CHAPTER 07: PENCEMARAN RUMAH KACA.
KANTOR SUARGA digemparkan dengan kabar bahwa beberapa pekerja yang mengaku dekat dengan para anggota telah tewas dalam bertugas. Hal itu tentu membuat mereka semua dirundung perasaan duka dan kehilangan semangat bertugas, menggila lantaran bingung menghadapi situasi yang tengah mereka hadapi sekarang. Dalam keadaan dunia yang semakin kacau pun dengan hal-hal yang terjadi di tiap-tiap detiknya, nyawa mereka jelas ikut terancam.
Di sisi lain, El-Khaif yang tengah sibuk mencari keberadaan Saraiah pun terkejut mendapati kabar bahwa gadis itu telah kehilangan nyawanya disebabkan oleh kawan mereka sendiri, Soerja. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung bergegas pergi menuju keberadaan Soerja dengan menggenggam bara amarah dalam dirinya yang kian langkah semakin meluap; tersulut, terbakar dan membara. Ia merasa tak terima atas kematian anggotanya yang dibunuh tanpa alasan, tentunya.
"Bangsat! Gila, ya, lu?!" Satu hantaman telak melayang bebas pada pipi Soerja, di hadapan seluruh anggota. El-Khaif, dengan sorot matanya yang berapi serta nafas yang menderu gebu, kini ada di hadapannya, seolah siap meremukkan tulang-tulang Soerja kapan saja. Namun merasa tak terima diberlakukan selayaknya demikian, pria itu menggusap asal bekas hantaman El sembari menatap balik sosok di hadapannya dengan sorot yang tak kalah tajam, "Lo yang gila! Apa-apaan main tonjok gue?"
"Kenapa lu bunuh Saraiah? Akal sehat lu di mana, Soe? Lu bunuh dia dengan alasan yang gak jelas, harusnya gak sampai sejauh ini!" Pria itu lagi-lagi melayangkan tinjuan bertubi-tubi pada sang empu, tanpa ampun. Di samping itu, Soerja sibuk menyangkal, berusaha hentikan tindakan El yang mengamukinya habis-habisan.
"Gue gak bunuh dia tanpa alasan, El! Okay, gue akuin ini memang salah gue karena ceroboh kemakan asumsi sendiri tanpa ngecek benar atau tidaknya tuduhan itu. Dan dengan bodohnya, gue main bunuh dia hanya karena tuduhan gue sendiri," akunya. Melihat hal tersebut membuat Kalam ikut merasa pusing, ia pun bertanya pada Soerja, "Tunggu, kenapa lo bisa tau informasi-informasi itu Soe?" Dengan sedikit menghela, Soerja pun menjawab, "Sejujurnya gue udah nyari informasi itu semenjak gue liat ada energi negatif mencemari lingkungan museum."
Hal itu tentu membuat amarah Illias; sang ketua divisi kini malah ikut terpancing. Ia mendorong Soerja dengan kasar dan memberikan tatapan tajam pada pria itu, "Lo kenapa gegabah banget, sih? Berani banget cari informasi tanpa izin dari gue, maksud lo apa?!" Soerja yang kini tengah dipojokkan pun hanya dapat meminta maaf untuk kesekian kalinya, ia tak tau bahwa situasinya akan sekacau demikian. Namun, seolah tak puas, Illias kembali membentak Soerja dengan berkata, "Coba aja lo sebelumnya kasih tau gua, pasti kita gak bakal kehilangan anggota secepat itu!"
"Emang lo tau apa aja tentang hal ini, Yas?" Tanya Soerja. Illias hanya melengoskan pandangan, "Gak penting apa yang gue tau, udah gak berguna juga buat sekarang," jawabnya singkat. Pria itu pun kembali menghela lantas berkata, "Sebaiknya, sekarang kita fokus ke tahanan nomor 100 yang kabur. Gue harus bunuh dia supaya perjuangan Tutu gak sia-sia," ujarnya.
Namun, di pertengahan obrolan itu, Harun tiba-tiba saja memotong komunikasi dan mengucapkan hal yang mengejutkan semua orang di ruangan tersebut, "Aku tau siapa pelaku pencuri dokumen itu," ujarnya. Mendengar hal itu, di sisi lain, Oris langsung melirik ke arah Harun dengan sorot tanpa arti dalam waktu yang lama. Ia kemudian Tiba-tiba pamit untuk pergi mencari keberadaan Ruhi yang sudah menghilang sedari siang, meninggalkan ruangan itu yang masih dipenuhi keterkejutan atas ucapan Harun barusan.
—
Suasana angin malam yang sunyi sangat dibutuhkan oleh Humaira saat ini. Ia melangkahkan kakinya sembari menikmati suasana sunyi. matanya menangkap sosok lelaki yang tengah duduk sendirian di rerumputan. Senyum Humaira muncul dari kedua sudut bibirnya. Ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah sosok lelaki yang dikenalnya dengan sangat baik itu, Eren Siregar.
"I am wreck when i'm without you," gumam Eren yang didengar Humaira.
"Kak?" Sapa Humaira dengan sangat tiba-tiba. Eren terkejut yang mendengar suara orang lain selain dirinya.
"Shit!" Eren mengumpat dengan telapak tangan yang mengelus dadanya.
"Malam-malam nggak boleh berkata kasar," ucap Humaira. Eren yang mendengarnya pun hanya memutarkan kedua bola matanya.
"Lu sih lagian. Kalau gue mengidap penyakit jantung, gue bakal salahin lu, Humai," jawab Eren dengan muka galaknya. Humaira tertawa kecil melihat Eren yang memasang muka garang. Namun, menurutnya itu hal yang lucu.
"Aduh, garangnya. Aku jadi takut," ucap Humaira sambil terkekeh pelan.
"Lagi galau banget apa? sampai gak sadar kalau dari tadi dilihatin banyak orang," tanya Humaira sembari mendudukkan dirinya di samping Eren.
Eren hanya melirik sisi kanan dan kirinya lalu mengalihkan tatapannya lurus menatap hamparan hijau di depannya "Gak peduli, mereka gak berdampak apa-apa buat gue lagian," ujarnya ketus.
Humaira hanya mengangguk-anggukan kepalanya, "Kalau gitu gak masalah dong kalau aku kesini juga," ucap Humaira sembari menolehkan kepalanya ke Eren.
"Kenapa lu gak ngurusin abang lu itu aja?" Ucap Eren tanpa mengalihkan pandangannya.
"Enggak deh, Kak Ren. Kak Harun lagi sedih juga," jawab Humaira sambil tersenyum kecil.
Sontak Eren mengalihkan pandangannya menatap Humaira yang ada di sampingnya, "Kenapa dia?" Tanya Eren.
"Tadi Humai ditanyain, kalau udah lulus dari Suarga bakal hidup di mana dan bakal ngapain," ucap Humaira dengan wajah murungnya. Bisa Eren lihat manik mata Humaira yang kelam tanpa harapan.
"Terusin aja mimpi lu yang mau jadi penari itu," ucap Eren yang membuat Humaira menoleh ke arah Eren, "dan bangun studio sendiri, pasti bisalah sukses ntar," lanjutnya.
"Biayanya besar banget, kak ... uang Kak Harun nggak akan cukup buat beli tanah," ditatapnya sendu mata Eren. Humaira kemudian menengadah ke langit, "Kayaknya, kami harus menyerah dengan mimpinya."
Mendengar hal itu, Eren melebarkan matanya, ia tidak mau teman dekatnya itu menyerah pada keadaan.
"Lagi pula, Humai udah nggak lagi yakin bakalan lanjut berumur panjang," pungkas Humaira.
"Kenapa gitu bilangnya? Humai, gue mau banget sebenernya pertunjukkan lo itu dilihat banyak orang. Gue yakin suatu saat nanti lo bisa jadi penari terkenal se-Mortey! Nanti gue bantu biar lo ikut program atau kompetisi bergengsi," ucap Eren dengan optimistis, ia tersenyum lebar ke arah Humaira agar Humaira bisa merasakan ketulusan hatinya.
Namun, justru Humaira kebingungan dengan tindakan Eren tersebut. Banyak pertanyaan muncul di dalam benaknya.
"Lo cuma perlu berjuang sedikit lagi," sambung Eren. Kalimat itu membuat alis Humaira bertaut, ia hadapkan tubuhnya ke arah Eren.
"Kenapa Kak Eren sebut itu berjuang sedikit lagi? Gimana cara mengukurnya? Memang selama ini kita belum cukup berjuang, ya?" Tanya Humaira bertubi-tubi.
"Kalian kan sudah berjuang sama-sama, maka kalian juga harus meraih itu bersama pula, Humai," Eren tepuk pundak Humaira untuk meyakinkan gadis tersebut. Hal itu mengundang senyum tipis dari bibir Humaira.
"Kalau Kak Eren sudah berjuang sampai mana?" Tanya Humaira, lagi. Humaira ingin memastikan keadaan Eren juga.
"Sampai ... masih mengeluh setiap hari itu termasuk yang mana?" Tanya Eren yang kemudian disambung dengan tawa getir, Eren alihkan pandangannya menuju langit.
"Kalau Kak Eren mengeluh terus nanti malah dikasih bala karena jarang bersyukur!" Seru Humaira dengan nada sedikit bercanda, berharap bisa menghibur hati Eren yang merana.
"Heh, mulutnya. Tapi serius, Humai. Gue merasa kalau gue udah nggak pantes buat terusin tugas gue di sini," nada yang semula bercanda itu menjadi semakin redup, Eren makin merasa terpuruk karena kejadian beberapa waktu silam.
"Ah, pantas saja kok. Jangan karena kehilangan satu orang bikin Kak Eren selemah ini layaknya tisu," lagi dan lagi, Humaira tidak lelah untuk menyemangati Eren.
"Tapi gue gagal selamatkan satu orang," nada sendu menghiasi perkataan Eren. Satu orang yang berharga, satu orang yang ia sayangi, memorinya terpaksa diputar kembali ke masa lalu.
"Hanya satu. Masih ada nyawa lain yang bisa Kak Eren bantu dan selamatkan, maka jangan hilang harapan, ya?" Ucap Humaira yang taruh harap pada Eren.
"Thanks, Humai," ucap Eren sembari tersenyum tipis ke arah Humaira.
—
Beberapa waktu berikutnya seperti mengabur, sementara Humaira memberikan Eren waktu untuk kembali menyendiri. Kepala dan seisinya dipenuhi dengan rasa resah serta khawatir. Dua pasang netra kecoklatan milik perempuan itu menangkap sosok yang dia cari-cari sejak siang tadi.
“Ruhi!” Teriaknya sehingga yang dipanggil pun menoleh.
Hanya tatapan tajam yang dilemparkan sebagai balasan dari panggilan barusan. Sorot mata itu membuat Humaira ingin mengurungkan niatnya, tetapi ia sudah sejauh ini. Jari-jemarinya mendarat pada pergelangan Ruhi, menarik perempuan di hadapannya ke tempat yang lebih sunyi.
Dengan kasar ia hempas tangan Humaira, Ruhi mendengus kesal, “What’s your problem, kid?”
“I know you're gonna kill my brother ...,” sebelum lawan bicara sempat membalas, Humaira melanjutkan ucapannya, “… but, please let him go—or I will kill your lover.”
“What is this? Some kind of joke? You can’t do that.”
Humaira terkekeh, meremehkan perempuan manis di hadapannya. “Yes, I can! And he can't escape me, because I can run faster than the wind.”
Mata keduanya saling bertemu, bahkan angin yang berhembus enggan lewat sebab melihat betapa tegangnya suasana di antara mereka. Kini, berdiri dua perempuan yang sama-sama mencoba melindungi hal terakhir yang mereka punya.
Ruhi mengangkat alisnya, melangkah maju; menyisakan beberapa ruang. Ditiliknya baik-baik perempuan di hadapannya. “Humaira, you’re just a little kid. And no one scared to a little girl like you.”
“So, it’s your last chance to tell me about them,” desak Ruhi.
“I'm not giving up my brother and my friends,” hanya raut marah yang tertinggal di wajah perempuan taurus itu. “Stop asking, you idiot!”
Kedua kakinya hendak meninggalkan tanah yang ia tapak, tetapi belum sempat melangkahkan kaki, sebuah tangan melayang ke bahunya. Humaira berbalik, ia bisa rasakan besarnya emosi menggumpal dari mata Ruhi.
Sang wakil ketua dari divisi tiga menampakkan kobaran api dari kornea miliknya, “Biar gue kasih tau sesuatu. If you wanna survive, you better watch your mouth.”
Suasana tak nyaman tak bisa terhindarkan setelah Harun dengan lantang menyatakan bahwa ia tahu siapa pencuri dokumen tersebut. Atensi mereka yang tadinya berfokus pada Harun seketika teralihkan ketika Jannah muncul dari pintu ruangan.
"Apa yang sedang terjadi?" Tanya Jannah bingung karena semua orang tampak tegang.
Sontak, Soerja langsung berdiri dan menghampiri Jannah dengan terburu-buru. "Harun tau sesuatu. Lo harus bikin dia ceritain segalanya, Jannah," Soerja menarik lengan Jannah, berencana mengajaknya lebih dekat pada Harun.
Namun, ucapan Harun menghentikan tindakan Soerja begitu saja, "Enggak perlu. Aku bisa bilang sekarang tanpa perlu diminta." Setiap detik yang berlalu di sana terasa semakin menusuk dan berhasil menaburkan kecemasan di hati mereka masing-masing.
Harun menegakkan pandangannya setelah menunduk selama beberapa saat, memikirkan bagaimana nasibnya dan Humaira setelah ini apabila rahasia-rahasia yang disembunyikan telah terungkap.
"Sebenarnya, aku sudah curiga sejak awal setelah kematian Naoki di museum. Maka dari itu, aku—" Harun tak sempat melanjutkan perkataannya sebab tubuhnya tiba-tiba saja ambruk setelah bunyi tembakan menggema tanpa bisa dicegah. Darah mulai tergenang di sekitarnya karena sebuah peluru menembus punggung hingga perutnya, peluru telah mengenai area yang sangat fatal.
"Humai, lu ngapain?!" Ruhi bertanya dengan nada membentak sambil mengguncang bahu Humaira. Bagaimana bisa Ruhi tidak mengamuk? Sesaat setelah ia tiba bersama Oris, ia justru disuguhi adegan di mana Humaira menembak kakak kembarnya sendiri tanpa ragu.
Meski tatapannya kosong, Humaira justru tersenyum seakan tak menyesalinya, "Aku lakuin ini demi Kak Harun. Supaya Kak Harun aman dan kita nggak akan diancam lagi."
"Diancam?" Kini, suara Illias yang terdengar setelah ia diam sedari tadi. Ia maju untuk berdiri di samping Ruhi dan berhadapan dengan Humaira.
"Siapa yang ancam kalian?" Pertanyaan Illias dibalas gelengan oleh Humaira, sebuah tanda bahwa ia menolak untuk menyebutkan nama.
"Semoga orang-orang jahat disiksa sekejam mungkin di neraka," gumam Humaira sebelum akhirnya mengangkat pistol di tangannya dan menembak kepalanya sendiri, membuat tubuhnya tergeletak di lantai dengan kondisi dahi yang telah dilubangi peluru.
Dengan tenaga yang tersisa, Harun mencoba membuka mata untuk yang terakhir kalinya. Kondisi mengenaskan Humaira membuat sudut matanya berair. Mata Harun kembali menutup perlahan seiring dengan napasnya yang semakin memelan. Sebelum tewas, Harun membisikkan sesuatu yang tak seorang pun dengar.
"Maaf karena kakak gagal dan kita berakhir seperti ini, Humaira."
Kedua mata kakak-beradik itu pun menutup untuk selama-lamanya. Kepada mereka berdua yang selama hidup selalu diberi belaian kasih sayang, belaian kepedulian, dan belaian ketakutan. Kini semuanya lenyap, mereka bawa hingga nanti bertemu di surga, semoga. Harun dan Humaira, haraplah mati dengan kedamaian memeluk keduanya. Kecemasan akan kerinduan papa-mama, ataupun ketakutan atas ancaman orang-orang Suarga, kini dihapus bagi masa seterusnya.
BERSAMBUNG
:((((((
BalasHapus