RAJA SIANG SUKSES menunjukkan kekuasaannya, panas terik lantas tak membuat semangat Illias sekaligus Tutu yang masih mengemban peranan mereka ke Justice Jail. Tempat yang digadang-gadang merupakan penjara bagi orang-orang buangan Suarga yang semula karyawan pula seperti mereka berdua. Selama melewati, keduanya tak henti-henti merasakan bulu kuduk merinding lantaran banyak sekali darah berceceran dari basah hingga kering menghiasi lantai di mana kaki berpijak. Sekaligus, teriakan para tahanan yang nampaknya semakin gila dan cepat-cepat meminta mati saja.
Tutu dan Illias melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan Justice Jail. 'Harus hati-hati' menjadi kata-kata yang selalu mereka rapalkan kemana pun mereka pergi. Saat mereka merambah masuk, fakta gelap tentang Suarga pun terungkap di depan mata.
"Yas, ini perasaan gue doang atau emang semua pengkhianat negara pada ngumpul di sini?" Ucap Tutu sambil sedikit merapatkan tubuhnya pada Illias.
Hawa mencekam semakin terasa sejak mereka mulai menelusuri lebih jauh ke dalam penjara.
"Sehabis diadili, mereka pasti diasingkan ke sini," tanpa mengurangi sedikit pun kewaspadaannya, Illias menanggapi pertanyaan Tutu.
"Berarti, orang yang harus kita temui itu juga pengkhianat dong?! Dia pasti berbahaya banget, lo gak takut apa?" Tutu panik karena tiba-tiba ia merasakan ketakutan dan berpikir berlebihan tentang situasi yang akan mereka hadapi kedepannya.
"Yas, gue belum mau mati," Tutu bergumam dengan nada gemetar. Apakah mereka akan selamat? Atau mereka akan mati di sini? Apakah-
"Lo bisa diem gak? Kalau masih ngerengek gini, gue sendiri yang bakal bunuh Lo sekarang juga terus kepala lo gue jadiin santapan monster."
Siapa pun, tolong Illias. Ia lebih baik bertarung dengan para monster di luar sana daripada harus mendengar ocehan Tutu yang tidak berguna. Entah sudah berapa kali ia muak dengan partnernya ini, dalam hati ia sedikit mengutuk Sir Travis karena tidak terima dengan tugasnya. Dari sekian banyak anak magang di perusahaan Suarga, kenapa harus Tutu?
Andai ada cara untuk membungkam seonggok tulang yang menjulang dengan senyum menyebalkan bernama Tutu ini tanpa harus repot-repot membunuh dan menyeret mayatnya, Illias pasti sudah melakukan itu sejak awal.
Tutu tertunduk diam, sekujur tubuhnya merinding dan kepalanya sakit lagi. Dalam keheningan yang melanda, Illias pun menghembuskan napasnya berat dan membuka suara, "Lagian, menurut gue orang yang bakal kita temui bukan salah satu dari pengkhianat itu. Dia pasti di sini karena suatu alasan, itu yang bakal kita cari tau."
Tutu mengangguk setuju. Sejujurnya, ia masih sangat penasaran, tapi Tutu memilih untuk tidak mengoceh lebih banyak lagi agar Illias tidak benar-benar membunuhnya. Lagi pula, mereka ke sini bukan untuk berdebat, melainkan menjalankan tugas dari Sir Travis yaitu menemui si tawanan ke-100.
—
Sabita merasa tidak tenang, hatinya dirundung perasaan gundah. Ia takut jika Lotra akan semakin dekat dengan ke penyerangan. "Kak, kalau kita kembali ke pusat kota apa boleh? Aku takut kalau Lotra semakin dekat dengan tempat penyerangan," tanya Sabita.
Latief yang mendengar permintaan Sabita menoleh ke arah gadis itu. Ia menganggukkan kepalanya, benaknya juga dirundung kekhawatiran yang sama. "Baiklah, kita kembali ke kota sekarang."
Mereka mulai melakukan perjalanan kembali menuju ke tengah kota. Semoga saja hal yang mereka takutkan tidak terjadi.
Saat di tengah perjalanan, Latief mendapatkan kabar dari Eren bahwa di tengah kota tengah ada aksi unjuk rasa. Sabita menyentuh pundak tegap latief dan menatapnya dengan tatapan bertanya. Latief menoleh ke arah Sabita sembari menghela nafas berat.
"Kita harus bergegas ke tengah kota. Di sana warga sedang menggila. Mereka melakukan unjuk rasa karena Divisi 3 merusak sumber daya alam mereka," ujar Latief. Sabita tak bisa menutupi keterkejutannya.
Latief dan Sabita mempercepat pergerakan mereka agar lekas sampai di tengah kota. Sungguh kacau, kejadian ini berada di luar kendali mereka.
Sesampainya di sana, mereka disambut dengan teriakan amarah dari para warga. Latief dan Sabita segera menuju ke tempat di mana Eren dan Humaira tengah mencoba menenangkan mereka. Mereka kualahan, juga kalah jumlah dengan para warga. Humaira berinisiatif untuk melontarkan beberapa kalimat untuk mengambil perhatian warga.
"Sebelumnya, kami selaku perwakilan dari rekan divisi kami, ingin meminta maaf dengan sangat atas perbuatan tidak mengenakkan bagi para warga sekalian." Berhasil, Humaira berhasil membuat perhatian warga teralihkan menuju pidatonya. Eren dan Sabita tersenyum kecil sembari melihat Humaira yang melanjutkan pidatonya, mereka merasa lega karena aksi warga ini dapat ditangani dengan cepat.
Dalam diam, Latief mengamati dengan raut muka yang tidak ramah. Dengan tegas, ia melangkahkan kakinya mendekat ke Humaira.
"Saya ingin agar kalian tidak lagi mendukung Suarga," secara tiba-tiba, ucapan itu terdengar dari bibir Latief. Membuat rekannya mengernyitkan dahi kebingungan.
Eren yang juga mendengarkan hal tersebut terkejut, lantaran tidak seharusnya Latief mengatakan hal tersebut di depan massa. Eren mulai khawatir dengan keadaan yang terjadi berikutnya, pikiran impulsifnya bergerak untuk menegur Latief.
Ditepuknya pundak Latief sambil berujar, "Bro, jangan bilang begini di depan rakyat," Eren memperhatikan lekat-lekat wajah Latief.
Yang ditegur tidak memedulikan, sorot matanya tetap fokus ke depan. Eren kemudian melirik ke arah Latief menatap, bisa ia lihat mata penuh amarah dari rakyat. Hal itu membuat bulu kuduk Eren berdiri, ia mundur perlahan-lahan karena takut terjadi hal yang tidak ia inginkan.
"Suarga adalah perusahaan busuk! Saya ingin kalian berhenti untuk mendukung Suarga dan menghancurkan perusahaan itu," tegas Latief.
Entah dari mana, terdengar teriakan nyaring yang memicu rakyat untuk kembali melakukan kericuhan. Latief yang berada di depan mereka itu menjadi target utama yang mereka serang. Tangannya ditarik, tubuhnya dipukul. Latief jatuh tersungkur ke tanah.
Ingin sekali Latief melawan, tapi ia benar-benar kalah jumlah. Bisa ia rasakan tubuhnya terinjak, seluruh badannya terasa begitu sakit, tetapi hatinya dihinggapi rasa senang karena berhasil untuk memprovokasi rakyat agar tidak mendukung Perusahaan Suarga yang dipenuhi oleh kebusukan. Dipukul dan terus dipukul, tendangan kuat yang dilancarkan oleh rakyat pada kepala Latief itu sukses membuat Latief harus meregang nyawa saat itu juga.
—
"Sialan! Gimana bisa tawanan yang kita cari ga ada di sini?!" Illias memandang berang ke arah sel tahanan kosong yang harusnya terisi tawanan penting untuk mereka temui dalam tugas kali ini namun, naas, setelah berjalan jauh yang mereka temui hanyalah sel kosong tanpa siapa pun yang mengisi.
"Berhenti marah-marah bisa ga sih? Harusnya sekarang lo mikirin kita harus gimana?" Ucap Tutu dengan sengitnya. Bagi tutu, pilihan untuk bertugas dengan Illias benar-benar pilihan paling mengesalkan lihat saja, bahkan, sekarang ketua divisi empat itu masih asik marah-marah tanpa memikirkan jalan keluar.
"Jadi, kalo gue mikir lo, ngapain? Duduk aja sambil bengong mikir kapan kita pulang? Gitu?"
"Gue juga ikut mikir ya bangsat! Gausah sok superior deh lo mentang-mentang ketua divisi. Lagian gue anak divisi lima, bukan anak buah-lo dari divisi empat." Illias enggan menjawab umpatan Tutu, baginya, hal itu hanya membuang waktu.
Ia terdiam sembari melihat beberapa sipir berjalan mondar-mandir melewati mereka sebuah ide muncul setelah melihat para sipir penjara itu berlalu lalang. "Kenapa ga tanya petugas yang piket hari ini?" Tanya Illias yang kemudian langsung berlalu ke arah meja sipir yang sedang piket segera setelah Illias menggerakkan badan, Tutu pun mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di meja sipir, Tutu langsung bergerak untuk menanyakan perihal kosongnya sel tahanan yang mereka kunjungi belum sempat Tutu membuka mulut, Illias mendekatinya dari belakang lalu membisikkannya sesuatu, "Jangan gegabah, apa menurut lo mereka bakal jawab pertanyaan tentang tawanan yang hilang atau sel kosong dengan jawaban jujur? Engga mereka pasti bakal menghindar jadi, diam lah biar gue aja yang nanya." Illias berjalan maju mendekati meja tersebut, lalu mengetukkan jari di atas meja untuk mengambil alih perhatian petugas yang tengah memeriksa buku catatan para tahanan yang ada di penjara ini.
TUK... TUKK.. TUK...
Tiga ketukan yang dihasilkan oleh jari telunjuk Illias berhasil mengalihkan perhatian petugas dari buku yang sedang ia pegang ke arah Illias yang berdiri di depan mejanya dengan wajah datar.
"Apa ada yang bisa saya bantu Tuan?" Penjaga itu bertanya dengan sopan sembari memamerkan senyum formalnya.
"Siapa yang terakhir kali berkunjung ke sel tahanan nomor seratus?" Mata tajam Illias menatap petugas itu dengan tatapan mengintimidasi, menuntut sebuah jawaban yang pasti dan jujur. Tutu sendiri dibuat tak nyaman oleh aura yang Illias keluarkan, seakan dapat mencekiknya tanpa menyentuhnya.
Sedangkan sang petugas menjawabnya dengan suara tenang tapi tak mampu untuk menutupi ekspresinya yang tengah tegang juga jaga-jaga kalau saja pria muda bersurai merah di hadapannya ini mengayunkan sebuah pukulan telak ke arahnya. "Dokter Deon, psikiater tahanan itu. Dia orang terakhir yang berkunjung untuk memeriksa kesehatan mental tahanan di sana."
Mendengar sebuah nama yang familiar keluar dari mulut petugas itu membuat Tutu sedikit tersentak melihat respon yang diberikan Tutu membuat Illias tau bahwa dia mengenal orang yang disebutkan oleh petugas itu sebelumnya.
"Di mana dia sekarang?" Ucap Tutu tergesa.
"Masih berada di sini, mungkin di ruangan khususnya atau di kantin penjara ini." Puas mendapat apa yang mereka inginkan Illias dan Tutu beranjak dari tempat petugas itu. mereka mencari dokter yang sepertinya dikenal oleh Tutu.
"Kenapa lo nanya kayak gitu tadi?"
"Seseorang pernah bilang kalo anak buah seorang penjahat akan kembali lagi ke tempat asalnya, lo sendiri gimana? Kayaknya lo kenal sama dokter itu."
"Dia psikiater gue." Illias menganggukkan pelan kepalanya, tidak ingin merespon lebih karena dia tau bahwa itu bukan ranahnya.
Sampai di tempat pertama, yaitu ruang kerja dokter itu. Beruntung ternyata sang dokter sedang duduk dengan nyaman sembari membaca kertas yang mungkin saja berisi laporan kesehatan dari pasien-pasiennya. Merasa seseorang membuka ruang kerjanya dokter itu mengalihkan pandangannya dari kertas laporan tersebut menjadi ke arah pintunya di sana berdiri Tutu yang menatap dokternya dengan wajah yang cukup menjengkelkan.
"Tutur, bagaimana kamu bisa ada di sini?" Wajah sang dokter menunjukan keterkejutan yang tidak dapat ditutupi dia sangat terkejut melihat salah satu pasiennya ada di penjara ini.
"Ngapain ya? Coba tebak dok, ngapain gue ada di sini?" Jawab Tutu dengan suara yang menjengkelkan. Illias yang melihatnya hanya bisa menghembuskan napasnya.
"Tadi saya diberitahu Anda adalah pengunjung terakhir dari tawanan nomor seratus sebelum kami dan saat kami datang, tawanan itu sudah tidak ada. Di mana tawanan itu sekarang dan apa yang anda lakukan sebelumnya?" Illias maju perlahan mendekati dokter itu, mencoba menguasai dengan mengintimidasi sang dokter.
Tidak ada yang terjadi, dokter itu pun tetap pada pendiriannya untuk tidak membocorkan sedikit pun rahasianya, "Maaf, apa yang saya lakukan itu rahasia antara dokter dan pasien dan saya juga tidak tahu menahu di mana dia."
Tidak tinggal diam, Tutu mendesak dokternya itu untuk menjawab pertanyaannya, "Mengapa tidak boleh? Gue kan pasien lo juga dok jadi, rahasia lo sama dia gue berhak tau dong?"
"Tidak bisa Tutur itu adalah privasi pasien dan kamu tidak berhak untuk tau!"
"Loh kenapa? Kan gue juga pasien dok."
"Intinya tidak bisa, tolong jangan memaksa." Tutu berdecak mendengar apa yang dokter itu katakan tangannya mengepal erat, emosinya sudah di ujung tanduk dan bersiap untuk meledak.
"Oke, kalo itu mau lo. Gue akan cari tau dengan cara kasar," Setelahnya, Tutu menendang meja sang dokter dengan kencang, membuat perut dokter itu terhantuk dengan keras dirinya terbatuk tapi itu tak membuat Tutur puas, berkali kali Tutur memukul wajah dokter itu hingga tiba-tiba sang dokter membalas dengan mengeluarkan sebuah Desert Eagle dari jas putih yang ia kenakan.
Illias yang melihat hal itu berteriak kencang sembari berlari keluar dari ruangan tersebut untuk menghindari tembakan dokter Deon, "Tu! Awas Dia ngeluarin Senapan!"
Tutu yang mendengar teriakan Illias kemudian melemparkannya dirinya ke sisi kanan dokter Deon, tepat sebelum peluru dari senapan berjenis Desert Eagle melesat dan hampir mengenai tubuhnya dengan sigap Tutu mengeluarkan sebuah ketapel juga sebuah bom lempar yang akan meledak setelah dilemparkan. Illias yang menyaksikan itu terkejut dan hampir saja berhasil menghentikannya jika saja Tutu tidak secepat itu dalam melontarkan sesuatu.
Bom itu meledak, menghancurkan beberapa dinding juga tiang menyangga penjara namun, dokter Deon dan Tutu seakan memiliki dendam pribadi masing-masing, tidak memedulikan hal itu dan tetap saling melemparkan serangan.
Beberapa kali Tutu terserempet oleh peluru dari senapan milik Dokter Deon, begitu pun dengan dokter Deon yang menderita lecet sukur tubuh akibat dari serpihan bom yang tutu lemparkan. Mereka bertarung hingga nafas penghabisan, kehabisan peluru juga bom Tutu dan Dokter Deon maju dengan tangan kosong.
Saling memukul dan bertahan hingga Tutu, tanpa ada rasa bersalahnya mencekik leher sang dokter dan melempar sang dokter hingga menghantam dinding yang hampir rubuh dengan kencang, membuat beberapa dinding penjara bergetar.
Melihat dokter Deon yang telah tiada pun merasakan penjara ini akan hancur, Illias menarik Tutu untuk pergi dari tempat itu namun, tiba-tiba Tutu memilih duduk di lantai sambil meringis kesakitan, seakan ajal akan menjemputnya saat itu juga.
"Arggg gue sakit banget bangsat!" Tutur mengumpat sembari duduk dan bersender pada dinding penjara yang sudah sangat rapuh melihat hal tersebut, Illias menjadi jengkel dan menarik paksa tangan Tutu untuk keluar dari penjara itu, selama dalam pelarian untuk keluar dari penjara itu Tutu selalu meringis bahkan menangis mengatakan bahwa dia kesakitan.
"Illias anjing! Lo memang jahat banget lo ga lihat apa tangan gue patah gini?! Gue habis berantem woi?! Lihat pipi sama sekujur badan gue, lecet! Sakit banget lo tega lo anjing!" Illias sama sekali tidak merespon makian Tutu, yang dia pikirkan sekarang adalah keluar hidup-hidup dari penjara yang hampir hancur ini.
Begitu sampai di depan pintu Tutu tiba-tiba menarik paksa tangannya dan berdiri tepat di tengah pintu masuk penjara Illias yang sudah ada di luar menatapnya degan berang namun, Tutu ternyata lebih marah dari yang Illias duga.
"LU BISA GA SIH JANGAN PAKSA GUE?! JANGAN MERINTAH GUE?! GUE KESAKITAN ANJING!" Entah apa yang Tutu pikirkan hingga tidak menyadari bahwa penjara itu akan segera rubuh dan dia malah mempermasalahkan tentang bagaimana Illias memaksa tubuhnya untuk tetap bergerak walau dia sedang sangat kesakitan. Tutu bahkan sekali lagi kembali tidak menyadari bahwa sakitnya itu hanyalah ilusi dia hanyalah kelelahan namun ia tidak menerima hal itu, yang dia tahu dia kesakitan dan Illias dengan kejamnya memaksa dia tetap berlari.
"Don't be an idiot in this time, Tutu! Lo sadar ga kalo penjara ini hampir hancur bangsat!"
"Mau itu hancur juga gue ga perduli, gue capek dan butuh istirahat dulu! Jadi jangan paksa gue untuk terus lari, dasar Iblis!" Kembali Tutu mengumpat kasar kepada Illias yang membuat sang surai merah berang akan tingkah Tutu.
Baru saja ingin membalas ucapan Tutur, tiba-tiba ia merasakan ada hal yang salah lalu, secepatnya ia alihkan pandangan kepada dinding juga atap dari penjara tersebut betapa kagetnya dia melihat semua dinding sudah retak total pun dengan atap yang mulai hancur sudut mata Illias kemudian menangkap sebuah tembok dan plafon yang hampir rubuh.
"TUTU MINGGIR! PENJARANYA MAU RUBUH!!"
Naas, Tutu terlambat untuk bergerak menjauh. Dengan sekali hantaman, darah Tutu membasahi tubuh dan wajah Illias. Tubuh Tutu tertimpa tembok dengan kepala yang tertusuk besi beton penjara. Illias memandang pemandangan mengerikan itu dengan wajah datar, dia mengusap wajahnya yang terciprat oleh darah Tutu. "Payah, udah gue bilang jangan bertindak bodoh. Walau begitu, selamat istirahat, Tutu gue akan umumkan sama yang lain agar tubuh Lo bisa diambil dan dimakamkan dengan layak." Setelahnya Illias melangkahkan kaki untuk pulang ke Suarga untuk membawa warta kematian Tutu.
Tidak ada jeritan kesakitan atas kehilangan yang tiada artinya itu. Illias benar-benar menganggap bahwa kesalahan Tutu sendiri sebab kecerobohannya yang terlalu berfokus pada hal lain daripada melindungi diri sendiri. Dan pada akhirnya, Illias kembali ke kota untuk melapor secara sendirian. Selama perjalanan, ia mendapatkan kabar bahwa Kapten divisi lima pun rupanya tidak menjaga markas dengan baik, namun justru mementingkan egonya yang terlalu menghasut warga lokal untuk pergi ke Mortey demi menghancurkan perusahaan Suarga. Mau bagaimana pun, keegoisan tidak pernah menang melawan realitas.
BERSAMBUNG
ARRGGHHH Tutu... Tutu geprek... Tutu... ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapus