CHAPTER 03,1: BERKAT TUHAN ATAU KUTUKAN?
MENURUT WINTAN, tidak ada yang lebih menyebalkan selain seseorang yang sulit dihubungi ketika dibutuhkan. Bagaimana tidak, gadis itu sudah hampir muak berulang kali mendengar suara operator menjawab panggilan. Bersamaan dengan menunggu panggilan yang tak pernah terhubung pada insan di seberang sana, bola mata Wintan berusaha fokus membaca setiap arah yang terdapat pada kertas penunjuk jalan. Berbelok ke kanan, jalan terus, kepalanya hampir pecah mencari titik lokasi yang dituju tak kunjung temu.
Pintu kayu berwarna coklat kemudian mengalihkan atensi Wintan, segera ia mengajak Selena yang pergi bersamanya untuk mendatangi bangunan tempat pintu berdiri. Selena mengetuk kayu tebal itu dengan tidak sabaran, berharap seseorang di dalam sana segera membukakan jalan bagi mereka untuk berbincang setelah pencarian panjang. "Kak Denara? Kenapa gak angkat teleponku?" Seru Wintan ketika sang penghuni bangunan akhirnya mengizinkan cahaya masuk ke dalam ruangan melalui celah pintu yang dibuka lebar.
Denara, yang disebut namanya, mengernyitkan dahi mengingat apakah dirinya pernah menerima panggilan masuk dari junior di hadapannya. Perempuan itu kemudian mempersilakan dua rekan satu divisi menapakkan kaki ke dalam ruang pribadi. "Oh. Kan nomor tidak dikenal," jawab Denara setelah berhasil mengingat alasan mengapa ia tidak mengangkat telepon Wintan. Sontak saja hal tersebut mendapat protes dari perempuan yang lebih muda, "Harusnya diangkat! Magang bakal dimulai sebentar lagi yang benar-benar jalanin misi. Kita gak boleh telat sedikit pun." Mendengar itu, Denara mencibir di dalam hati. Ayolah, haruskah ia sampai disalahkan hanya karena hal itu?
"Maaf, maaf. Gue belum melihat jadwal, oke? Jadi, gue gak tau kalau bakal ada pengumuman baru." Selena yang sedari tadi diam akhirnya turut membuka suara karena kesal melihat sikap Denara yang tidak merasa bersalah sedikit pun, "Alasan tidak diterima." Menyadari Denara akan menyanggah ucapannya, Selena kembali melanjutkan, "Omong-omong, kami ke sini untuk memberitahu sesuatu. Dan kuharap, kamu siap denger ini."
Tidak lagi berniat berdebat, Denara menelan kembali protes yang sebelumnya ingin ia suarakan. "Oke, oke. Karena gue gak mau divisi empat ketinggalan jauh, jadi, apa rencananya?" Selena mengambil posisi duduk di kursi kerja Denara. Baling-baling kipas memutari ruangan berdinding kayu. Pajangan persegi pada beberapa bagian dinding terlihat miring. Lemari kecil dengan loker terbuka nampak jarang disentuh dan dilapisi debu. Wintan turut berjalan ke arah tempat tidur milik tuan rumah sebelum duduk manis dan menjawab pertanyaannya, "Kita bertiga bakalan melaksanakan magang lebih dulu daripada anggota lain. Tapi, kita gak bisa sendirian. Masih ada anggota dari divisi tiga dan lima juga."
Pemilik nama lengkap Selena Cempaka mengangguk setuju, sementara Denara masih diam mendengarkan. "Kita harus cepet karena jika menunggu satu-persatu, waktu dua bulan gak akan cukup buat membekali diri sendiri dengan pengalaman," ujar Selena menambahi jawaban Wintan. "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau bakal terlampaui, Kak. Sembari melaksanakan magang, kita juga akan mencari petunjuk lainnya," yang paling muda mengakhiri penjelasannya.
"Gue belum setuju?" Denara akhirnya kembali membuka suara setelah melihat kedua tamunya begitu yakin dengan rencana mereka yang kurang meyakinkan. "Aku gak butuh persetujuanmu, Denara. Kalau kamu menolak, aku bakar habis kamarmu nanti," entah bergurau atau tidak, yang jelas raut wajah Selena tidak tampak seperti orang yang ingin dibantah kali ini. "Serem banget? Iya deh, iya. Gue ikut. Kapan tepatnya kita berangkat?" Pada akhirnya Denara hanya bisa pasrah, toh pendapatnya tidak penting untuk keputusan yang telah ditetapkan.
"Besok," terima kasih Dewi Fortuna, Denara hampir saja tersedak air yang tengah ia tenggak. Beruntung perempuan itu masih dapat mengontrol pergerakan tangannya. Sambil menggelengkan kepala, ia menaruh kembali gelas yang telah kosong ke atas meja. "Aduh ... hidup gue bakal berakhir, nih." Denara terkekeh di akhir kalimatnya, lantas saja hal tersebut mendapat respon galak dari Selena, "Serius! Kita bahkan belum mulai," intonasi suara yang sedikit meninggi itu menyulut sedikit emosi Denara, perlu diingatkan perempuan itu tidak suka disalahkan. "Gue udah serius, Selena!"
Merasakan sinyal akan terjadi pertikaian di antara kedua seniornya, Wintan segera melerai dengan turut angkat suara. Ia memotong ucapan Selena dan Denara yang sudah siap beradu argumen, "Kalau gitu, ayo diskusiin gimana izinnya ke kapten," ajakan Wintan menjadi akhir dari segala perdebatan. Ketiganya mulai fokus menyusun alasan untuk diberikan kepada ketua divisi sehingga izin dapat segara mereka kantongi.
—
Saumara menyilangkan kakinya. Tangan si nona menekan gambar rumah pada peta, kemudian menandai tempat itu dengan coretan kecil. Catatan lain diberi dengan menulis pada buku milik Ruhi.
Saumara mengutatkan pandangannya pada peta yang terbentang rapi di mejanya. Ia lalu melirik pada tetiap anggota divisi 3. "Paling gak, kita butuh mempersiapkan keperluan buat seminggu, kan?" Ia mengernyit dahi, mencoba berpikir keras tentang rencana ke depannya.
Saraiah bersedekap dada lalu mengangguk. "Bener. Karena kita akan ke Besman lalu ke kota lainnya. Aku gak mau kalau sampai ada barang penting yang ketinggalan, termasuk hal-hal berbau magang." Si nona tinggi mewanti-wanti guna hindari hal tak diinginkan, sedangkan yang lain hanya mengangguk setuju sambil membungkam mulut.
"Jangan lupa buat bawa jurnal kegiatan magang. Nanti diisi setelah pulang dari kota sana, soalnya sebagai laporan kita nanti ke komandan juga," tukas Ruhi tegas mengingat komandan mereka akan absen di misi kali ini.
Saumara kembali membuka suara, melempar pertanyaan yang menjadi momok bagi seluruh anggota kala itu, "Dia beneran gak ikut, ya?" Ruhi menggelengkan kepalanya tanda keputusan telah bulat.
Saraiah mengulum bibir lalu berujar memberi dugaan, "Mungkin sibuk banget?" Saumara kemudian menanggapinha dengan helaan napas dan anggukan kepala.
Saumara kembali berkutat pada catatan-catatan yang terhampar di hadapannya. "Selanjutnya itu ada peraturan dan larangan yang harus dipelajari sebelum terjun ke kegiatan magang. Kalau melanggar kita akan didenda. Lewat tiga kali kita akan diberhentikan dari magang." Saumara mengetuk-ngetuk penanya pada poin terakhir yang ia tekankan.
"Mau deh melanggar biar bisa pulang," ujar Saraiah dengan nada gurauan. Namun, Ruhi sepertinya sedikit jengkel dengan perkataan itu.
Ruhi melirik tajam pada Saraiah lalu memiringkan tubuhnya menghadap sang gadis, "You better not ruin my career, Sara." Sementara yang ditatap hanya terkekeh pelan lalu mengangguk.
"Bercanda ajaaaaa," ujar Saraiah sembari mengulum senyum lalu terkekeh.
“Kalian ikut?”
Ruhi memusatkan kembali topik yang dibahas. Sinar matahari yang memasuki ruangan serba beton tersebut, membelah presensi lain yang hadir—Sabita, Masayu, Tutu juga Sangkara dari divisi lima—bermaksud melakukan patroli gabungan atas utusan ketua divisi mereka, Latief.
“Iya, Kak,” jawab Sabita. “Divisi lima bakal ikut. Ada aku, Tutu, dan Kak Masayu yang bakal jadi perwakilan.”
“Bagus! Udah ada rencana?” giliran Saumara yang bertanya
“Gue takut kalau ternyata belum ada,” Masayu menjawab dengan getir. Mereka langsung menuju tempat ketika Latief memerintahkannya. Tak ada rencana yang terlintas sepanjang jalan mereka kesini, pun tidak mungkin untuk merencanakan dengan waktu sesempit itu.
Suasana tegang seketika.
“Sangkara ikut?” celetuk Saraiah membelah kesunyian.
“Nope.” Sangkara menggelengkan kepala. “Gue dapat bagian suruh jaga asrama, Oris juga. Katanya Illias ada sesuatu yang gak beres. Banyak energi negatif disini.”
“Serius? Dimana tepatnya?” mata Tutur mebelalak setelah mendengar pernyataan Sangkara.
“Ya … di sekitar gedung Suarga?” Sangkara tersenyum kecut, lalu memalingkan pandangannya. “Bukan di luar aja, tapi di dalam juga” suaranya mengecil, pertanda buruk.
Di sekitar Gedung Suarga. Seisi ruangan serempak berhenti bernafas. Itu berarti ada disekeliling mereka juga. Walau hari ini terik, suasana mencekam menyelimuti ruangan ini. Beberapa dari mereka was-was, mulai resah, padahal pelatihan cukup panjang yang telah mereka emban seharusnya sangat berguna pada saat-saat seperti ini. Inilah kenyataan yang harus mereka hadapi. Menguatkan hati dan pikiran serta raga yang waras serta merta menjadi kewajiban. Hasilnya akan nol jika mereka terbawa arus energi negatif.
“Kutukan udah menyebar berarti, kita harus hati-hati biar gak ada yang sampai terluka.” Tutu ketara sekali khawatir. Nada bicaranya lebih lemah dari sebelumnya, air mukanya juga memelas.
“Kalau gitu, perketat keamanan seperti yang diminta Latief. Sekalian kita harus bilang anggota lain supaya gak membolos untuk patroli,” Masayu menambahkan. Dirinya mengobarkan semangat ketika yang lain sudah pucat pasi.
Mereka yang hadir di ruangan mengangguk mantap, sedikit-sedikit tersulut kobaran api semangat. “Bener banget, takutnya bakalan ada hal mengancam atau malah bahaya di sekitar,” Saraiah turut setuju.
Di samping itu, Sabita seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rai sedang berada pada masa persidangan, tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Entah hukuman apa yang harus diganjar akan kesalahan yang Rai perbuat. Sabita khawatir, hanya Rai yang Sabita punya di sini.
“Sabita, is everything alright?” Sangkara menangkap sikap Sabita yang murung. Entah sudah berapa lama Sabita melamun.
“Gapapa, kok.” Sabita menegakkan badan, laga bicaranya sedikit kikuk. “Just kinda worried about my brother.”
“Oh, iya, dia lagi disidang, ya?”
“Sidang kenapa?”
Ruhi bertanya serta-merta tak mengetahui apa yang terjadi pada Rai, pun tidak ada yang memberi tahunya soal itu. Dirinya juga disibukkan oleh diskusi akan misi yang ditugaskan pimpinan.
Pagi-pagi sekali, Rai sudah dipanggil untuk memasuki ruang sidang. Tidak ada yang diberi tahu memang, namun desas-desus itu sudah sampai di telinga—hampir—seluruh anggota. Kejadian yang menewaskan Naoki di museum hanya Rai yang menyaksikan, sebab itulah Rai ada di dalam ruang sidang. Berbagai spekulasi meluncur entah dari mulut siapa, bahwa Rai melakukan kesalahan berat yang dapat membuatnya didepak dari perusahaan. Spekulasi yang salah besar.
Di sebelah Ruhi, Masayu mengerutkan keningnya, seharusnya ia tahu apa yang terjadi pada rekan satu divisinya. “Lah, lo gatau? Bukannya lo wakil divisi tiga?” Tatapan Ruhi bersitegang dengan Masayu.
Perasaannya sedikit tersinggung, kursi yang diduduki mengeluarkan suara mendecit. Ruhi bisa saja langsung mendorong Masayu, memulai pertengkaran ditengah melaksanakan tugas jika Saumara tidak langsung menengahi. “Gak semua hal harus Ruhi tau. Dia juga punya kesibukan lain.”
“Udah jangan berantem,” Sabita menginterupsi, tangannya turut direntangkan kearah mereka berdua. “Aku juga lagi berusaha berpikir baik-baik aja kalau Kak Rai gak kenapa-kenapa.”
“Dia gak akan kenapa-napa, Sabita,” ujaran Sangkara menyalurkan perasaan tenang pada Sabita. “Mungkin cuma diberhentikan kerja sementara aja. Gak sampai dipecat, kok.” Pembawaan Sangkara lembut, Sabita bisa sedikit percaya akan persuasi yang diberikan.
“Aku harap gitu, Kak,” Sabita berujar mantap.
Situasi mulai membaik, Saraiah berinisiatif untuk kembali berdiskusi perihal rencana awal. “Yaudah. Berarti nanti kita sampai di Basmen harus istirahat dulu, ‘kan? Gak langsung kerja?”
“Iya, Saraiah,” Tutu menjawab, membuat senyum paksa. “Nanti bakalan membahas dasar-dasar kutukan dan sistem magang antar divisi.”
“Kayaknya magang kita lebih bahaya, ya,” gerutu Sangkara.
“Semoga kita betulan lancar waktu operasi,” kata Sabita penuh harap.
—
Kabut menyelimuti dedaunan di luar, menyambut sang fajar. Binar mentari berhasil lolos lewat celah kecil pada langit-langit, menerobos masuk ke area perihatan; tempat yang sama di mana para anggota divisi tiga melepas lelah. Mari lupakan sejenak soal logo Kota Karava yang mencurigakan, sebab mereka tengah rasakan letih selepas magang di Besman atas suruhan pemerintah, membuat beberapa anggota memilih tetap diam dan menikmati eloknya kesunyian di antara mereka. Untuk beberapa saat, hanya kicauan burung saling bersahutan yang terdengar.
Sepi tak bersuara, sedangkan kepala Harun menyerukan resah. Belum lama dari waktu kepergian perempuan tak berdaya nan malang, Naoki, dirinya harus kembali menjalankan tugas. Datang entah dari mana, tiba-tiba seonggok pertanyaan muncul. Lidahnya kaku, suaranya bergetar, melebur bersama rasa cemas. Ia bulatkan tekadnya dan beranikan diri memecah aliran udara. “Pernah tidak kalian berpikir dari mana asal-muasal kutukan itu?”
Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut anggota termuda, Harun, menarik perhatian. Mengundang rasa penasaran dan pikiran yang ikut bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya memulai ini semua? Mengapa kegilaan ini tiba-tiba terjadi?
Seolah mengharapkan satu orang untuk menjawab, tiap pasang mata dalam ruangan itu kini tertuju pada El-Khaif. Hening sesaat hingga akhirnya persoalan barusan ditanggapi oleh komandan mereka.
“Kutukan itu seperti energi negatif yang mengotori jiwa manusia. Teori tentang asal kutukannya memiliki banyak versi. Ada beberapa orang bilang berasal dari manusia itu sendiri …” dia mengambil napas sejenak, “… atau juga kutukan tersebut memang hidup berdampingan dengan kita seperti makhluk-makhluk hidup lain,” sambung ketua divisi tiga itu sembari meraih segelas kopi hangat dari meja.
“Tergantung pada kepercayaan masing-masing, mungkin?” Timpal Saumara.
Sebagian mengernyitkan dahi sembari mencerna apa yang baru didengar. Rumit, tetapi masuk akal.
El-Khaif menyeruput habis sisa kopi di gelas miliknya. “Kutukan itu dibagi menjadi lima berdasarkan tingkat bahaya. Kutukan biasa, tingkat rendah, predator, tingkat tinggi, dan kutukan berakal.”
Saraiah berdiri dari kursi besi yang ia duduki. Rasa ingin tahu di dalam diri perempuan itu memuncak hebat meski baru mendengar sejumput penjelasan. “Jadi, yang di museum itu termasuk kutukan apa?”
“Tingkatan terendah. Dan sudah sangat mengerikan,” jawab Ruhi. Ia pun tidak tahu banyak, tetapi dirinya beruntung, masih gemar membaca di tengah-tengah kehancuran dunia. Jadi, jika hanya soal tingkatan sebuah kutukan, seorang Ruhi Btari pun tahu.
Setuju dengan jawaban wakilnya, El-Khaif mengangguk. “Benar. Kalian tahu, 'kan? Kutukan itu memang tidak sempurna bentuknya, banyak sekali kekurangan. Tapi, di balik kekurangan itu, ada kelebihan yang melampaui kita sebagai umat manusia.”
“Contohnya ketika kemampuan kita berada di fase kelanjutan, tetapi tipe pengguna kami juga akan menjadi sebuah boomerang.” Kini semua mengalihkan fokus pada Raisada. Kedua tangan jenjang kepunyaan laki-laki itu bertumpu pada meja kayu dengan bau permaken yang menyengat. Sorotan matanya menjadi tajam. Ada sececah cemas dalam suara laki-laki itu.
Anggota divisi tiga bergeming, menyadari bahwa perkataan Raisada besar kemungkinannya untuk terjadi. Rasa takut menyebar ke alam bawah sadar, memakan kewarasan yang tersisa.
Mata Saumara menyusuri ruangan, memastikan ketegangan sudah mereda. “Iya, Rai. Mortey lebih banyak mempunyai seorang Blesser daripada Curser. Namun, Suarga juga memungkinkan bila ingin membangunkan Curser.”
“Kenapa bisa gitu? Curser di kita tidak banyak, tinggal tolak saja,” tanya Eren penasaran.
Pertanyaan barusan berhasil membuat buku harian Ruhi yang cukup tebal mendarat langsung ke kepala Eren. “Tidak semudah itu, Bodoh! Akademi kita bahkan lebih banyak yang Attacker juga, mereka adalah bibit-bibit seorang Curser.”
Laki-laki bermarga Siregar itu hanya bisa meringis sambil mengusap pucuk kepalanya. Enggan protes, takut. Jikalau ia protes bukan hanya buku yang berakhir di kepalanya, melainkan benda lain dengan tingkat kesakitan dua kali lipat dari buku usang milik Ruhi.
Makin dipikirkan, persoalan ini seperti tidak ada ujungnya. Satu tanda tanya memunculkan pertanyaan bercabang dan jawaban tidak berujung. Harun yang membuka pangkal kegusaran ini masih juga belum puas.
Harun kembali bertanya, mengharapkan jawaban yang bisa mengakhiri diskusi pagi itu, “Lalu apa rencananya supaya kita dapat mencegah Curser kembali merajalela seperti tragedi tahun lalu?”
Bayang-bayang mengenai kejadian tahun lalu berlalu-lalang. Adakah jalan untuk menghentikan sejarah yang sama terulang kembali?
“Tentunya, menjauhkan para Attacker dan Cruser dari penyebar energi negatif itu. Yang jelas, kita harus mencari dulu siapa pembawa kutukannya.” Raisada nampak tahu banyak, menutup semua pertanyaan dengan penjelasan tegas.
—
Sedang sisi lain, dua karyawan cantik Perusahaan Suarga terus melangkah menelusuri lingkungan sekitar. Kini Sabita dan Selena sedang ditugaskan oleh Sir Travis untuk mencari jejak mengenai pasukan Lotra. Namun, sudah cukup lama mereka berjalan, hasil dari usaha keduanya belum terlihat juga.
Lotra adalah sebuah organisasi besar tetapi bersifat rahasia yang memiliki tujuan untuk menjaga perdamaian masyarakat serta pembuatan vaksin. Suarga tentunya perlu menemui salah satu dokter spesialis supaya tak dapat berpihak ke Lotra lagi, sebab pasukan ini hanya akan membunuh mayat tak berdosa demi eksperimen gagal. Maka, dengan kebiasaan suka berpindah-pindah markas, Suarga harus mencari keberadaan eksistensi mereka.
"Ke mana lagi kita harus mencarinya? Sial, aku merasa semua ini akan sia-sia." Selena yang pertama kali mengeluh, sedangkan Sabita tetap fokus dengan jalanan yang tidak bersahabat. Banyak bebatuan yang membuat mereka harus berhati-hati.
"Sabar sedikit. Ini bahkan belum sampai di perbatasan Kota Besman."
"Bagaimana jika kita tidak berhasil menemukannya?" Tanya Selena lagi.
"Kita bisa asal kau tidak mengeluh," jawab Sabita dengan nada acuh.
Selena mendecak sebal, tetapi menuruti apa yang dikatakan oleh Sabita. Kedua perempuan itu sudah mengantongi sebuah senjata, takut jika saja ada sesuatu yang akan menyerang mereka.
Dua jam berlalu, mereka hampir sampai di perbatasan. Akan tetapi, tiba-tiba Sabita merasa ada sesuatu yang aneh. Ia menahan pergelangan Selena. Tak lama kemudian banyak burung hitam berterbangan menuju ke satu arah, tentu saja Sabita memperhatikan itu semua.
"Sial, apa lagi ini?!" Sabita memicingkan matanya, berusaha melihat dengan jelas apa yang ada di kejauhan sana. Selena pun melakukan hal yang sama, hanya saja Selena memakai teropong.
Beberapa detik kemudian mereka terdiam karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Selena bahkan membanting teropong miliknya. Sabita pun terlihat sedikit bergetar ketakutan. "Aku ... gak salah lihat, 'kan?"
"Tidak, sepertinya memang benar. Di seberang sana ... sudah ramai dikepung oleh warga Locals. Kita harus bagaimana ini?!" Tanya Selena yang benar-benar merasa panik. Bahkan, mereka melupakan tujuan awal untuk mencari dan menemui jejak Lotra.
Bagaimana mereka bisa diam dan melanjutkan tugas yang diberikan jika ada suatu hal yang lebih membahayakan. Keduanya tidak bisa diam saja ketika menyadari dan melihat bahwa hutan di seberang kota sudah dikepung oleh penduduk Locals.
Para Locals adalah penduduk desa asli Besman yang sangat menolak perkembangan teknologi juga adanya kemajuan zaman. Kelompok etnis khusus di mana mereka sangat memanfaatkan kehancuran dunia sebagai kesempatan agar dapat menormalisasikan kanibalisme sekaligus mempersuasif masyarakat supaya tidak lagi memanfaatkan listrik atau teknologi sejenisnya.
Sabita bergegas mengeluarkan walkie-talkie untuk menghubungi salah satu temannya beriringan dengan Selena yang langsung menyiapkan senjata api miliknya karena takut jika sang monster berada di sekitar keduanya.
Suara geraman Sabita terdengar saat tak ada satupun teman-temannya yang menjawab panggilannya. "Jika tidak ada yang menjawab, aku tembak kalian satu persatu!"
Krsk ... krsk ... krsk ...
"Dengan Eren di sini."
'Ah, akhirnya!'
"Eren, Sabita dan Selena here. Mau lapor, kalau hutan di seberang kota sudah terkepung warga Locals!"
BERSAMBUNG.
KEREEEENNNNNN
BalasHapus