CHAPTER 04: MIMPI BURUK MENJADI KENYATAAN.

JAM TUGAS telah berakhir, divisi lima belum berniat untuk kembali dan menghentikan perjalanan mereka. Diketuai oleh Latief, laki-laki dengan garis wajah tegas itu memimpin rekannya menuju sisi Utara. Di sana, mereka menemukan sebuah bangunan tua terbengkalai. Tanpa bisa ditahan, rasa penasaran membawa sepasang kaki secara otomatis berjalan memasuki gedung yang sepi.

"Ada yang aneh di ruangan itu," dengan langkah tergesa, Jannah memberikan informasi setelah kembali dari salah satu ruangan yang ia tunjuk dengan jari lentiknya. Latief, Sabita, dan Humaira sontak saja langsung mengalihkan atensi ke arah yang dimaksud oleh Jannah.

"Ada apa?" Sabita bertanya dengan kedua alis mengerut, belum dapat melihat keanehan yang dimaksud oleh Jannah ketika dirinya mencoba melangkah semakin dekat dengan ruangan yang memiliki pintu paling besar di antara ruangan lainnya.

"Sabita! No!" Perempuan yang diteriaki namanya itu terkejut ketika sebuah tangan menariknya ke belakang. Raut wajah khawatir Sabita didapati ketika dirinya menoleh, "Ada energi negatif yang cukup besar di sana, kita harus hati-hati."

Secara perlahan, Jannah melepaskan cengkeramannya, mencoba menjelaskan apa yang baru saja ia dapati sebelumnya, "Ruangan itu terkutuk, kita tidak bisa terus di sini. Masih banyak hal lain yang harus kita cari, sebaiknya kita berpencar."

Mendengar penjelasan Jannah, dengan gerakan cepat Humaira menyalakan walkie-talkie mencoba menghubungi rekan lainnya di seberang sana.

"Kalam divisi lima di sini, ganti."

"KAK KALAM!" Tanpa sadar Humaira memekik keras ketika suara Kalam terdengar dari benda persegi di tangannya, "Kak Kalam, kita ada di ... semacam basemen sekarang. Ada yang aneh, energi negatif."

Latief mengambil alih walkie-talkie dari tangan Humaira, kapten divisi lima itu mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada salah satu rekannya yang tengah dihubungi, "Kalam, Kalam, Latief di sini. Ada energi negatif yang cukup besar dalam bangunan tua di sisi Utara."

Di seberang sana, Kalam sepertinya paham apa yang tengah terjadi pada rekan-rekannya. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu setuju untuk menyusul mereka, "Akan segera menyusul dalam 10 menit, Kapten," ujar Kalam yang dapat didengar oleh semua telinga yang masih berdiri mematung di tempatnya. Begitu sambungan walkie-talkie terputus, Latief mengajak semua orang untuk keluar dan menunggu Kalam sambil mengatur strategi dan membagikan tugas.

"Jannah, Humaira, kalian cukup telusuri tempat di sekitar sini saja. Saya dan Sabita akan masuk ke dalam hutan." Tiga perempuan yang mendengar titah sang ketua mengangguk patuh. Tak lama setelah mereka berhasil keluar dari dalam basemen, sosok Kalam terlihat berjalan mendekat dengan satu orang lain bersamanya, Wintan Kharisma.

"Kalian baik-baik saja?" Tanya Wintan ketika sudah berada di hadapan rekan-rekan divisi lima.

"Semuanya baik, tapi ada yang tidak beres di dalam sana. Virus Duande sepertinya benar-benar sulit dimusnahkan, energi negatif sangat besar aku rasakan," Jannah menjawab sesuai dengan apa yang baru saja terjadi. Latief kemudian memberitahu rencana yang telah disusun sebelumnya pada dua orang yang baru bergabung, "Hati-hati ketika masuk ke dalam, jangan memaksa untuk melanjutkan perjalanan jika situasi tidak memungkinkan."

"Kapten," panggil Kalam sebelum mereka benar-benar berpisah. Ia menatap Wintan sebelum melanjutkan, memastikan bahwa perempuan itu setuju dengan apa yang akan ia lakukan. Wintan mengerti maksud tersirat temannya, ia mengangguk pelan tanda persetujuan.

Mendapat respon positif dari perempuan itu, Kalam segera melemparkan walkie-talkie di tangannya ke arah Latief. Beruntung si ketua divisi memiliki refleks yang baik sehingga benda kecil itu dapat mendarat dengan mulus di kedua telapak tangannya. "Hati-hati saat memasuki hutan," pesan Kalam sebelum akhirnya mengajak Wintan melaksanakan tugas mereka.

Wintan dan Kalam kini berada di belakang basemen, keduanya saling meyakinkan diri sebelum pergi memasuki pintu yang ada di balik mereka. Lontaran kata-kata penyemangat tak henti-hentinya terucap dari mulut satu sama lain hingga suara tapak kaki yang samar berlari membuyarkan pikiran mereka. Kalam sedikit mengintip dari balik tembok, tidak ada siapa pun. Karena mendapati tidak ada hal aneh yang terjadi, keduanya memutuskan untuk segera masuk ke dalam bangunan tua tersebut.

Di tempat yang berbeda, Latief dan Sabita menyusuri hutan bagian dalam. Keduanya menyisir sedikit demi sedikit area sampai Sabita tak sengaja melihat sebuah kertas peta yang tersangkut di semak-semak. Kertas itu berisi sebuah gambaran wilayah dengan beberapa coretan di beberapa tempat. Akan tetapi, tampaknya peta itu robek. Latief pun berusaha mencari sambungannya.

"Got it!" Dengan cepat ia menemukan peta sambungan yang ternyata
terjatuh di tanah.

"Menurutmu apa ini?" Latief melihat Sabita. Sabita membalas tatapan Latief lekat, tampaknya mereka berpikir hal yang sama.

Latief meminta sobekan kertas yang dipegang oleh Sabita. Ia berusaha menyocokannya. Latief menyadari ada kesamaan dari tiap tempat yang ditandai dengan coretan.

"Sabita, beberapa tempat di sini ... kamu tahu, 'kan?" Lagi-lagi Latief memandang Sabita yang dibalas anggukan.

"Markas Lotra yang sudah pernah kita datangi."

Latief buru-buru melipat kedua potongan peta tersebut lalu memegangnya erat. "Ayo kita kembali ke markas sekarang," perintah Latief.




Kekhawatiran melambung tinggi pada hati El-Khaif. Selaku ketua divisi, ia sangat khawatir ketika sadar bahwa Saumara belum juga hadir di markas setelah evakuasi dilakukan. Langit malam sudah tak bersahabat lagi, dirinya takut kawan-kawannya bertemu dengan musuh atau bahkan hal-hal yang di luar nalar lainnya. El-Khaif melepaskan hela napas yang panjang, dengan keputusan yang tepat, ia berniat untuk mencari Saumara serta divisi 5 yang tak kunjung menampakkan dirinya di markas pemulihan.

“Kamu kenapa, El?” Tanya Saraiah yang sejak tadi melihat kegelisahan dari mimik wajah El-Khaif. Ia berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Gue khawatir banget, Sara. Saumara belum kelihatan, divisi 5 juga belum kasih kabar,” El-Khaif menjawab dengan penuh gelisah, menatap teman dihadapannya—Saraiah—yang daritadi memang memperhatikannya. Lalu laki-laki itu melanjutkan perkataannya, “apa gue susul aja, ya? Gimana Sara menurut lu?”Tanya El-Khaif meminta saran pada Saraiah. 

Namun bukannya menyetujui, Saraiah justru mencegah ketuanya untuk pergi mencari dan menawarkan diri untuk dirinya saja yang pergi bersama Sangkara, “Eh! Aku akan bantu kamu mencari yang lain bersama Sangkara. Kamu tenang saja, El. Netralkan rasa kekhawatiranmu itu.” El-Khaif pun terdiam setelah mendengarnya, dirinya memikirkan beberapa hal untuk menyetujui tawaran dari Saraiah. 

Setelah menghela napas panjang dan mengurut pelipisnya, ia memutuskan untuk mengizinkan Saraiah dan Sangkara untuk membantunya mencari, “Baiklah. Tetapi lu harus tahu, ada hal-hal di luar nalar. Gue harap, lu tetap jaga sekitar dan jangan sampai luka waktu balik lagi kesini,” perintah El-Khaif pada mereka berdua. Sangkara tersenyum, mewakilkan Saraiah untuk bicara kembali, “Santai aja El. Aku dan Sara bisa menjaga diri baik-baik.”




Pada titik temu, hutan belantara dan tempat antah-berantah tak berpenghuni, langit yang mulai kelabu tak lagi ingin bersahabat dengan Saumara. Ia tertatih-tatih melangkahkan kaki tanpa arah, harap-harap cemas 'kan ada yang menolongnya. Kendati harap yang ia miliki, ia hanya bisa terus berlari.

Saumara kembali mendecak pelan begitu ia sadar bahwa pedang yang ia gunakan kini semakin rapuh dan tumpul. Bahkan, menggores kayu pun tak lagi mampu. Persediaan molotov yang ia bawa pun tampak tidak berpihak padanya. Ia hanya bisa berharap secara ajaib dapat menemukan peluru untuk digunakan pada revolvernya. Sebab, bahkan untuk gunakan pedangnya, Saumara tak lagi mampu. Lengan kirinya yang terluka parah menjadi hambatan besar baginya untuk mengangkat pedang bak sang pemenang.

Ia mengutuk dirinya yang terlalu bodoh. Dirinya yang terlalu emosional dan egois meninggalkan Masayu begitu saja. Seharusnya ia berkaca pada keadaan, ini bukan saatnya berlagak menjadi korban yang tersakiti. Ia butuh setiap bantuan yang bisa ia terima. Malangnya nasib Saumara, kini Masayu berada entah di mana, sedangkan Saumara terdesak di ambang kematian. Saumara hanya bisa terus berjalan berharap temukan sesiapa pun yang bisa bantu dirinya. 

Naas, lagi-lagi Dewi Fortuna tak berpihak pada dirinya. Kini, ia dihadapkan dengan dua pilihan, maju melawan monster yang menghalang jalannya atau sembunyi dalam gubuk kecil hingga sang monster pergi. Tentu ia tak cukup bodoh untuk menghadapi sang monster dengan lukanya. Ia tertatih berjalan menuju gubuk kecil itu dan dengan memaksakan dirinya, menyembunyikan diri di lemari tua. 

Saumara benci ini. Ia benci ketika ia harus sembunyi di tempat seperti ini. Ia bahkan tak bisa melakukan apa-apa selain bersembunyi. Sama seperti dirinya di dunia nyata, selalu sembunyi. Kepalanya mulai sakit luar biasa dan napasnya semakin pendek. Namun, ia hanya bisa terus bertahan di situ untuk waktu entah hingga kapan sebab ia tak tahu kapan monster itu akan pergi. Entah berapa lama berlalu, Saumara bahkan tak lagi mampu bernapas dengan normal, denyut jantungnya yang semakin berpacu dengan waktu tak membuat keringat dinginnya semakin membaik.

Seolah keberuntungan tak berpihak padanya, di tengah kebingungan yang melanda dan dengungan telinga yang makin parah, samar-samar Saumara dengar pintu gubuk kecil dibuka secara paksa. Saumara tak bisa diam, jika itu monster, ia akan mati di lemari ini apabila ia tak kunjung keluar. Dengan setitik kekuatan yang tersisa, ia keluar dan mengangkat pedangnya.

"Mara? Kamu kenapa sendirian? Bukannya kamu sama Masayu?" Segera Saumara menolehkan pandangannya, menulusuri sumber suara. Dapat ia temukan Jannah yang tadinya menodong pistol kini menurunkan kewaspadaannya. 

"Panjang ceritanya. Kamu sendiri? Bukannya bersama kelompokmu?" Saumara balas melempar pertanyaan. Merasa disudutkan, Jannah enggan menjawab. "Aku tanya duluan. Jangan bilang kamu bertengkar lagi terus meninggalkan Masayu?" 

"Bukan urusanmu, Jannah! Kenapa sih, kalian semua selalu menyudutkan aku. Seolah di sini semuanya kesalahanku! Lagian kamu juga bukannya harus bersama kelompokmu? Mana kelompokmu itu?" Saumara menyeru membela diri, tak terima dipojokkan. Ia memutar bola mata jengkel, jengah dengan semua perdebatan yang tak ada habisnya.

"Kenapa kamu jadi marah? Kan aku hanya bertanya? Lagipula memang kejadian waktu itu salahmu, kan?" Jannah ikut memutar bola mata jengkel. Jannah merasa memang Saumaralah yang salah di sini sebab Saumara terlalu emosional dan egois. Saumara membahayakan tim karena emosi semata.

Jannah mondar-mandir di hadapan Saumara. Pistol masih dalam dekapannya, kepang duanya berantakan karena ia terus mengusak rambutnya kasar. Pakaiannya sudah tercoreng banyak noda—entah tanah, debu, atau kotoran lainnya.

"Jannah," panggil Saumara sekali. Namun, tidak menggubris Jannah sedikitpun. "JANNAH!" Kali dengan sedikit intonasi yang naik, Saumara berhasil memanggil lawan bicaranya.

"Apa?! Kamu mau aku melakukan apa Saumara?!" Ditariknya kerah Saumara, tapi sang empu memiliki tenaga lebih kuat yang dapat melepas cengkraman Jannah.

"Kita harus pergi dari sini! Tempat ini tidak aman!" Saumara berdiri dan menatap Jannah berani, "Kau mau mati disini?!" 

Jannah mendecak membuang muka, "Mereka saja tidak mau aku ikut, bukannya sama saja mereka mengorbankan aku untuk dimakan monster jelek itu?! DIVISI SIALAN!"

"Aku meninggalkan Masayu di jalan," ujar Saumara dengan nada rendah. Ia merasa sangat bersalah telah meninggalkan Masayu yang kesusahan, ia merasa egois karena telah memilih untuk bertahan sendiri.

"Semua manusia pada akhirnya memilih dirinya sendiri, kau pembunuh, Saumara," Jannah menaikan satu bibirnya, menatap remeh Saumara.

Gadis dengan rambut digerai itu mendorong bahu Jannah hingga menjauh beberapa meter. Ia berteriak "AKU BUKAN PEMBUNUH! AKU MENINGGALKAN MASAYU SENDIRIAN BUKAN BERARTI AKU MEMBUNUHNYA!"

"Tidak ada yang tau Masayu terbunuh atau tidak kalau kau merasa bersalah, berbalik arahlah sana."

"Aku mau menebus kesalahanku dengan menyelamatkanmu!"

"Tidak perlu. Aku ingin mati."

Jannah memunggungi Saumara, melihat kumpulan awan kelabu, pemandangan yang cocok untuk dinikmati dalam waktu terakhirnya. Segalanya hancur, puing-puing yang terlihat di sekitar sini dulunya dihiasi kerlip cahaya neon, di dalamnya simpan banyak desas-desus terkini. Kaca ciamik terpasang bagai baju gedung, pantulkan kehidupan hingar-bingar yang kini hanya bisa diputar kembali dalam benak.

"Aku sudah terbiasa ditinggal, aku harusnya tak heran. Lagi pula siapa yang menginginkan aku kembali hidup-hidup?" Emosi Jannah menjadi lebih sendu. "Orang tua. Saudara. Teman. Penggemar. Bahkan rekan satu timku tidak ada yang melihat jelas-jelas eksistensiku."

Saumara mendekat, bermaksud untuk mendengarkan lebih seksama kehidupan Jannah. Angin semilir membawanya pada kehidupan lampau sebelum ini, di saat semuanya masih baik-baik saja, di saat Ibunya belum 'menggila'. 

"Pernah masuk televisi? Sebaiknya jangan, dunia di sana kejam," Jannah kembali melanjutkan ceritanya, "tidak ada bedanya dengan kehidupan yang kita pijak sekarang, Saumara."

"Kita bisa hidup lebih baik setelah ini, ayo cari tempat yang aman— ..."

Terdengar suara lendir lengket dari arah belakang mereka. Mata Jannah dan Saumara kembali waspada, memasang kuda-kuda untuk menghadapi sang monster.

Mulut dengan gigi runcing itu terbuka lebar. 𝘊𝘭𝘪𝘤𝘬𝘦𝘳.

Saumara mengangkat pedangnya, Jannah sudah siap mengarahkan pistolnya. Tumpul. Saumara baru ingat pedangnya sudah tumpul, tak ada goresan apapun pada tubuh Clicker. 

Prangg!

Pedangnya sudah jatuh di tanah. Kini tangan Saumara kosong.

"Apa yang kau lakukan? Ambil pedangmu!" Seru Jannah. Namun, Saumara hanya dapat memandang Clicker intens, seolah matanya dapat ciptakan laser untuk membunuhnya. 

DORRR!!!

Jannah meloloskan satu pelurunya, Clicker berhasil terusik. Ada berita buruknya, Clicker mengamuk dan mengejar Jannah dan Saumara yang sudah lebih dulu berlari. 

Di tengah pelariannya, kaki Saumara terjepit salah satu puing. "Tinggalkan aku, Jannah!" Ujarnya pada Jannah yang sedang membantu mengangkat puingnya. "Kita harus hidup Mara! Kita!" Jannah bermaksud untuk menghibur Saumara.

Clicker kembali hadir dalam lapang pandang kedua gadis itu. "LARI JANNAH! LARI!" Saumara berteriak sekuat tenaga. Setengah hati Jannah ingin membantu Saumara, setengahnya juga ingin hidup, ia akan mati sia-sia jika hanya tertegun melihat Clicker mendekat.

"Bersinarlah lagi Jannah," Saumara tersenyum sebelum Jannah akhirnya meninggalkan Saumara yang terjebak. 

Dengan penuh derai air mata sepanjang jalan pelariannya, Jannah memiliki tekad untuk hidup lagi. Ia merasakan apa yang Saumara rasakan, perihal egois itu perlu. Kau pembunuhnya Jannah, kau.




Kesat-kusut di setiap sudut ruangan gedung ini terasa sangat berantakan. Hunian yang terbengkalai ini adalah tempat di mana Kalam dan Wintan mendapat tugas. Mereka mulai menginjakkan kakinya tepat pada pintu yang tak lagi berfungsi. Di dalam para Clicker berkumpul, tak mungkin mundur pula tak mungkin maju secara cepat sebab mereka hanya berdua. Kalam dan Wintan saling menatap, saliva tertelan dengan berat. Mereka memikirkan strategi yang tepat untuk memusnahkan para Clicker itu.

Dengan berusaha meredam suara pergerakan agar keberadaan tak diketahui, keduanya juga bersiap akan senjata di hastanya. "Kalam, kita beneran ngelawan mereka?" Kerutan khawatir muncul dari raut cantik Wintan. "Mau gak mau, lo jangan jauh-jauh dari gua, oke?"

Mereka menelusuri tempat itu semakin dalam dengan Wintan yang terus memegang erat jemari Kalam. Dari awal mereka tahu seharusnya mereka tak pergi berdua saja sebab dengan keadaan seperti ini sungguh sangat sulit untuk menaklukkan musuh terlebih dengan Wintan yang tak berteman dengan ruangan gelap nan sempit. 

"Astaga," keluh Kalam di tengah perjalanannya. 

"Kenapa, Kalam?" Jawab Wintan sedikit panik.

Keringat dipelipis menjadi jawaban, kesalahan tak lagi bisa disesali. "Kita harus panggil divisi 3 untuk bantu kita, Win."

"Oke. Ayo kita hubungi mereka."

"Tapi, itu masalahnya," Kalam mengusak rambutnya kasar, "Kita ga bawa walkie-talkie!"

Tubuh Wintan melemas, energi dalam tubuhnya hilang separuh, "Walkie-talkie ada di Latief, gua baru sadar sekarang kalau kita lebih membutuhkan benda itu," sautnya. Ia kemudian melanjutkan, "Kita pasti bisa musnahin Clicker itu. Ayo, Kalam! Kita selesain ini semua bareng-bareng!" Wintan meyakinkan dirinya juga Kalam meski di dalam benak ia takut setengah mati. 

Mereka melanjutkan tugasnya untuk menelusuri gedung tersebut. Di setiap sela terlihat para Clicker yang sedang berkumpul. Dengan sigap, Wintan menembak bagian terlemah dari monster tersebut, dibantu oleh Kalam. Suara tembakan itu berhasil mencuri perhatian para Clicker lain, mahkluk buruk rupa itu berlari ke arah keduanya, "Wintan, mundur. Cari tempat aman," Kalam masih tak henti menembak ke segala arah. "Ga bisa, Kalam. Aku akan bunuh Clicker ini semua," tolak Wintan dengan keras kepalanya.

Kalam berdecak. Ia merapat ke samping Wintan, memastikan gadis itu tetap berada dalam pengawasannya. Namun, dari arah barat, datang para Clicker yang lebih besar karena mereka sudah lama sekali terinfeksi. Tanpa pikir panjang, ia berlari kecil ke arah tersebut, meninggalkan Wintan sementara untuk melemparkan bom yang ia bawa sejak tadi. Seketika para clicker itu mati. 

Kalam merasa lega karena bom nya tepat sasaran. Lalu, ia kembali ke tempat Wintan berada yang ternyata nihil, ia tak melihat Wintan di sana. "Wintan, lo di mana?" Ia berlari mencari Wintan di setiap sela ruangan. Sampai akhirnya, ia melihat siluet gadis itu sedang tersungkur di balik runtuhan tembok. Wintan menatap ke arah Kalam, ia menyesal seharusnya tak meninggalkan Wintan tadi. 

Peluang untuk meminta bantuan sudah pasti tidak ada. Kalam pun membantu Wintan untuk berdiri.
Dirasa tubuh Wintan sudah sedikit melemah dan tak mungkin berlari, Kalam berinisiatif tuk menggendong Wintan. "Wintan ayo, gua akan bawa lo keluar dari sini."

Kegelapan yang utuh membuatnya berhenti setelah satu langkah. Pupilnya melebar untuk menyerap sebanyak-banyaknya cahaya yang minim. Diketuk kakinya sesekali untuk mendapatkan gambaran struktur dengan pemetaan berbasis gema.

Kalam berjalan dengan tertatih-tatih sembari membopong tubuh Wintan yang terluka parah. Satu tangannya memegang pinggang ramping milik Wintan, sedangkan tangan lainnya memegang senter. Keduanya tampak lelah dengan tubuh yang dipenuhi oleh luka dan keringat. 

Terlebih lagi Wintan, gadis itu sudah bagaikan mayat hidup. Masker yang menutup wajahnya kini sudah hancur akibat pertarungan hebat dengan para musuh. Wajah cantik yang dulu berseri layaknya bunga musim semi itu kini sudah dipenuhi oleh lebam dan luka gores di mana-mana.

Napas keduanya tersengal, ingin sekali Kalam beristirahat sejenak tetapi mereka tak bisa berhenti begitu saja. Wintan yang semakin melemah pun kembali terbatuk-batuk akibat debu yang semakin lama semakin menyebar ke seluruh ruangan. 

Melihat kondisi tubuh Wintan yang semakin terpuruk. Bahkan Kalam mulai merasakan jemari dingin menyusuri kakinya, naik ke tubuhnya, dan mencengkeram jantungnya. Pikiran negatif kembali bermunculan di kepala, dengan cepat ia tepis pikiran itu. Kalam menyandarkan tubuh Wintan secara perlahan pada dinding tembok dengan warna yang mulai memudar, menyamakan posisi duduknya agar gadis itu tidak terlalu merasa sakit sebelum mengajaknya berbicara. "Wintan, lo masih bisa denger gua?" Ia tepuk pipi itu dengan hati-hati membuat sang empu mengerjapkan matanya. 

Wintan menatap Kalam dengan tatapan sayunya, "Kalam ... tubuhku seperti mati rasa." Wintan merintih, ia rasakan tubuhnya sudah tak bisa lagi digerakkan. Kalam terdiam, ia menatap mata Wintan yang berkaca-kaca. Sungguh, ini adalah kekecewaan terbesar dalam hidup Kalam sebab dirinya tak bisa melakukan apapun untuk sahabatnya. 

Kalam menutup bibir Wintan dengan jari telunjuk agar gadis itu berhenti bicara, "Sst, jangan banyak ngomong dulu. Simpan tenaga lo buat nanti, oke?" Kalam mengelus pipi Wintan dan mengusap air mata yang hendak melarikan diri dari sudut matanya.

"Diem di sini. Gua mau cari jalan keluar supaya kita gak ketauan sama Clicker itu, ya?" Tangan Kalam bergetar. Wintan mengangguk meski sia-sia sebab Kalam tak dapat melihatnya.

Clicker semakin ramai berdatangan dan jelas mereka berjalan ke arah keduanya. Wintan dengan sisa tenaga yang dimiliki, mendorong tubuh Kalam sekuat mungkin hingga pemuda itu terdorong jauh dan menghantam lantai. Bertepatan bersama datangnya clicker yang berlari dari arah kanan, tubuh Wintan terhantam. Dirinya terpental menghantam dinding yang dilapisi oleh baja beton. Wintan meringis saat rasakan perih pada perutnya yang tak sengaja tertusuk oleh besi yang sudah berkarat. 

Wintan tak sanggup menahan rasa sakit di perutnya, rembesan darah mulai keluar dari perut bagian bawah miliknya. Bau anyir menyeruak keluar bercampur dengan aroma busuk yang berasal dari satu clicker yang ditembak mati oleh Kalam. ia memuntahkan seteguk darah sebelum kesadarannya direnggut. Wintan jatuh ke lantai basemen yang kotor. Debu hitam melekat di pipinya seiring sengatan di rusuknya yang remuk. Gelombang kesadarannya melemah dan gadis itu pun terbaring tak berdaya.

Tanda darurat tersebut mencapai Kalam yang tersungkur di lantai yang kotor. Pemuda dengan pakaian yang sudah lusuh itu sedang meringis akibat benturan yang diterima oleh lutut beserta pelipisnya, hasil dorongan keras yang dilakukan oleh Wintan sebelumnya. Kalam menoleh, betapa terkejutnya ia ketika melihat teman seperjuangannya jatuh dan hampir tak sadarkan diri. Wajahnya mendingin seketika saat tau akan ada maut yang mendekati Wintan.

Waktu seakan terhenti di sini. Di tempat ini kegilaan itu pun dimulai. "Bangsat, mati lo semua!" Kalam menarik pelatuk pistol yang berada di tangannya, menembak para clicker biadab di bagian kepala dan juga dada. Kepala jamur itu seketika meledak, mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Kalam mengambil botol kaca lalu memukul kepala clicker yang sudah tak bernyawa itu dengan membabi-buta. Amarahnya sedang diambang batas. Para clicker yang mendengar bunyi senapan pun berbondong-bondong mendekati tempat Kalam berada. Dengan hati yang putus asa, Kalam berlari menemui para clicker bodoh itu dan menembakkan flamethrower. Dia membakar mereka hidup-hidup dan mendengarkan jeritan makhluk biadab tersebut.

Kalam berlari menghampiri Wintan yang sudah tak bisa dikatakan baik lagi. Kini, di sinilah mereka berada, di sudut ruangan basemen yang kotor. Di ruang di mana Wintan terbaring lemah setelah terkena besi tajam dan perawatan darurat oleh Kalam. Kalam mengamati perut bagian bawah Wintan yang masih merembeskan darah segar meski sudah ia lilit dengan sobekan baju yang ia kenakan. Tangan kanan Kalam masih menggenggam kedua tangan Wintan, kenangan saat keduanya bertemu untuk pertama kalinya tiba-tiba saja muncul di benaknya. 

Kalam membungkuk dan berbisik lembut di telinga gadis itu, "Gua di sini, jangan khawatir," dengan perlahan dan tenang meskipun nada suaranya terdengar gemetar. Rasanya, raganya masih ada namun jiwanya telah hilang entah kemana. 

Wintan menggenggam jemari tangan Kalam dengan erat, "Kalam, tetaplah berjuang meski medan juangnya tak seperti yang kamu bayangkan. Seberat apa pun masalah yang akan kamu hadapi nanti, jangan pernah ragu untuk terus maju. Percayalah bahwa semua orang, termasuk aku, sangat bangga padamu."

"Diem! Gua bilang diem, Wintan!" Kalam berusaha untuk tidak menangis saat ini. Tidak! Ini tidak boleh terjadi pada Wintannya!

Wintan tersenyum getir dan napasnya semakin tercekat, terus berusaha untuk sampaikan kalimat, "Kalam, Apa pun yang terjadi nanti, ini bukan salahmu. Maaf aku udah gagal dalam misi hari ini. Makasih sudah mau menjadi temanku selama ini."

"Nggak! Kita bisa keluar dari sini, tahan bentar, Win."

"Tidak mungkin ..." lirih si gadis. Kalam sontak menggeleng kuat-kuat, ia pun menggendong Wintan secara sigap. "Tetap sadar! Gua ada sama lu!" Teriaknya. Tak peduli masih ada Clicker atau tidak di tempat sama, kini ia berusaha melangkahkan kaki cari jalan keluar.

Namun, mendadak Kalam rasakan sakit teramat pada betisnya. Ia pun ambruk bersama Wintan yang masih di rengkuhannya. Kalam masih terus menggelengkan kepala, ia segera bangkit dan menopang tubuh gadis itu sekali lagi. Wintan meraih ujung kerah pakaian Kalam, detak jantung kian melambat, “Kalam,” panggil Wintan lemah. Hanya saja Kalam tak mau dengar, ia perlu buru-buru membawa Wintan pergi dari sana.

Harapan satu-satunya itu semakin lama menghilang. Lutut Kalam juga lebih lemas, matanya sudah sangat memanas. Bagaimana jika mereka terus terjebak di sana tanpa keluar? Mereka mati perlahan, tentu saja. Bahkan Wintan sudah tak bisa apa-apa. Meski begitu, dengan sisa tenaga tersisa, Wintan berusaha mendekati telinga Kalam demi membisikkan sesuatu.

“You’re doing great, Kalam. Good job,” ucap Wintan. Napasnya tertahan, ingin segera ambruk dari sana. Kalam kemudian inisiatif memegang punggungnya, “Win, kita gagal,” bisiknya pelan. Wintan tahu dari getaran suara Kalam jika lelaki itu sedang merasa bersalah. Pandangan Wintan buram saat bendungan di air mata mulai menutupi.

“Aku tak ingin mati, Kalam,” isai tangisnya lolos. Ia menggigit bibir, hidup nampak memerah karena mulai menangis. “Aku masih ingin lulus dan pulang,” tutur Wintan melanjutkan. Dada si gadis sesak bukan main, baju Kalam bahkan basah oleh air matanya.

“Win, maafin gua.” Kalam tak dapat lagi kerahkan seluruh tenaganya. Mungkin ia kurang berusaha, kurang mengusahakan yang terbaik untuk misi keduanya. Kalau saja Kalam tidak lemah, mungkin mereka sudah keluar dari tempat itu.

Kala lelaki itu hendak memanggil lagi, Wintan justru mencubit pinggangnya. “Namaku Wintan Kharisma, tolong ingat namaku baik-baik, ya, Kalam?” Kemudian Wintan tak mampu lagi mempertahankan kesadaran. Napas dan sapuan hangat dekat bahunya tak lagi terdengar, Wintan benar-benar pergi meninggalkan Kalam juga tugasnya di dunia. Selama-lamanya.

Yang menopangnya tengah menangis. Kalam dekap punggung Wintan, ia bahkan menenggelamkan wajah para bahu kecil itu. Sekarang Kalam kehilangan arah, setidaknya ia mengingat satu kata. “Wintan ...,” sahut Kalam. Walau pertemuan mereka terbilang singkat, tapi Kalam tidak melupakan gadis itu. Wintan adalah gadis baik, meski berakhir melemah, Wintan sudah bekerja keras.

Deru napas yang sedari tadi memburu pun perlahan mulai kembali seperti semula. Mata cantik yang dulu menyimpan ribuan bintang itu mulai redup dan kehilangan cahayanya. Netra Kalam memburam disebabkan oleh air mata yang tengah berlomba-lomba basahi kedua pipinya, ia menangis tak tertahankan. Rasa sesak yang sedari tadi ia rasakan membuat akal sehatnya terganggu.

"WINTAN! WINTANNN! AYO SADAR!!" Kalam menjerit memanggil nama Wintan yang sosoknya kini sudah tak lagi hidup. Kalam meraih tubuh Wintan dan mendekapnya dengan begitu erat sembari terus gumamkan kata maaf. "Maafin gua, maafin karena gak bisa selamatin lu. Tolong jangan pergi dulu, Wintan, please." Wajahnya semakin memburuk kala rasakan tubuh Wintan yang perlahan mulai dingin. Wintan bener-bener sudah pergi, tak lagi di dunia ini. Tinggalkan Kalam juga tugasnya. Selama-lamanya.





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan Populer