CHAPTER 03,2: PELATUK DITARIK, KAU TERTELAN.

PELATUK DITARIK. Peluru menembus tepat pada kepala. Mimpi buruk kemudian menjelma menjadi hiruk, selamanya membuatmu terpuruk. Sebuah memori permanen, sebuah trauma yang tidak mudah lepas, tetapi mengawang pada angan-angan.




Masayu, Sangkara, Humaira, dan Said yang menguping pembicaraan Eren melalui walkie-talkie membulatkan matanya. Eren menatap keempat rekannya dan memasang raut muka yang sulit diartikan setelah mendapatkan berita dari seberang. 

"What we suppose to do now?" Celetuk Humaira dengan suara lirihnya. Raut khawatir jelas terpampang pada wajah mungilnya. 

Humaira merasa cukup kebingungan dengan kondisi mereka saat ini. Nyawa teman-temannya terancam, tetapi ia tidak tahu cara pergi ke Kota Besman. Markas mereka letaknya berseberangan dengan Kota Besman, mereka harus lintasi perairan yang cukup luas agar bisa mencapai kota tersebut. 

"Pindah ke selatan, apa lagi?" Jawab Said.  

Pindah ke selatan berarti kembali pada pedesaan Besman yang sebetulnya tidak seaman dugaan orang-orang. Kedua alis Humaira sontak menyatu saat mendengar jawaban Said, "Tapi kita harus nyebrang dulu, sedangkan perahunya rusak," ujar Humaira sembari menunjukkan perahu yang teronggok tak berdaya dengan bagian ujung perahu yang pecah. Perahu itu memang sudah lama tidak digunakan lagi. 

"Ada dua perahu yang bisa dinaiki, saya dapat dari penduduk sekitar tadi." Jawaban yang memuaskan terlontar dari mulut Said. Humaira bernapas lega. 

Humaira, Eren, Masayu, dan Sangkara menganggukkan kepalanya dan melangkahkan kakinya mengikuti langkah Said menuju tempat di mana perahu itu berada. 

Terdapat dua perahu yang muat untuk tiga sampai empat orang yang mengapung di atas perairan. Said mengawalinya dengan menaiki satu perahu. "Ayo, Humaira. Kalian, cepat bergeraklah juga," titah Said kepada mereka.

Humaira menggenggam tangan kanan Masayu sembari menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kak Masayu, tolong jaga diri." 

Masayu tersenyum mendengarnya, ia mengusap punggung tangan Humaira yang menggenggam tangannya, "Of course."

Humaira melangkahkan kakinya menaiki perahu yang dinaiki oleh Said. Mesin perahu mereka sudah menyala, Humaira duduk di depan Said dan menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Masayu sekilas untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. 

"C'mon, come after her,” ajak Masayu kepada Eren saat perahu yang dinaiki oleh Said dan Humaira mulai melenggang pergi menyusuri perairan. 

"I'll go with you, Masayu," celetuk Sangkara tiba-tiba. Ada pun suara itu terlontar berkata demikian agar tidak merasa ditinggalkan oleh orang yang dirasa sudah memberikan perlindungan. Selama bersama Masayu, Sangkara selalu aman dan diterima tanpa banyak teguran. Mungkin, pikirnya ia bisa lebih senang pergi dengan Masayu karena merasa berhutang budi atas eksistensi perempuan itu. 

Eren sontak menolehkan kepala menatap Sangkara, raut muka sudah penuh tanda tanya dan nampak tak setuju atas keputusan si pria bersangkutan. Kenapa ia bisa berani meminta seperahu bersama yang dikasihi. “No. I will go with her," sergah Eren.

Sangkara tidak pedulikan perkataan Eren, ia lewati Eren begitu saja menuju ke arah Masayu dan meraih tangan Masayu yang jelas saja mendapatkan penolakan mentah-mentah oleh Masayu. 

"Sangkara!" Teriak Masayu. Melihat hal yang ada di depannya membuat Eren naik pitam, ia halau Sangkara agar tidak mendekat lagi sedikit pun ke arah Masayu. 

Eksistensi Eren seolah tidak ada dalam mata Sangkara, fokusnya hanya untuk Masayu. "I'm not gonna let go by yourself," ucap Sangkara. 

"Actually, you are," timpal Eren sembari mendorong pelan tubuh Sangkara agar menjauh. Sungguh, Eren sedang mati-matian menahan emosinya agar tidak menyakiti anak baru yang ingin jadi pahlawan di depannya ini. 

"I can help." Masih tak mau kalah, Sangkara nekat ingin pergi bersama Masayu. 

Hampir saja emosi Eren meledak, sebelum akhirnya Masayu menghela nafas kasar. "Exactly, by staying here and fixing the fucking sailboat. Get your priorities straight," ucap Masayu sambil menunjuk ke arah perahu yang rusak, matanya menatap lekat ke arah Sangkara sebelum akhirnya ia beranjak untuk menaiki perahu di depannya. 

Eren yang hendak menyusul Masayu 'tuk naiki perahu itu sempatkan diri untuk mendorong pundak Sangkara agar menjauh darinya, "Better know your limits, Manggala," ucapnya sambil berlalu pergi. 

Mereka berdua tinggalkan Sangkara sendiri. Mesin perahu dinyalakan, Eren dan Masayu berhasil menaiki perahu tersebut dan meninggalkan Sangkara di belakang. Sekelumit Eren tunjukkan senyum kemenangan, sebelum akhirnya suasana sunyi selimuti keduanya. Masayu memegangi perut dengan muka memelas, seolah ia selesai berlari dalam jarak bermil-mil jauhnya. Mereka bahkan baru saja duduk untuk mengistirahatkan kaki di perahu, kemudian ia tatapi Eren sembari sisipkan secuil senyum.

"Eren ... I think I'm pregnant," cicit Masayu. Keberaniannya beberapa detik lalu mendadak raib, ia alihkan pandangannya ke perairan. 

Mendengar hal tersebut buat Eren terkesiap bukan main, matanya melebar karena selama ini tak pernah menyadari hal itu dialami kekasihnya. “What now? Are you kidding— ...”

"No," potong Masayu, "Don't worry, babe. It's not yours," lanjutnya. Suaranya kian mengecil, Masayu masih tidak berani menatap Eren. Senyum getir menghiasi wajah Masayu. 

Ucapan Masayu yang selembut kapas tersebut membuat Eren lemas, kekecewaan mulai merasuki atmanya. "So whose child is that?" Tanya Eren, ia tatap lekat manik kelam Masayu. 

"I won't tell you," jawab Masayu, kepalanya menggeleng lemah. 

"Why you don't inform me about that earlier?" Lagi, Eren bertanya. Sorot matanya kepada Masayu menunjukkan rasa kecewa yang amat dalam, pikirannya berkecamuk. 

"Because I felt that it couldn't possibly happen," jawab Masayu sambil menatap mata Eren, "I don't want to be a burden."

Eren menghela napas, "Yeah, but you are a burden now," ucap Eren dengan penekanan pada kata burden

Eren alihkan pandangannya dari Masayu, ia ingin lihat apapun itu selain Masayu. Tidak ada percakapan yang terjadi lagi di antara keduanya, mulut mereka seolah terkunci oleh senyap. Keduanya bergumul dengan pikirannya masing-masing. 

Eren pergi duduk membelakangi Masayu. Ia lempar pandang bayangan atas dirinya di perairan sana. Ada kekecewaan menghinggapi kalbu, riuh pikiran mulai memunculkan ide-ide konyol supaya puaskan emosinya. Rasa kecewanya kini mulai merambat menuju dirinya sendiri, ia mulai merasa tidak bisa mengontrol arah gerak pikirannya. Fokus, satu kata yang Eren berusaha raih saat ini juga, ia ingin fokus pada misinya buat mengamankan teman-temannya yang lain.

Di lain sisi, Masayu menunduk sambil menatap perutnya. Sedikit sesal muncul di benaknya ketika melihat reaksi Eren, kendatipun ia tidak berekspetasi terlalu banyak, tetapi tetap saja ia merasa tidak nyaman. Batinnya dipenuhi rasa bersalah, padahal Masayu hanya ingin jujur tentang suasana hatinya.




Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka tiba di sisi pedesaan Besman. Beberapa anggota yang terluka karena melawan monster diharapkan untuk ditangani secepatnya. Wintan pun begitu. Dirinya telah menanti akan tiba di tempat aman secepatnya, apalagi dengan anak kecil yang ia bawa. 

Anak itu masih belia, Wintan yang temukan saat hendak mengungsi ke desa. Dengan fisik yang terluka dan tiada orang tua, Wintan berniat membawanya ke tempat aman—Karava. Pikirnya, penjagaan yang ketat bisa memberikan anak itu tempat berlindung yang layak. Syukurlah Saumara pun ternyata sependapat. 

Di sebuah tempat yang aman di desa, Wintan memberikan pertolongan pertama untuk anak tersebut. Saumara yang tadinya tengah mengurus anggota lain memutuskan untuk segera pergi ke tempat Wintan berada dengan niat untuk menjenguk dan membantu Wintan. Melangkah ke rumah yang dituju, sampai di depan ia malah menemukan orang lain. 

Masayu, yang juga kelelahan sedang mengistirahatkan tubuhnya, duduk di kursi lapuk dengan posisi yang janggalnya anggun. Tak berpadu dengan berantakan latar sekitarnya, tapi Saumara pikir, Ah … ini 'kan Masayu. 

Saumara berdeham, "Masayu, what are you still doing up?" Ia melangkah ke arah Masayu yang sedang duduk melamun, basa-basi sedikit tidak akan menggangu si cantik.

Masayu menoleh, matanya tak sepenuhnya menatap Saumara, "Waiting for Wintan to finish changing her bandages." Ia mengerjap, menatap Wintan dari celah penutup kaca jendela yang tengah merawat anak tadi. "I can't believe she's on her feet already." 

Saumara bergumam samar. "Well, they're tough." Keduanya duduk diam, belum tahu mau berkata apa. Wintan kini masuk lebih dalam ke rumah, tetapi tiada dari mereka yang menyusulnya. Canggung. 

Masayu menghela nafas, "Omong-omong, gue kira lo udah ngomong ke Sangkara? Tentang pergi ke Karava," ia menatap Saumara dari sudut mata, seakan menuntutnya akan kebenaran. Lantaran, ia telah membuat kesepakatan dengan Sangkara perihal ini. 

Saumara menangkap dengan baik maksud Masayu. Ia pun sadar bahwa Masayu bisa merusak kebahagiaan yang ia dambakan. Maka sembari menaikkan satu alis, ia menatap profil samping Masayu. "Sebenarnya, aku pergi sama mereka ... tapi nggak jadi kalau kamu juga ikut." 

"Hah?" Masayu balik menatap bingung Saumara, merengut tak mengerti atas jawaban Saumara. 

"He may fall for your little act with those kids, but I won't," ujar Saumara. Nada bicaranya yang terlampau tenang sebenarnya membuat Masayu sedikit tersinggung. Dengan itu, Saumara punya perhatian penuh Masayu. 

"There's nothing to fall for," balas Masayu dengan ketus, mendengarnya membuat Saumara tersenyum kecut. 

"He's willing to take the boat at the base for you. Nothing to do with Sangkara, right?" Saumara membalas, dalam nadanya dengan jelas tersirat sindiran dan sarkasme. Ia seakan menarik benang, mengurai untaian pikiran Masayu untuk membuatnya mengaku. 

Masayu hendak menyangkal, "I haven't always done the right thing— ..."

"You're a piece of shit, Masayu. You always have been. I'm done with you. You want to do right by these people? Then, get out of their lives before you screw them over too." Saumara menyentak benang pikirannya, melihat sikap Masayu berubah dari mencoba tetap tenang menjadi melekukkan alis dan menggenggam erat pegangan kursi yang ia duduki. 

"You don't even have the right to stop me," suara Masayu merendah dan semakin mengintimidasi. Saumara dalam emosinya telah mengangkat dagu, menatap Masayu seakan dia ada di bawahnya. 

"What if I could?" 

Terdengar suara seorang lelaki dari samping rumah dan sosok yang diperdebatkan datang hendak melerai keduanya. Namun tatapan tajam mereka tetap sengit bagaikan predator yang siap berebut mangsa. Saumara terlihat benar-benar muak, sedangkan Masayu terlihat tidak terima dengan kedatangan Saumara yang tiba-tiba mencercanya. 

"Kalian kenapa, sih? Stop," Sangkara mengambil andil, menghentikan perlawanan tatapan yang ditukarkan oleh kedua wanita tadi. Sebagai gantinya, tatapan mereka kini ditujukan kepada Sangkara sendiri.

"Why do you care?" Saumara meninggikan suaranya. Sangkara tersentak, pikirannya seperti menghubungkan titik-titik terputus, dan dirinya kini mengerti apa yang membawa mereka ke situasi ini. 

"Because I'm your friend, Mara," suara Sangkara cukup kencang, mencoba balik menggigit, membalas Saumara yang lalu mendecih. 

"Don't be. I'm fine as long as you don't mess up again," Saumara melengos, bahkan tak ingin menatap wajah Sangkara. 

Hati Sangkara seakan ingin terus membalas, "Well, I don't? Kamu yang ikut campur urusan orang." Ia menepis perkataan Saumara. 

Masayu berdiri, "Kalian— ..." 

"Ikut campur? Itu karena ekspektasiku buat kamu tinggi, Sangkara," terdengar lara di suara Saumara. Sangkara menatapnya seakan tak percaya. Bahkan, Masayu hendak berkata, tetapi tertahan di kerongkongan. 

Tiga orang dewasa saling menatap dengan menantang, seakan tak ada yang mau kalah. Mungkin beberapa anggota dan warga tengah menatap mereka, tetapi hal itu sedang tak terpikirkan. Pikiran runyam akan kekecewaan, emosi, dan ketegangan. Sangkara akhirnya menghela nafas kasar. 

"Terima kasih, Mara. Tapi kamu bukan siapa-siapa di urusan ini."

Saumara membelalak. Kini, giliran ia yang tak bisa berkata apa-apa. Dirinya mengeluarkan tawa kecil, tegang. Jadi, ini rasanya dianggap bukan apa-apa. Saumara mengerti. 

"And I thought you think of me as a friend," Saumara tersenyum paksa, emosi intens menyertainya. Ia tertawa lirih, bibirnya bergetar. Sangkara menatapnya dengan emosi yang memudar, sedangkan Masayu dengan kesengitan. "Emang gitu ya, Ra? I never meant anything to you?"

"Mara, maksudnya bukan— ..."

Saumara berdecih, dengan tangkas ia keluar dari ruangan. "Mara!" Sangkara memanggil, mencoba menyusulnya. Dua orang itu meninggalkan ruangan, Sangkara mengejar Saumara—sembari bergumul dengan pikiran masing-masing. Tinggal Masayu yang membeku di posisinya, mulutnya sedikit terbuka sebelum ia pun terduduk lagi.




Pagi ini, di perusahaan Suarga terjadi hal yang cukup unik. Di depan pintu lobby perusahaan Suarga terlihat seorang laki-laki berambut merah tengah berdiri sembari memainkan pemukul baseball yang sedang ia bawa.

Tak lama setelahnya, muncul seorang pemuda tinggi dengan susu kaleng di genggamannya, "Yo! Udah lama nunggu?" Tanpa menjawab pertanyaan, laki-laki berambut merah tersebut langsung berjalan keluar perusahaan. 

"Cepat, makin siang makin lama lagi nanti untuk kita pulang," ucap Illias saat melihat Tutu berdiam diri tanpa mengikutinya dari belakang. Ya, hari ini memang Illias dan Tutu ditugasi oleh Mr. Travis untuk menemui salah satu asistennya yang sedang terpenjara di Justice Jail, entah apa yang dipikirkan Mr. Travis dengan menyatukan dua orang yang sangat berbeda ini, semoga saja tidak terjadi apa pun saat mereka berjalan bersama nantinya.

Illias sibuk awasi situasi sekitar dan berjaga-jaga, sedangkan Tutu gengsi ajak Illias bicara sehingga ada hening di antara mereka. Terlebih lagi hubungan mereka tidak dekat karena sempat terjadi perselisihan antara Tutu dan Illias dahulu. 

Tidak kuat lagi ia menahan diri untuk diam, Tutu menurunkan gengsinya lalu berkata pada Illias, "Menurut lu kenapa kita yang di tugasi Mr. Travis untuk ketemu asistennya?"

"Karena gue kompeten." Tanpa menatap ke arah Tutu, Illias mengeluarkan nada datarnya yang membuat Tutu merasa jengkel, inilah sebabnya Tutu tidak cocok bersama manusia datar seperti Illias. 

"Gue juga kompeten kali," gerutu Tutu. 

"Eh, tapi lu ngerasa ga sih kalo tiap asistennya Mr. Travis itu aneh? Belum lama ini Naoki tewas dan ternyata beliau masih memiliki asisten lainnya, tetapi anehnya asisten itu berada di penjara." Tutu melirik sekilas ke arah Illias untuk memastikan ekspresi apa yang ketua dari divisi empat itu keluarkan, sedangkan Illias sendiri mulai berpikir keras hingga dahinya berkerut tanpa sadar. 

"Ya, semua aneh menurut gue. Entah itu asisten Mr. Travis, yang mau kita temuin, kematian Naoki, atau pun energi negatif itu, semua kelihatan aneh bagi gue." Illias nampak menemukan sebuah kejanggalan yang terasa sulit untuk ia katakan. Berbeda dengan Illias, Tutu memiliki pemikiran lain tentang hal itu. 

"Kalo menurut gua para asisten Mr. Travis ini punya sesuatu dalam tubuh mereka yang bisa memancing energi negatif yang mengaktifkan kutukan," ucap Tutur yang mengeluarkan pendapatnya. Sunyi kembali mengambil alih keadaan jalan pun terlihat sepi tanpa ada monster yang terlihat, mungkin karena hari masihlah terik mereka jadi sulit bergerak Tutu mengalihkan pandangan pada gedung-gedung yang hancur, kaca yang pecah berkeping-keping, juga beberapa mobil dan moto, yang terserak begitu saja di jalan, Ya Tuhan, dunia bener-bener udah hancur. Seruan batin menggema setelah melihat betapa hancurnya Mortey sekarang ini. 

Berbeda dengan Tutu, Illias sendiri kembali tenggelam dengan pikirannya sejujurnya, Illias pun menaruh rasa curiga yang mendalam sejak Naoki gugur dalam tugas. "Oh jangan lupa juga sama Sir. Travis yang menurut gue juga agak aneh, auranya misterius." Entah kenapa Tutur mengeluarkan segala hal yang terpikirkan tentangnya perihal Mr. Travis dan para asistennya yang aneh.

"Daripada lu mulai berkonspirasi dengan teori aneh lu, mending lu percepat jalan lu biar kita cepat sampai, perjalanan masih panjang dan gue gamau pulang menjelang malam nanti." Ingin rasanya Tutu mengumpat dengan kasar di depan wajah Illias setelah mendengar jawaban Illias yang terdengar acuh tak acuh dengan spekulasi yang dia sampaikan. "Tutu, ayo lebih cepat. Lu gamau ketemu monster pas nanti pulang dari sana, kan?" Sembari menggerutu, Tutu kembali mengikuti Illias dengan cepat seperti apa yang ketua divisi empat itu katakan. 

Sejujurnya Illias pun hampir memikirkan hal yang sama dengan apa yang Tutu pikirkan, tetapi dengan segara dia tepis mengingat semua spekulasi itu belum tentu benar adanya dan yang paling penting sekarang mereka harus menemui asisten Mr. Travis firasat Illias mengatakan bahwa mereka akan menemukan sedikit jawaban dari orang yang akan mereka temui nanti.




Beralih ke tempat pedesaan, rupanya desa tersebut tidak jauh dari keberadaan markas Locals. Pekerja divisi Suarga yang magang harus secara cepat pindah markas dan tentunya mengevakuasi para warga asli Besman tanpa ada korban nyawa. Sebab pedesaan sudah mengalami kebakaran total, rumah-rumah telah hancur dan tak layak huni akibat menghitam oleh api.

Dalam perjalanan menuju markas baru di Besman, beberapa pekerja divisi Suarga justru dikagetkan dengan Locals yang tak segan-segan menyerang secara mendadak. Dengan keadaan terdesak, Eren mencoba untuk melawan sebisa mungkin. Meski rasa kekecewaannya merengkuh amarahnya karena menerima fakta bahwa kekasihnya—Masayu— telah mengandung anak orang lain, Eren melawan pasukan Locals penuh bertubi-tubi. Ada kegilaan sekaligus secuil sedih dari kedua tangan kuatnya.

Lima hingga sepuluh orang berhasil ia lawan menggunakan molotov kebanggaannya. “Mati lo semua!” Serangan kali ini, ia luncurkan menggunakan kapak. Ternyata senjata itu bisa berguna juga di saat genting, sebab Locals memiliki senjata lebih kuno dari pasukan pekerja divisi Suarga sendiri.

Siapa sangka jika Eren ternyata mengalami salah sasaran, kapak itu mengarah pada kekasihnya. Masayu membulatkan mata, rasa sakit itu sudah mengalir pada tubuh sehingga dirinya tidak bisa bergerak sedikit pun.

Masayu jatuh, jiwanya sudah hilang dari raga. Eren tak bisa berkutik, dia menghampiri mayat Masayu dengan dada menggebu, berteriak keras hingga suara serak, “MASAYU!” Rasa sesal di dalam hati tercampur dengan rasa kecewa yang selama ini dirinya pendam.

Di tengah kepanikan, Eren merasa bahwa gerombolan Locals semakin banyak saja. Ia bisa-bisa mati sama seperti Masayu bila dirinya tak segera pergi dari sana. Maka, Eren memutuskan secara terpaksa untuk pergi dan meninggalkan Masayu sendirian yang tergeletak tak bernyawa. 

Hal sama rupanya terjadi pada Denara yang sedang melawan monster bersama Saumara dan Wintan. Tak jauh dari posisi Eren jua Masayu hendak pergi ke markas baru Suarga. Keadaan sekitar sungguh tidak lagi kondusif, kekacauan di mana-mana membuat mereka bertiga hilang fokus pada monster yang ada di hadapannya. Saat monster telah berhasil mereka hindari, mereka menghembuskan napas lega.

Namun, jangan dulu berbahagia karena serangan baru pun datang. Hanya selang beberapa menit, para Locals yang tidak terima dengan keberadaan mereka menyerbu. Akhirnya, Denara, Saumara, juga Wintan mengambil posisi untuk menyerang balik. Segala serangan telah mereka usahakan, satu per satu pasukan Locals mulai bertambah. Saumara yang yakin bahwa tiga lawan tujuh itu percuma, pada akhirnya angkat suara, "Mendingan kita lari aja, udah gak akan bener."

Wintan dan Denara yang mendengar itu langsung saling menatap lalu mengangguk. Dalam hitungan ketiga, mereka bertiga pun berlari secepat mungkin. Denaralah yang memimpin di depan. Berkat kakinya yang jenjang ia dapat berlari lebih cepat dari Wintan dan Saumara.

Di pertengahan hutan, tiba-tiba fokus Denara terganggu. Langkah kakinya yang melambat membuatnya berada di posisi paling belakang. Wintan yang tersadar bahwa Denara melambat pun melihat kebelakang, "Eh, Nara, kenapa?" Denara hanya menggelengkan kepala. Melihat responnya Wintan langsung kembali fokus melihat ke depan. Denara berusaha kembali untuk fokus, tetapi matanya malah tertarik dengan hiasan bunga yang tergantung pada pakaian Wintan. Terlihat bersinar dengan pantulan cahaya, pikirnya. Mungkin, dalam hitungan detik hiasan itu akan terjatuh karena Wintan yang berlari kencang membuatnya terguncang. Ya, perkiraan Denara memang benar, hiasan bunga tersebut lepas dari pakaian Wintan, lalu terjatuh di atas tanah.

Tanpa sadar, langkahnya pun berhenti. Kemudian lengannya terulur untuk mengambil hiasan tersebut. Baru saja ia menggapai, tiba-tiba sebuah benda tajam tertancap tepat pada punggung Denara hingga menembus dadanya. Wintan dan Saumara berhenti saat menyadari Denara tidak ada dibelakang. Mereka yang kompak berbalik kebelakang, spontan berteriak cukup keras. Denara sudah tergeletak di atas tanah, tak bernyawa dengan darah hangat yang mengalir. Mereka benar-benar terkejut, para Locals masih saja berusaha mengejar mereka. Akhirnya dengan berat hati, mereka kembali berlari mencari tempat bersembunyi dan meninggalkan Denara yang tergeletak mengenaskan.





BERSAMBUNG.

Komentar

  1. ❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer