CHAPTER 02: ALAM SEMESTAMU ADALAH LEDAKAN.
DALAM lenggangnya ruang aula kantor Suarga, terlihat Jannah dan Saumara tengah berbincang santai di dalamnya, entah apa yang tengah dibicarakan. Namun, di tengah asyiknya perbincangan itu, Soerja tiba-tiba saja datang hampiri mereka dengan raut rupa yang sedikit serius. Melirikkan matanya terfokus pada Jannah, seolah beri wanita itu isyarat bahwa mereka akan berbincang hanya berdua. Maka, ketika dirasa akan ada obrolan yang begitu penting, Saumara akhirnya memutuskan untuk pergi mengundurkan diri, "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya," ujarnya, lantas melenggang keluar dari aula.
Kini, ruangan itu hanya sisakan Jannah dan Soerja di dalamnya. Wanita itu melirik riang ke arah Soerja dan munculkan sedikit senyuman dalam raut wajahnya, "Ayo magang sekarang, Soe. Bentar lagi Sir Travis bakalan datang buat cek apa kita sudah berangkat atau belum," ajak Jannah padanya. Soerja hanya mengangkat sekejap bahunya lantas menjawab, "Untuk itu, kita harus nemuin dulu anggota lain, salah satunya ada di laboratorium ini. Kalau lu maupun gua gak bisa bujuknya, kita gak bakal bisa lulus dan semuanya akan bubar."
Mendengar hal itu, Jannah hanya helakan napas, "Ya, mungkin bakalan jadi pengangguran kali ini," celetuknya asal. Kemudian, tak lama terdengar lelaki di sebelahnya berdecak pelan, "Alah, ngerepotin banget. Padahal gua udah nungguin kegiatan ini dari lama," protesnya sambil memalingkan wajah. Jannah hanya terkekeh kecil, "Makanya jangan hilang fokus," tegurnya dengan intonasi yang santai.
Di ruangan serba putih itu, Jannah dan Soerja tengah berdiskusi mengenai tugas mereka mempertemukan asisten dengan anggota. Mereka dilanda dilema setelah bingung mengajak anggota divisi mana. "Kira-kira asistennya Sir Travis itu kayak apa? Gua gak sabar buat lihat!" Perkataan yang sarat akan antusiasme itu membuat Jannah teringat, "Katanya dia dari Asia."
Alis Soerja tampak naik setelah mendengar informasi dari Jannah, "Oh, pasti orang Jepang," tebak Soerja tanpa ragu-ragu. Jannah langsung memberi anggukan, pertanda bahwa tebakan Soerja tepat sasaran. "Bener. Dia magang karena di sana lagi krisis ekonomi, katanya."
Selama berjalan menuju ke luar, langkah kaki mereka yang saling bersahutan terdengar cukup jelas di aula yang kosong dari sudut ini ke sudut itu. Soerja menatap lurus ke depan, membiarkan bayang-bayang imajinasi mengambil alih pikirannya terkait bagaimana sosok asli wanita yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka saat ini. Sebelumnya, Jannah tidak ingin percaya karena Soerja terlihat meragukan untuk menunjuk anggota divisi empat saja, karena menurut Jannah masih ada anggota lain yang jelas lebih jago dalam berbahasa Jepang.
Namun, identitas sang asisten yang merupakan orang Jepang membuat sebuah pemikiran perihal rekomendasi anggota seketika terbesit di benak Soerja, "Biar Harun sama Eren aja kalau gitu yang nemuin," usul Soerja yakin dengan keputusannya, "mereka dapat nilai 90 di mata pelajaran Bahasa Jepang, katanya." Ah, kali ini Jannah sangat setuju dengan Soerja tanpa bantahan. "Boleh aja. Siapa tau mereka bisa temenan sama Naoki."
—
Profesor yang menjaga laboratorium akhirnya datang bersama anggota magang lain. Ada desas-desus ia dipecat karena melakukan kesalahan dulu sewaktu magang, sehingga ia dipindahtugaskan menjadi asisten profesor saja.
Travis datang bersama wajahnya yang terlihat marah, walaupun dia hanya berdehem hal itu mampu membuat seluruh anggota divisi bergidik ngeri, takut-takut mendapat respon tak diinginkan. "Selamat malam semuanya," ucapnya memulai percakapan. "Saya perwakilan dari Akademi Suarga selaku pengawas divisi yang baru. Ada banyak hal yang akan saya katakan pada kalian. Sebelum itu, tunggu." pandangannya beralih ke arah perempuan disampingnya. "Naoki, kita perlukan kursi."
Bola mata berwarna cokelat gelap milik Naoki menatap penasaran ke sepenjuru ruangan. Ia sudah membawakan lebih dari sepuluh kursi, ternyata masih saja kurang untuk mempersilahkan profesornya duduk. "Terima kasih kepada Naoki." Di tempatnya sang empu mengangguk sopan.
"Dengan adanya Sir Travis di sini, kalian bisa menanyakan apapun kepada profesor mengenai tugas kalian selama magang untuk Suarga dan rakyat Mortey. Besar harap, kalian pun dapat mengoordinasi pelaksanaan program kegiatan kita." Naoki selaku asisten Sir Travis menyambut mereka yang ada disana dengan hangat. Rasa nyaman t'lah hadir di tengah-tengah mereka.
"Naoki benar. Semoga kalian dapat bekerja sama secara baik dan cekatan." Tak luput akan harapan, Sir Travis selalu berdoa demi kebaikan. "Kalau begitu, silahkan berkenalan dengan Naoki dulu," sambungnya.
"Baik, Sir Travis. Perkenalkan, saya Naoki." Perempuan dengan tinggi sejajar itu melambaikan tangan kecil.
"Gak usah terlalu formal Naoki, santai aja kalau sama kita-kita," celetuk ketua divisi tiga, El-Khaif, mencoba beri kesan agar tak terlalu kaku.
"Bener. Lagian kami bukan tipikal anak nakal yang hobi membolos kalau disuruh kerja dan latihan." Kalam menyahut tak kalah santai, mengetahui jika ia memang rajin dalam melakukan sesuatu.
"Naoki bakalan percaya sama itu," timpal Sir Travis diikuti kekehan kecil dari anggota yang lain.
Seseorang maju mendekat ke arah Naoki, "Watashi wa Eren desu! Gue fasih Bahasa Jepang lho, Oki." Rasa bangga mendominasi rupa Eren saat ini. "Apa lu sering nonton anime juga?" Sampai pertanyaan random muncul dari mulutnya.
"Ya ... gak terlalu," jawabnya sedikit canggung. "Salam kenal, Eren."
"Naoki pikir Eren sudah dikeluarkan dari sini oleh petinggi Suarga karena bencana molotov itu." Sir Travis dengan sengaja mengingatkan kembali kejadian bodoh yang dilakukan oleh Eren tempo lalu, "Masih terdaftar rupanya," katanya meledek.
"Gue akan merasa terhormat kalau lu gak mengingatkan orang-orang soal itu," balas Eren menahan malu.
"Kalau dikeluarkan, udah pasti gue dapet kartu merah. Itupun gak bisa menjadi alasan buat pergi dari akademi lagian." Terang Eren membuat perempuan itu mengangguk. "Aku tahu. Lagian, kemampuanmu cukup hebat. Jangan disia-siakan selama di sini." Jelas Naoki yang mampu membuat Eren tersenyum kaku di tempatnya.
Kini, netra indahnya melirik kearah seorang pemuda yang juga tengah menatap Naoki dengan wajah datarnya. "Harun." Naoki menatap Harun dalam. "Apa kamu tidak ingin melanjutkan sekolah? Lalu mengapa ikuti kegiatan magang?"
Pemuda yang bernama Harun itu menjawab dengan santai. "Maaf, aku menolak sekolah," jawab Harun. Seketika seluruh pasang mata mengarah padanya. Tidak ingin ada kesalahpahaman, Harun kembali melanjutkan perkataannya. "Aku juga tidak menyangka bisa lolos ke divisi tiga. Tapi aku benar-benar tidak bisa melanjutkannya, aku tetap akan menjadi diriku sendiri tanpa ada hubungan dengan akademi."
Naoki menatap Harun dengan malas, "Aku tidak puas dengan jawabanmu. Tapi tidak masalah."
Di tengah perdebatan kecil itu, Kalam yang sedari tadi diam pun mulai menuturkan candaan mana membuat Naoki menatap tak suka.
"Saori," panggil Kalam dengan senyuman yang menjengkelkan bagi Naoki, kemudian ia berseru keras. "Gua pikir lo lebih cocok jadi pelukis daripada berburu monster!" Kalam pernah mendengar jika Naoki berbakat dalam bidang seni menggambar.
"Aku Naoki, siapa pula Saori?!" Protes Naoki, perempuan cantik itu sedikit kesal sekarang. Jika adegan ini masuk ke dalam kartun, mungkin saja akan muncul asap dari kedua kuping Naoki.
Kalam yang mendengar protes Naoki hanya terkekeh, "Oh, iya, itu maksud gua."
Naoki mendengus sebal lalu memalingkan wajahnya. "Terima kasih dukungannya Kalam. Tapi kamu gak akan bisa membujuk aku."
Begitu perdebatan selesai, El-Khaif mengangkat tangannya menginterupsi. "Gua mau nanya." Semua atensi kini mengarah pada ketua divisi tiga.
"Gimana soal keadaan museum? Gua denger, kemarin Naoki ke sana sama Humaira," tanya El-Khaif, mata itu menatap Humaira yang berada tak jauh dari pandangannya.
Humaira mengerjap sesaat sebelum kedua sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan kurva selaras dengan wajah cantiknya, "Aku bagian dari pengunjung Kak, sebenernya. Dan waktu aku ke sana sama Kak Naoki, ternyata kami melewati jam kunjungan," Humaira berhenti sejenak hanya untuk menarik napas lalu melanjutkan ucapannya, "kami kebetulan ke sana buat ambil peralatan yang tertinggal. Tapi, ada hal aneh. Penjaga mungkin akhir-akhir ini cuti."
Said mengernyit heran, "Cuti? Kamu yakin? Dari mana kamu tau kalo mereka cuti?" Said menodong Humaira dengan berbagai pertanyaan. Ia menginginkan penjelasan.
Humaira yang diberi banyak pertanyaan sekaligus menautkan alisnya tak suka, gadis itu sedikit merasa kesal. Namun, ia kembali menjawab dengan baik, "Penjaga museumnya gak pernah lagi menegur siapa yang datang ke sana, kak. Gak peduli siapa. Bahkan, kalau ada penyusup bakalan biasa aja museum itu sekarang."
"Strange," gumam Said. Pemuda itu kini mengetuk dagunya, tampak sedang berpikir. "Kita harus rajin untuk adakan patroli kalau keadaannya begini." Dia terdiam sejenak kemudian lanjutkan perkataan. "If we ain't do that, museum dirampok bukan kabar yang di luar ekspektasi lagi,” ucap Said yang mendapat anggukan dari semua orang termasuk Professor yang tengah menikmati keributan kecil sedari tadi.
"Benar sekali, Said. Oleh karena itu, Suarga harus memperketat keamanan,” jelas Sir Travis. Ia melirik sekilas ke arah jam dinding, lalu mengangguk singkat. Setelahnya, ia berdiri dari duduknya kemudian menatap Naoki dengan wajah dinginnya. "Naoki, cukup sampai hari ini saja. Saya akan mengantarmu kembali ke asrama."
Mendengar itu, Naoki langsung ikut berdiri lalu membungkukkan badannya, "Baik, Sir Travis." Bola mata itu menatap satu-persatu orang yang ada dalam ruangan kemudian mengucapkan salam perpisahan, "Jumpa lagi teman-teman, hubungi saja aku jika kalian memerlukan panduan."
El-Khaif pun ikut berdiri yang diikuti oleh seluruh anggota divisi kemudian mengangguk singkat. "Ya, okelah. Sisanya biar gua yang urus." Ia kembali duduk, kini ia menatap teman-temannya itu yang juga merangkap sebagai rekan kerjanya. "Mungkin ketika divisi lain sudah seminggu laksanain magang, baru kita harus menyusul mereka."
"Mereka? Siapa yang dimaksud?" Jannah lontarkan pertanyaan dengan raut wajah bingung.
Kalam melihat perempuan cantik itu kebingungan lantas memberikan jawaban. "Pasukan musuhlah, apa lagi?" Ia melipat kedua tangannya di depan dada lalu menjentikkan jarinya. "Lotra semakin jauh buat kita susul sampai bisa ambil obatnya dari mereka," Kalam menjeda ucapannya, wajahnya dibuat semakin serius kemudian melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti. "Di sana ada nomor yang bakalan menuju ke destinasi selanjutnya, mungkin kita bisa ke titik lokasi itu!"
"Dan apa yang didapat kalau ikut ke titik lokasi itu?" tanya Soerja.
Mendengar itu, Harun segera menjelaskan tentang keuntungan yang akan mereka dapat. "Kita bakal dapat banyak barang pemasukan dan aneka ragam amunisi. Siapa yang tidak senang buat dapat itu, 'kan?"
Eren mengangguk cepat, "Selain itu, kita bisa menemukan kejanggalan!" ujar Eren dengan antusias.
"Kejanggalan seperti apa, Ren?" sahut Said, sepertinya ia belum sepenuhnya mengerti.
Eren menatap Said dengan bingung namun tetap menjelaskan dengan detail agar pemuda itu tak bertanya lagi, "Energi negatif yang selama ini bikin kita dalam bahaya. Entah itu di museum atau dari sisi belakang gedung Suarga. Apa kalian gak ngerasa?" Tanya Eren pada yang lain.
"Bukannya gak ada, ya?" Ucap Humaira dengan polosnya, itu sukses membuat Eren geram.
"Ah, masa kalian gak tau! Main terus sih, makanya gak update soal informasi dari petinggi,” sindir Eren. Lama-lama ia merasa jengah di sini.
"Hm ... bisa saja itu kutukan dari mereka," gumam Said yang lagi-lagi mendapat pertanyaan dari Soerja. "Mereka siapa lagi kali ini?"
"Para pembuat kutukan, tentunya," timpal Kalam.
Mendengar penuturan Kalam, semuanya kembali terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ruangan itu kini sepi, hanya terdengar suara dari hembusan napas yang beradu dengan suara angin. Mereka semua memikirkan hal yang sama, yaitu mencari titik lokasi dan kutukan. Sore itu ditutup dengan keheningan. Setelahnya, semuanya kembali ketempat masing-masing dan berkumpul lagi esok hari untuk menjalankan tugas.
—
Anggap saja berdiri menyandarkan diri pada dinding yang usai diwarna kembali adalah tindakan mulia Oris Munfar hari ini. Jelas bukan untuk bersenandung doa seraya menikmati nyanyian burung kenari, walau bahasa tubuh terlihat demikian. Sesekali ia mengurut pelipis kemudian menyembunyikan tangan pada saku celana. Pagi tadi, Oris terbangun dengan perasaan tak menentu, sedari malam terdapat beberapa persoalan yang dirinya pikirkan. Oleh sebab itu, di sinilah ia berada sekarang, tegak bertumpu kaki seperti hendak mengadu tinggi dengan tiang lampu dekat ruangan Sir Travis, salah satu petinggi perusahaan. Ada sesuatu yang memaksa Oris agar sukarela menunggu sang atasan.
Ia menghela napas untuk kesekian kalinya, banyak hal yang dia benci dan salah satunya adalah menunggu. Oris hampir dibuat menyerah saat ketukan pantofel hitamnya menginjak angka kelima, tetapi keritan pintu besi menampilkan sosok yang ditunggu telah terbuka. Kemudian, ia bergegas menghampiri, “Sir Travis.”
Pria itu menoleh ke sumber suara dan sedikit terkejut ketika mengetahui siapa yang memanggil, “Oris?”
“Saya ingin bertanya,” sahutnya cepat. Ia bukan tipe orang yang mau berbasa-basi. Waktu adalah pedang. Jika kamu tidak memanfaatkannya (menghunusnya), kamu akan dimanfaatkan (dihunus) olehnya. Begitu prinsip seorang Munfar.
Sir Travis menekuk alis, “Saya akan menjawab sebisanya.” Dia membiarkan pandangannya bersirobok dengan sepasang mata tajam milik pemuda tersebut. Mulai penasaran perihal apa yang ingin ditanyakan hingga kalimat Oris selanjutnya membuat ia menahan napas sejenak, “Kutukan besar dari tragedi lima tahun lalu ‘kan sudah dimusnahkan. Lantas, kenapa kutukan lain masih ada?”
Pikiran profesor mendadak menerawang jauh mengingat peristiwa lampau, “Konsepnya seperti kerumunan semut, Oris. Mereka terus berkembang biak tanpa sepengetahuan manusia. Anggap saja energi negatif itu adalah permen. Awalnya tidak akan terjadi apa-apa, tapi kemudian? Semut sudah mengerumuni permen tersebut. Mungkin yang dimusnahkan tahun lalu itu hanya bala tentaranya, bukan ratu semut,“ dia memberikan perumpamaan dengan hati-hati, akan sangat sulit jika memberitahu secara eksplisit.
“Kalau begitu jangan makan permen, kita bakar saja pabriknya sekarang.” Sir Travis terkekeh pelan mendengar pernyataan dari anak buahnya, lantas ia menjawab lagi, “Memakan permen itu boleh, hanya saja jangan menaruhnya sembarangan. Sama halnya dengan hal-hal berbau negatif, pikiran manusia tidak ada yang bisa mengendalikan, tapi kita bisa mencegahnya agar tidak menetap di kepala.”
Sebenarnya Oris tidak begitu puas dengan jawaban sang atasan karena penjelasan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru di benaknya. “Jika energi negatif itu terlalu besar, maka kutukan akan melahap manusia sampai tak bersisa. Begitukah?” Pada akhirnya manusia akan dapat menjadi bagian dari mereka.
Sir Travis mengulum senyum. “Benar, Oris.” Namun, sejurus kemudian, pria tersebut mengubah mimik wajah kaku. “Maaf karena Akademi Suarga tidak mengajarkan sejarah ini secara rinci, mereka para petinggi selalu mengeluh lupa.”
Kini giliran Oris yang terkekeh, seolah mengejek kata terakhir yang diucapkan profesor. Lupa? Benarkah lupa, atau memang sengaja ditutupi? Ia mendecih, ternyata menelan daging babi terlihat lebih berdosa daripada mengunyah bangkai manusia.
“Katanya, kutukan itu seperti magnet. Ada positif dan negatif,” ujar Oris. Sir Travis mengangguk menimpali pertanyaan pemuda tersebut. “Iya, itu perumpamaan lainnya.”
Oris sangat menyadari bahwa atasannya tak akan memberi jawaban gamblang, ia seakan disuruh untuk mengartikan kalimat-kalimat tersirat dalam penjelasan itu. “Apa kutukan ini memiliki penawar?”
Pertanyaan yang dilontarkan terlampaui biasa, tapi bagaimana Oris meleburnya dalam satu emosi membuat lidah kelu. Tak mampu mengeluarkan kata, semua lenyap bersama hening yang tiba-tiba mendekap.
“Tidak ada. Manusia tidak dapat diobati untuk sifat buruk mereka.”
—
Sehabis membereskan kekacauan perihal kutukan di museum yang berhasil merenggut nyawa Naoki, rapat antar kapten divisi telah dibubarkan. Tentu saja orang-orang mulai meragukan kinerja para pekerja Suarga. El-Khaif mencoba segala upaya untuk menutupi kecerobohan anggotanya, tetapi tetap saja tidak bisa menghindari teguran petinggi dan bisikan setan dari mulut peserta rapat.
Latief kembali ke ruangan kerja miliknya. Pikirannya cukup kalut, namun pendiriannya masih tetap sama. Di tengah lamunannya, Latief mendengar seseorang membuka pintu ruangannya dengan tergesa.
Niat hati ingin menyambut sepupunya itu dengan baik, tapi yang terjadi malah Illias membanting meja kerja milik Latief. Mata tajamnya membulat sempurna, namun Latief berusaha untuk tetap tenang menghadapi Illias yang emosinya sedang tidak terkendali.
"Latief, kenapa lo gak mengisi posisi kosong di divisi tiga aja?! Daripada ngurusin divisi lima yang gak karuan? Wouldn't that be better? Atau mau gue bantu dengan cara gue?" Ucapnya dengan panjang lebar.
Latief menghela napas sebelum menjawab pertanyaan sepupunya, "Hear me out, Illias. I'll do my job, and you do yours. End of discussion, karena aku sangat sibuk!"
Bukannya beranjak dari tempatnya, Illias kembali melanjutkan ucapannya, "Lo tau kan bergantung sama orang lain itu bukanlah sesuatu hal yang malu-maluin diri sendiri?"
"Ya. Tapi itu bukan urusanmu." Latief kembali membenarkan meja kerja yang sempat menjadi amukkan sepupu ganasnya itu, ia menata kembali beberapa dokumen yang sudah susah payah dia susun sebelumnya.
"Kalau lo gitu terus malah bikin gue gelisah." Kali ini suara Illias terdengar lebih tenang daripada sebelumnya, membuat Latief mengangkat wajahnya guna menatap sang lawan bicara.
"Kalau begitu tidak perlu memedulikanku," tegas Latief.
Illias dan keras kepalanya tak mungkin semudah itu beranjak walau hanya karena gertakan tegas dari Latief. Semakin Latief mengabaikannya, semakin besar pula keinginannya untuk menyadarkan Latief agar lebih memedulikan misi kali ini, "Hoi? Divisi lima jadi jelek sekarang di mata masyarakat, Latief. Gue cuman harap lo bisa belajar lebih giat lagi ngatur rencana. Walaupun gue tahu lo benci buku pelajaran."
Keduanya sama-sama keras, seolah teguh pada pendirian masing-masing. Jika Illias kukuh meruntuhkan apa yang sedang Latief rencanakan, begitu pula dengan Latief yang berpegang kuat pada rencana awalnya, "Daripada mengurusiku, lebih baik investigasi apa yang terjadi di museum sana."
Barulah Illias mulai penasaran dengan topik yang dibuka oleh Latief, "Kejadian apa?"
"Kejadian buruk di Museum Nasional Mortey. Mungkin banyak properti rusak cuman masih bisa diganti. Tapi, apa kamu tidak khawatir dengan anggota yang terjebak di sana?"
"Emangnya siapa yang ke museum selain Naoki?"
"Raisada Jisrad anak divisi tiga itu. Karena dia datang ke museum, Naoki akhirnya balik ingin magang lagi dan berhenti jadi asisten Sir Travis. Tapi, harusnya dia tidak bertindak sendirian kan? Pasti ada seseorang yang dukung dengan menambahkan kekuatan dia ke Naoki." Karena penjelasan serius dari Latief, barulah Illias mulai mempercayakan kembali segalanya pada Latief dan membiarkan laki-laki dengan rambut pirang itu kembali berkutat pada kerjaannya.
"Gue bahkan gak kepikiran sampai ke sana. Kalau lo merasakan energi negatif, bilang sama gue. Karena kalau lo terluka, nanti gak pantas jadi ketua," ucapnya sembari beranjak dari hadapan Latief.
Sebelum Illias benar-benar menghilang dari pandangannya, Latief menyempatkan diri untuk berpesan pada Illias, "Ya. Awasi juga anggotamu itu, Illias." Itulah kalimat terakhir yang Illias dengar. Kini ruangan kerja milik Latief kembali sunyi. Berdebat dengan sepupunya itu sangat menguras tenaga. Tidak memerlukan waktu lama untuk Latief dapat mengambil alih fokusnya, alasan kenapa ia tidak ingin mengikuti apa yang dikatakan Illias karena Latief ingin mencari tau asal dari energi negatif yang kini menjadi masalah baru di Mortey.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar