PROLOG: JANJI GAWAL DALAM DERU NAPAS.

PADA TAHUN 2032, lebih tepatnya 13 Maret pukul sembilan di pagi hari. Terjadi ledakan besar dalam perusahaan milik Suarga. Dampaknya berhasil menghancurkan belahan negara mana pun, menciptakan bibit penghancuran yang tak bisa orang-orang singkirkan secara sederhana. Bibit tersebut juga menyengat siapa saja, tak peduli apakah manusia temuannya dewasa atau muda, besar atau kecil, perempuan atau pria. Mereka tetap saja bisa terinveksi, kemudian menjadi sebuah entitas mengerikan bagi semua orang. Seluruh dunia menyebutnya sebagai DUENDE. Berbentuk serpihan debu, menginfeksi bila manusia telah melakukan kemaksiatan.

Secepat kilat, manusia bumi pun membuat siaran di mana-mana. Berusaha secepat mungkin agar dapat dikabarkan ke seluruh dunia. Terutama negara Mortey, tempat di mana Perusahaan Suarga ada. Mortey perlahan-lahan berubah menjadi seburuk neraka. Tapi salah satu desa tempat pemukiman warga lokal masih bertahan lama. Kekacauan, kecelakaan, terjadi ke sudut-sudut terpencil sekali pun. Akses menuju Mortey bahkan sudah ditutup untuk mencegah kiamat semakin menjarah luas, tetapi, salah satu penduduk justru berkepala batu ingin pergi ke sana. Sedangkan rakyat umumnya mendamba kebebasan kembali. Tak lupa membawa papan bertuliskan #JusticeForMortey #WeStillHaveAFuture, dengan menanam harap agar kedamaian bisa segera pulang.

Beberapa tahun kemudian, aktivitas di Mortey bisa berjalan normal meski harus menghadapi berbagai serangan yang masih ada entah datang dari alam maupun manusia. Masyarakat Mortey justru menganggap manusia serta beberapa oknum tak dikenal sebagai pembawa kesialan. Tetapi, mereka memuja pahlawan seolah sudah menjadi Tuhan, dan menginjak manusia di kasta lebih rendah dengan beralaskan bahwa insiden penyebaran virus tersebut adalah salah mereka. 

Namun, perusahaan Suarga yang dianggap sebagai sumber penyebab mengapa kiamat datang. Berusaha untuk mencari kebenaran dan menghentikan kehancuran. Sebab, kita semua masih pantas hidup, 'kan? Bersama anggota-anggota divisi persahabatan Loka di perusahaan Suarga, mereka bersatu membentuk sekumpulan pemberontak demi membangun masa depan lebih baik meski beberapa memiliki kegilaan dalam jiwa. Meski hayat hampir dikoyak dan morat-marit atas kekerasan duniawi, mereka masih punya kesamaan, bahkan mempunyai kekurangan. Kehilangan akal sehat tidak akan membuat kita semua lumpuh dan buta belas kasih.


MUSEUM NASIONAL MORTEY, 14 APRIL 3031.

Museum Nasional Mortey merupakan gedung terbesar milik kota itu daripada museum di negara lain. Karya seni yang ditampilkan bahkan sering mendapatkan penghargaan. Insiden beberapa tahun lalu memang tidak sampai menghancurkan sebagian kota kecilnya Mortey. Bangunan bersejarah tersebut masih dapat diamankan. Hanya saja, beberapa bulan terakhir, ada kejadian aneh yang datang tanpa sepengetahuan orang tertentu.

Dan kali ini, mereka melakukannya lagi. Dari jarak jauh, bangunan lama bernuansa putih itu terlihat jelas tidak memiliki penjaga yang ketat mengawasi. Akan tetapi, kamera pengintai berada di sudut-sudut terpencil sampai sanggup memergoki dirimu tengah mengupil. Setelah mobil terparkir rapi dengan posisi bersembunyi di balik pohon besar, Said sekaligus Rai mulai mengendap-endap memasuki museum lewat pintu belakang.

Sedikit sembrono, Rai menuntun dirinya mendahului Said yang sedari tadi menapak pelan di lantai bangunan tua itu. Acuhlah pada seruan laun kawan yang meminta dirinya ‘tuk terus berada di belakang, Rai hanya ingin selesaikan misi ini dengan cepat agar dada lapang. Jika kau bukan seorang profesional, mungkin kau hanya akan mengacaukan keheningan yang terpahat pada saat itu. Beruntunglah ia miliki langkah sunyi bak tak ada seorang pun tapaki kakinya di sini. Sulit dipercaya memang, namun derapan tungkai terlatih Rai bahkan berhasil buat Said terkesiap dan melupakan segala rencana sempurnanya itu.

Tiga puluh, dua puluh, semakin dekat hingga mereka tak perlu lama lagi menempuh. Keduanya pun kini dapat langsung menatap tempat tujuan yang tampak tak tersentuh. Kaca bujur sangkar yang menyelubungi benda terdambakan itu penuh debu, cukup membuat curiga Said dari kejauhan. Yang menaruh buruk sangka kemudian menarik kerah belakang pakaian milik Rai, menahannya agar ia berhenti melangkah dan turut akan perintah.

“Tunggu, Rai. Tidakkah kau berpikir bahwa kejanggalan ini terlalu jelas?” Yang mencengkram tekstil Raisada Jisrad mengungkapkan pemikirannya. 

“Apa, sih, Said? Tak ada yang aneh di sini.”

Tanpa rambang, Said melemparkan sapu tangannya yang telah diikat hingga menyerupai bola ke jarak lima meter di depan. Kilatan cahaya tak kasat mata membelahnya menjadi dua. Rai menatap kawannya tak percaya, netranya membulat sempurna setelah lihat kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya bila terus langkahkan kaki satu detik lagi saja. Said mengangguk, terjelaskan sudah mengapa kotak itu tertutupi debu sempurna. Rupanya tak pernah ada yang selamat lewati laser kejam yang beredar tanpa tertangkap netra itu.

“Ini bukan pertama kalinya kita pijakkan kaki di sini, Rai. Seharusnya kau bisa lihat perbedaan kotak di hadapan dengan yang sudah kita lalui sebelumnya. Tak ada debu yang semenumpuk ini.” Keduanya bertatapan setelah Said tuturkan anomali yang ia sadari. Segeralah Rai pertanyakan mengenai Tindakan mereka selanjutnya. Tentu tidak mungkin bila mereka harus Kembali dan berhenti tanpa dapatkan darah sakral yang merupakan poin penting ‘tuk kembalikan akal dunia yang tak kekal.

“Duh, sialan. Rencana cadangannya, Said?” Muram wajahnya setelah sepersekian detik memikirkan segala hal yang dapat otaknya pikirkan. Nihil saja, Rai hanya pandai akan pertanggungjawaban dirinya, bukan pertanggungjawaban tim yang terlalu rumit karena menimbang dua peranan dalam satu waktu. Bahkan hal itu membuat kepribadiannya yang lain bergejolak karena muak.

“Apakah peti itu cukup kuat?” Pikir Panjang Said sirna, ditutup dengan pertanyaan aneh yang tak dapat dipahami lawan bicaranya.

Ogah-ogahan jawabannya, “Apa? Kotak yang di sana? Iya, kali.” Menolehlah ia pada peti yang dimaksud, hendak menerawang pemikiran Said yang pastinya akan membuat keputusan setelah ini. Kendatipun akalnya tak mampu, Rai terus memandanginya hingga Said loloskan lagi kalimat yang buat dirinya mematung ‘tuk waktu yang lama.

“Ayo hancurkan museum ini.”

Tak masuk akal. Sudah gila memang isi benaknya, tak bisa lagi diprediksi tentang apa yang akan tersalur pada peristiwa. Sama gilanya pula, Rai mengangguk semangat akan usulan yang sempat membuatnya beku layaknya batu. Dengan sigap keduanya mundur dan cari titik buta lain dari si canggih, disusul dengan senapan senyap Said yang luncurkan peluru legam tepat pada kamera di sudut sorotan sekitar peti. Tujuh kelegaman yang melesat tersebut berhasil sebabkan kebutaan ‘tuk pengawas ruangan tak bertanggung jawab. Gesitlah Rai meluncurkan tungkainya agar genggaman dapat menaruh banyak peledak di setiap tiang yang terlihat netra. Dari situlah keseruan dimulakan oleh sang Sempurna dan si Petarung Gila. 

Satu, dua, tiga. Hitungan dalam hati saksikan hancurnya penjuru museum tanpa sisa. Bila petinggi itu yang jadi saksi, mungkin mereka ‘kan menangis tersedu-sedu karena melihat kehancuran pahatan seni yang telah diusahakan selama umur menemani. Ah, yang gila mana peduli akan kenangan tikus keperat, biarlah mereka tersiksa hingga melarat. Bahkan Rai dan Said kini tengah tertawa, menikmati kesenangan yang tak bisa didengar yang tinggi. Tak perlulah amat khawatir, monitor suara telah disabotase pula oleh Said yang miliki kecerdasan tak kalah tinggi.

“Rai, ambil petinya! Kini sensor dari laser sudah tak bekerja lagi.” Basa-basi tak perlu, Rai langsung menempuh langkah untuk ambil yang diperlu. Telah berada dalam dekapan bujur sangkar itu, napasnya pun kini berderu.

Peti kaca berisi sampel darah entah milik siapa, berhasil Raisada ambil dengan sigap. Jantungnya berdegup kencang. Namun, ia tetap melaksanakan itu. Museum sudah dihancurkan menggunakan senjata penyerangan. Said beserta Raisada sepakat tidak memakai bahan yang menimbulkan ledakan lebih besar supaya meminimalisir suara gaduh maupun terjadi kecelakaan. 

Ada seni yang dihasilkan dari kedua tangan mereka. Beberapa kaca dalam museum nampak pecah jadi berkeping-keping, bingkai lukisan pun patah, warna sudah tercampur gelap ditambah listrik padam. Tak nampak lagi sekarang bentuk aslinya. Sampai punggung Raisada tiba-tiba merinding, meski senter masih menyala, ketakutan ternyata tidak terelakkan. Sedang Said menyadari hal itu, maka ia memastikan agar terhindar dari bahaya. “Are you alright?”

Raisada mengangguk singkat. “Fine.” Seharusnya tak ada yang perlu ditakuti, sebab museum adalah lokasi teraman. Isu buruk mengenai bangunan tempat mereka berpihak saja tidak pernah terdengar. Jadi, setelah merasa cukup selamat, jejak pun secara perlahan dihilangkan menggunakan bedak bubuk. Siapapun tidak akan menemukan barang setitik bukti. Raisada dan Said kemudian pergi dari museum, sambil membawa benda asing di sebuah tas tipis namun nampak tebal, dengan memiliki beban ringan.

Meski begitu, tanpa sadar setelah kepergian mereka, sebuah gumpalan daging merah tengah memenuhi langit-langit museum. Ia berwujud kasar, mempunyai cakaran panjang, taring buas yang dimiliki terbuka lebar, siap melolong ngeri terdengar ke sepenjuru ruang. Bahaya, firasat Raisada benar, itulah kutukan.


KANTOR OPERASIONAL SUARGA, 27 MEI 3032.

Langit yang biasanya cerah di pagi hari itu kini membasahi sebagian kota, rintik hujan di pagi hari tidak membuat api semangat para pekerja yang berada di Suarga padam. Anggota setiap divisi disibukkan dengan pekerjaannya di meja kerja masing-masing setelah rapat, dan tersisa para ketua divisi yang tengah berkumpul membahas sesuatu—penerimaan karyawan baru. 

El mendapati sosok Sangkara yang baru saja tiba tengah menepuk-nepuk bahu jas miliknya karena air hujan, disusul oleh Harun dan Sabita yang baru saja tiba. Para ketua divisi menyambut Sangkara dan Sabita, lalu memperkenalkan diri dan mengarahkan mereka ke ruangan masing-masing divisi.

Illias memimpin Sangkara ke depan pintu ruangan divisi empat. Dengan yakin, membuka pintunya. Mereka berdua baru saja memasuki ruangan divisi empat, dan nampak beberapa pekerja langsung mengalihkan pandangan dari pekerjaan dan menatap Sangkara. Terlihat menilai dan mengintimidasi, Sangkara melihat mereka satu persatu, membuat catatan dalam benaknya untuk tak jadi kurang ajar. 

“Divisi empat, ini Sangkara.” Illias berujar, dan dibalas anggukan kepala oleh anggotanya.

“Sangkara, ini anggota divisi empat.” Illias lalu mengisyaratkan kepada para pekerja yang tengah mengerjakan tugas masing-masing di belakangnya. “Ada Oris, Soe, Selena, Denara dan Wintan.” Mereka bergiliran melambaikan tangan kepada Sangkara, yang tersenyum canggung.

“Salam kenal, semuanya,” ujar Sangkara dengan tersenyum. 

“Salam kenal, bro,” timpal Soe. “Semoga betah, ya.” 

Illias mengangguk. “Jangan bosen-bosen latihan sama gue.” Sangkara mengangguk kaku. 

Denara dari sudut ruangan menyahut, “selamat datang di divisi empat!”

Oris menyambung dengan suara tegasnya. “Selamat datang, anak baru.” Kesunyian melanda setelahnya. 

Illias berdeham. “Ayo, Sangkara. Gue kasih tugas. Nanti lu bakal ikut latihan.”

Sementara itu, ruangan divisi lima juga kedapatan karyawan baru. “Halo, anak baru!” seru para anggota lama divisi lima dengan berjalan mendekati Sabita. Gadis itu tersenyum kikuk dan menyapa kembali para anggota senior dengan gugup. 

“Halo, panggil aja Sabita.”

“Oke, Sabita,” kata Latief menepuk pundaknya. “Ini anak-anak divisi lima, gue harap kalian bisa bekerja sama dengan baik.” Sabita mengangguk, juga anggota divisi lima. 

“Oh hai, kita kedatangan cewek-cewek cantik, ya? Kenalin gue Masayu, salam kenal ya,” ujar Masayu dengan ramah.

“Ah elah.” Lelaki di sebelahnya mencibir, memperoleh tatapan sinis dari Masayu. “Kenalin nih, gue Tutu. Aslinya gue yang paling keren di sini,” ucap Tutu tidak ingin kalah.

Sementara itu sosok lelaki disisi Latief terdengar menghela napas. “Gue Kalam. Tutu mah emang sok banget biarin aja, jangan digubris.”

“Eh, maksud lu apa? Suka-suka gue dong!”

“Kepala lu gue genjreng.”

“Hush, udah gak usah ribut. Masa mau ribut di depan anak baru? Malu-maluin kalian.”

Sabita tertawa canggung melihat mereka. Ia melirik orang yang belum memperkenalkan dirinya. “Kalau ini namanya siapa?”

“Jannah,” tanggapnya sambil tersenyum. Ia menjabat tangan kedua anak baru itu. “Salam kenal.”

Di sisi lain ruangan, seorang gadis melambaikan tangannya kepada Sabita. Rupanya gadis itu, Humaira, juga karyawan baru yang ditempatkan di divisi lima. Latief menunjukkan mereka berdua hal-hal yang dapat ditemukan di kantor divisi mereka, juga topik yang sedang marak dibahas. Sabita mengangguk-angguk, mencoba mencerna seluruh informasi sebaik mungkin sembari menjabat tangan para pekerja lama. 

Mereka berkenalan dan sedikit bergurau, sampai terdengar dehaman Latief. “Kalian sudah kenal semua, 'kan?” ujarnya yang dibalas dengan anggukan para anggota. “Oke, saatnya gue kasih tugas. Ayo ikut, Sabita.”




Semilir angin yang menggiring hawa dingin beriringan dengan gumpalan hitam menyelimuti kawasan Mortey pada saat itu. Setelah kehadiran beberapa anak baru tadi pagi, Bastara El-Khaif, ketua divisi tiga mendapatkan perintah untuk mencari sebuah peta pada penyiaran yang lokasinya tidak terlalu jauh dari perusahaan. Dengan cepat tanggap, El segera mengumpulkan divisi yang dipimpinnya untuk melakukan misi tersebut. 

"Misi kita kali ini mencari peta yang ada di ruang penyiaran, letaknya ada di gedung besar yang ada di dekat Perusahaan Suarga, tepatnya ada di lantai empat," papar El dengan alis yang bertaut saat ia berusaha menjelaskan kepada rekan divisinya terkait misi yang akan dilakukan.

Perusahaan Suarga baru saja kembali menjalankan rutinitas dalam beberapa saat terakhir, dan ini adalah misi perdana yang dibebankan kepada divisi tiga setelah lama tidak menjalankan misi. Naas, divisi lima belum sempat untuk menjalankan tugasnya berpatroli di sekitar penyiaran tersebut. Namun, perusahaan sudah memberikan misi yang harus dikerjakan oleh divisi tiga. El tahu perusahaan menginginkan misi kali ini segera terselesaikan, namun misi yang mereka peroleh tak hanya membahayakan nyawanya, namun nyawa rekan divisinya juga.

Dari informasi yang berkeliaran masuk pada gendang telinga komandan divisi tiga, Lotra yang berada pada gedung tinggi itu menghambat divisi lima untuk melakukan tugasnya yang berupa patroli rutin. Sehingga divisi lima hanya melakukan pemantauan dari atap gedung markas milik Perusahaan Suarga, mereka hanya dapat melaporkan bahwa terdapat beberapa infected yang berada pada sekitar gedung penyiaran tersebut. 

Diiringi dengan hembusan angin yang kian mendingin akibat mendung, divisi tiga berangkat untuk menjalankan misi yang mereka terima pukul satu siang. Dipimpin oleh El dengan tangan yang menggenggam erat senjata di tangannya, divisi tiga dengan waspada menaiki tangga menuju lantai empat dari gedung tinggi tersebut, lantai tempat penyiaran dilakukan. Mata El dapat menangkap bangunan reyot tak berpenghuni dengan perkakas yang berantakan pada setiap sisi. 

Setibanya divisi tiga di lantai empat, mereka mendapati bahwa ruangan yang mereka tuju jauh dari kata terawat. Serpihan kaca berserakan pada lantai yang tertutup debu tebal, melihat hal tersebut membuat Eren memutarkan kedua bola matanya. "Begini doang mah gampang, tinggal masuk, terus ambil petanya, selesai," ucap Eren meremehkan. 

Ruhi dalam diam menyetujui perkataan Eren. Memang benar, keadaan saat ini terbilang cukup aman, tidak ada bahaya yang mengancam dan mendekat ke arah mereka. Keadaan ini cukup mempermudah divisi tiga dalam menjalankan misi mereka, mencari peta. 

"Langsung masuk aja, cari petanya, tapi tetap berhati-hati!" seru El memecah keheningan yang dibalas anggukan kepala setuju oleh rekan-rekannya, mereka mulai berpencar untuk mencari peta pada setiap sudut ruangan. 

Barang tua reot yang teronggok begitu saja tak luput dari pencarian mata elang Rai. Terdapat panggung kecil dengan alat musik yang nampak rapuh, pun mikrofon yang seharusnya menggantung indah di atas panggung malah berserakan di lantai. Tapi bukan itu yang jadi fokusnya, matanya terus mencari peta yang barangkali terselip di sekitar ruangan tersebut.

Sama halnya dengan Harun, ia kini berada di balik meja lobi, membuka satu persatu laci dan berharap dapat menemukan peta yang dimaksud. Manik coklatnya berusaha mencari dengan teliti dari setiap loker yang ada di meja lobi tersebut, ia buka semua dokumen yang ada di sana.

Tidak butuh waktu lama hingga suara Saumara memecah kesibukan setiap anggota divisi tiga yang sedang sibuk mencari target utama misi mereka, "Aku sudah dapat petanya," ucapnya menggema dalam ruangan tersebut.




Hingar bingar musik bercampur dengan bising cakap-cakap dari segala penjuru memenuhi atmosfer ruang santai Suarga malam ini. Pesta dipenuhi para pekerja dengan balutan baju kasual–karena mereka dituntut untuk siaga kapanpun, tidak ada gaun atau jas mewah. Berbagai meja dipenuhi macam-macam makanan juga minuman, semua orang terlihat melepas penat dan menikmati jeda sebentar dengan nama pesta ini. Pesta penyambutan pekerja baru, hal ini rutin dilakukan dengan tujuan agar mengenal satu sama lain, serta apresiasi atas pelatihan yang telah dilakukan pekerja baru.

Seseorang dengan perawakan tegap dengan rambut yang sebagian disisir kebelakang maju berdiri dibelakang podium. Illias, ketua divisi empat yang baru saja melakukan tugas berburunya.

“Saya, Rashaad Illias, sebagai ketua divisi empat mengucapkan selamat datang kepada pekerja baru, khususnya untuk Sangkara Manggala anggota baru divisi empat. Tadi kami baru saja melakukan perburuan dengan penuh was-was karena kelalaian tugas teman kita yang lain dalam berpatroli.”

Latief yang tersulut emosi dan tak mau kalah lantas memotong pembicaraan Illias, “Siapa yang lalai? Kalian gak tau apa yang kita lakuin sebelumnya, gak usah main nuduh gitu.”

Illias terlihat menahan amarah, mukanya merah padam, matanya memincing ke arah Latief. Peristiwa sahut menyahut kembali berlanjut, tidak ada tanda-tanda mengalah dari kedua kubu. Hingar bingar yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah dalam sekejap menjadi perselisihan. Bahkan yang sedarah pun kini buncah harus berpihak pada divisinya atau saudara sedarahnya. Maka pecahlah pertentangan diantara mereka. Semua saling membela diri, tak ingin jadi pihak yang salah. Jadi siapa yang sebenarnya salah? 

"Gue gak mau tau, lo gak bisa nyalahin divisi lima gitu aja, dong! Illias, lo juga baru datang, jangan ikut campur." Kalam membuka suara.

Illias memutar bola matanya jengkel. "Mestilah ini kesalahan kalian yang lalai dalam melakukan tugas! Kalau saja divisi lima bisa melakukan pekerjaan dengan benar, ini gak bakal terjadi, kan?" 

Latief maju ke depan podium dan memerhatikan Illias dari atas hingga bawah dengan remeh, "Lo berdiri disini juga sehat-sehat aja, masih utuh semua kaki tangan, apa yang harus dikhawatirin?" 

Oris bangkit dari bangkunya dan mendorong bahu Latief kasar, "Ga ada yang harus dikhawatirin? Lo mau tanggung jawab sama nyawa gue?!"

"Lo ga bisa tanggung jawab sama nyawa lo sendiri emangnya?" Tutur menghampiri Latief. Sedang Jannah berdiri dari bangkunya, "Tutur!" Maksud ingin Tutur kembali ke tempatnya.

Terdengar bisikan dari segala penjuru, mereka diperhatikan seluruh pekerja. "Ini bukan masalah tanggung jawab nyawa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya kalian terlambat patroli. Kalian ini tidak lelah menghambat tugas divisi lain?"

"Maksudnya, divisi kami beban? Begitu?" Latief hendak mencengkram kerah Illias namun dijegah Masayu sembari berbisik, “Udah jangan ribut, nggak malu dilihat satu perusahaan?”

Gebrakan meja datang dari Ruhi, "Iyalah. Masih nanya? Kan emang divisi lo yang anggotanya lalai." ucapnya sembari menunjuk-nunjuk anggota divisi lima. Sedangkan itu Sabita dan Humaira bingung tentang apa yang terjadi, terlebih Humaira yang tak suka perdebatan, memilih meringkuk pada lengan Jannah.





BERSAMBUNG.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer