakan vaksin dengan mencuri sampel darah Oris. Tapi, kakakmu itu ternyata gegabah. Ia melakukan rencana sendirian tanpa memberitahu saya," jelas Said sambil menatap Sabita.
Jantung Sabita berdegup kencang, ia cemas. "Apa yang dia lakukan setelah itu?" Sungguh, Sabita tidak dapat memahami jalan pikiran kakaknya. Bahkan, Raisada nekat melakukan rencananya tanpa bantuan Said.
"Raisada diam-diam telah mencuri dokumen penting tentang sejarah virus Duende. Sekarang dokumen itu telah hilang entah kemana." Said dapat menangkap raut terkejut dari sang lawan bicara. Sabita segera mengucapkan terimakasih dan pamit untuk pergi mencari keberadaan kakaknya. Sabita harus memastikan keadaannya baik-baik saja.
—
Suara dua pasang sepatu beradu dengan lantai marmer menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam sepinya museum. Dua orang itu menelusuri bagian-bagian museum tanpa banyak bicara, mengeksplorasi bangunan luas tersebut dengan teliti. Illias dan Sangkara, itulah mereka. Kini waktunya mereka patroli seperti yang biasa dilakukan anggota Suarga, tetapi dengan objektif; memeriksa apakah masih ada energi negatif di museum selepas kejadian kemarin.
Illias tak mau banyak basa basi dan Sangkara tak ingin merusak mood sang ketua walau sebenarnya ada yang ingin ia bicarakan. Illias hanya berjalan dan Sangkara mengikutinya. Menyusuri museum ini rasanya tak begitu buruk.
Itu sampai mereka sampai di koridor yang sedikit lebih gelap dan belum tersusur, saat langkah Illias berhenti. Sangkara ikut berhenti, merasa aneh. Ia membuka suara.
"Kapten— ..."
"Ssst," Illias menyuruhnya diam. Ia memegang gagang katananya dengan erat, persiapan akan apapun yang terjadi. Semuanya sunyi untuk beberapa saat. Illias lalu melonggarkan posturnya yang semula tegang.
"Tadi ada suara," ujarnya, mengisyaratkan sisi lain dari koridor yang berbelok dengan kepalanya, "agak mencurigakan. Lo denger nggak?"
"Hah?" Sangkara menggeleng, "Aku— ..."
Kali ini, suaranya terdengar jelas. Bahkan Sangkara pun mendengarnya. Dari belokan koridor, nampak bayangan aneh, lebih besar dari ukuran manusia. Illias dan Sangkara melangkah cepat, bersembunyi di balik tembok. Suara itu terulang lagi. Perasaan aneh Sangkara meningkat, kini juga menyerang fisiknya. Ia menahan tubuhnya di tembok sementara Illias mengintip sisi lain koridor.
Illias menunggu apapun itu untuk menunjukkan dirinya. Ekspresinya langsung menjadi kaku ketika melihat makhluk pemilik bayangan besar tadi. "Bloater," desisnya. Ia sedikit menarik pedangnya, berniat menyerang, lalu menoleh, "Sangkara, tolong— ..."
Sangkara jatuh.
Illias membelalak saat melihat Sangkara berlutut, tubuhnya menunjukkan tanda-tanda infeksi. Sang ketua mundur selangkah, terkejut akan reaksi tubuh Sangkara terhadap kehadiran Bloater yang mereka temui. Sedikit ragu, Illias pun bertanya.
"Lo … terinfeksi?"
Sangkara menunduk.
"Sangkara," Suara Illias menegas, "jadi lo penyebab adanya energi negatif di kantor?"
Sangkara mengangkat wajahnya, matanya tak berdiam dan ekspresinya sulit dibaca. Napasnya seakan diburu. Lalu ia mengangguk.
Suara yang dihasilkan oleh Bloater semakin jelas terdengar, pertanda makhluk itu semakin dekat. Illias kembali mengintip, dan benar saja. Kalau mereka bersuara keras, pasti akan ketahuan.
Sangkara paham ia tak punya banyak waktu. Virus ini telah menjalar ke seluruh organnya, hanya masalah waktu sebelum ia terinfeksi sepenuhnya. Kalau dibiarkan hidup pun, akhirnya ia akan ditelan. Dimakan oleh virus terkutuk ini.
Maka ia membulatkan tekadnya.
"Kapten, kill me."
Illias menoleh, ekspresinya mengeras. "Maksud lo apa?"
Sangkara menghela nafas dalam. "Aku udah terinfeksi. Dan yang terinfeksi pantas dimusnahkan, ketimbang membahayakan orang lain." Ia mendongak, menatap mata Illias. "Jadi ayo, kapten. Just kill me."
"Gue menolak." Illias melangkah maju. Jika tatapan bisa membunuh, permintaan Sangkara sudah terkabul. "Lo anggota gue. Gue harus melindungi lo."
"Kapten."
"Kita datang sama-sama. Kita harus kembali sama-sama juga."
"Illias," Sangkara menegaskan suaranya. Illias berhenti bicara. Sangkara kembali menghela napas.
"Kalau aku nggak mati, sama saja kita nggak bisa balik. Kita bakal sama-sama terinfeksi." Sangkara mengusap rambut dan peluh dari dahinya, tersenyum kecil. "And it doesn't feel good, living with the virus. So just kill me, yeah?"
Konflik muncul di kepala Illias. Apa yang Sangkara katakan itu benar. Apakah ia memilih memperpanjang masa hidup anggotanya tetapi dengan ikut terinfeksi? Atau mengakhiri penderitaannya di sini dan menyelamatkan diri sendiri?
Sangkara sudah yakin, Illias harusnya juga.
Jemari tegas menarik gagang dari senjatanya. Setelah katana itu dibuka dan mata pedangnya diangkat, seling sedetik saja dan noda merah telah mewarnai tembok bersih museum. Satu nyawa lagi telah melayang di bangunan ini. Tubuh Sangkara jatuh.
Suara itu nampaknya menarik perhatian Bloater yang telah cukup dekat untuk mendengarnya. Illias berbalik menuju lorong dan dengan gesit menyerang monster berukuran besar itu. Satu, dua. Berkali-kali tebasan katananya mengenai sang monster, sampai ia menusuk titik lemahnya, monster itu pun tumbang.
Illias menarik kembali pedangnya, hendak berputar sebelum matanya melihat sesuatu di samping jasad sang Bloater. Ia memungut apa yang tampak seperti kumpulan kertas-kertas yang cukup usang, membolak-balik halamannya.
"Sejarah virus Duende?" Ia bergumam, bertanya kepada diri sendiri. Dari mana dokumen ini? Ia membaca dengan sekilas sebelum matanya berhenti di satu poin yang menarik perhatiannya. Data tentang monster.
Matanya kembali menelusuri dokumen tersebut, berharap menemukan informasi yang bisa digunakan. Ia membaca bagian tersebut lagi, mengalihkan pandangannya ke mayat monster tersebut dan kembali ke dokumen. Sampai ia menyadari sesuatu.
Monster tersebut adalah tahanan nomor 100 yang kabur. Rupanya pencarian Tutu dan Illias di Justice Jail sebelumnya tak membuahkan hasil sedkit pun.
—
Helaan napas lelah dikeluarkan oleh Soe, mengingat beberapa saat lalu dirinya terlibat perdebatan hebat dengan anak-anak divisi lain di dalam ruang rapat. Soe memutuskan untuk keluar setelah berpikir tidak akan ada habisnya jika dia meladeni semua orang yang ada di dalam sana.
"Lu sadar ga Kalo lu itu malah memperumit segala hal yang udah kacau, Soe? Dasar pengacau!" Sekelibat kata yang terekam jelas dalam kepalanya membuat hati Soe terlanjur sakit, tapi apalah daya, memang itu benar adanya semakin rumitlah sudah bahkan, ia telah membunuh salah satu partnernya sendiri.
Sekarang, kakinya melangkah menuju gudang penyimpanan senjata seorang diri, mengambil beberapa bom molotov juga bom waktu karena yang ada di dalam pikirannya sekarang hanyalah menghancurkan sumber masalah yang ada. Tujuannya sekarang berubah, ia akan menghancurkan museum, sumber dari masalah yang dihadapi Suarga kali ini.
Dengan langkah yang pasti, Soe membawa barang yang ia curi ke museum itu, mengukuhkan tekadnya dan menerima apa pun risiko yang akan ia dapatkan setelah itu. Tak berselang lama, Soe telah sampai di depan museum niat hati ingin langsung masuk, tapi ia malah dikejutkan oleh pemuda berambut merah yang keluar dari dalam museum itu ternyata tidak hanya Soe, Illias pun sama terkejutnya melihat keberadaan Soe yang berada di depan gedung museum.
"Ngapain lo ada di sini Soe?!" Sentakan Illias menarik sudut bibir Soe ke atas, dirinya sedikit banyak bersyukur dapat melihat Illias malam ini di depan gedung yang akan dia hancurkan.
"Melaksanakan tugas terakhir untuk menyelamatkan Suarga. Gedung itu harus hancur, Kapten," ucap Soe sembari menunjuk bangunan megah yang ada di belakang Illias. Mendengar apa yang Soe sampaikan membuat mata Illias melebar, dapat Illias lihat bahwa Soe sendiri sedang membawa sebuah tas yang sudah dipastikan berisi peledak yang akan digunakan pemuda itu nantinya.
Illias menatap tidak suka, wajahnya jelas menyerukan protes tapi kembali Soe mengulas senyum kecil. "Illias, museum itu harus hancur dengan permanen agar tidak ada lagi energi negatif dan kutukan yang menjalar. Jadi, gua harus menghancurkan itu."
"Gausah macem-macem, lo, anjing! Balik. Gue ga keluarkan izin buat lo," suara illias bergema tegas, tidak ingin dibantah sama sekali Soe sangat paham apa yang diinginkan oleh kaptennya itu, tapi keinginan dia sudah bulat dan tidak bisa lagi diganggu gugat.
Melihat Soe masih berdiri tegap di depannya membuat Illias naik pitam dan ia mendorong Soe kencang membuat laki-laki itu hampir terjatuh jika saja terlambat menyeimbangkan tubuh. "Balik. Yuhendra Soerja. Lo dengar perintah gue, kan?!"
"GAK BISA, YAS! Gua harus menghancurkan sebab dari bencana di Suarga! Harus! Karena hanya itu yang bisa gua lakukan, sial!"
"LO GAUSAH GILA! Lo pikir gue gatau apa yang mau lo lakuin?! HARUS SEBERAPA BANYAK LAGI, SOE?! SEBERAPA BANYAK LAGI KEMATIAN YANG HARUS GUE SAKSIKAN?!" Hanya jerit penuh amarah yang bisa Illias keluarkan saat ini batinnya menjerit lelah, tidak kuat dengan semua kematian yang harus dia saksikan, untuk kali, ini tolong, jangan biarkan Illias menyaksikan kembali kematian dari kawanannya. Karena, sesungguhnya Illias masihlah seorang manusia yang merasakan rasa sakit saat melihat orang-orang di sekitarnya mati begitu saja.
"Tapi, hanya itu satu-satunya cara agar semua anggota yang tersisa fokus mencari vaksin, Yas," ucap Soe melirih. Kemudian ia mendekat ke arah Illias, lalu merogoh tasnya, ia mengeluarkan sebuah peti kaca transparan berukuran kecil yang berisi sample ia berikan benda itu pada Illias, dengan dahi yang mengkerut Illias mengambil botol itu lalu mengamatinya dengan seksama.
"Tolong berikan Sampel darah itu kepada Mr. Travis atau Ketua divisi tiga, Yas. Cuman itu yang bisa gue kasih sebagai penebusan dosa gua kepada mereka." Kembali senyum kecil terukir jelas di wajah Soe kali ini senyum penuh rasa sakit yang jelas dapat Illias lihat.
"Yuhendra Soerja, melapor untuk tugas terakhirnya!" Hormat terakhir Soe berikan kepada Illias, kapten divisinya, orang yang selama ini selalu ada di belakang divisi empat menjaga agar dirinya yang lain tetap aman, akan tetapi perpisahan kali ini tidak bisa terelakkan.
Illias mengangkat tangannya yang sedikit bergetar, membalas hormat Soe sebagai tanda penghormatan terakhir untuk dirinya. Bersyukur pada langit malam yang kali ini tidak ditemani oleh bulan maupun bintang hingga netranya yang berkaca-kaca menahan air mata tidak dapat dilihat dengan jelas oleh Soe. "Laporan diterima! Laksanakan!"
Dengan begitu, Soe berlari masuk ke dalam museum, meninggalkan Illias sendirian di luar gedung. Sebelum benar-benar masuk, Soe berbalik lalu menyerukan beberapa kata yang membuat Illias kembali menahan air matanya yang hampir saja keluar.
"Menjauhlah dari sini, Kapten! Senang bisa bekerja sama di bawah pimpinanmu selama ini!"
Lalu, supaya tubuh Soe benar-benar hilang dari pandangannya, Illias berlari menjauh dengan sekuat tenaga dari museum. Genggaman pada sampel darah itu mengerat ketika suara ledakan dari museum telah terdengar menggelegar. Bibirnya digigit secara keras, berupaya menahan rasa sesak yang asing dalam dadanya saat ini.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar